Selasa, 29 Mei 2012

Generasi Emas Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan

Generasi Emas Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan Oleh : Eri Budi Santosa & Yuli Sumarni, S.Pd. M.Pd Bulan Mei adalah bulan yang mempunyai makna tersendiri bagi dunia pendidikan bangsa Indonesia. Pada bulan Mei, tepatnya yanggal 2 yang merupakan tanggal kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara yang selalu diperingati sebagai hari pendidikan nasional dalam bentuk upacara dan perayaan-perayaan. Pada tahun 2012 tema untuk hari Pendidikan Nasional adalah “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia” Dalam press conference di Gedung A Kemdikbud Senayan, Jakarta, Senih ( tanggal 30/4/20 12) Mendikbud mengatakan bahwa tema Hardiknas 2012 disesuaikan dengan rencana besar Kemdikbud untuk mempersiapkan generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045. Menurut Kemdikbud, pada periode tahun 2010 sampai 2035 bangsa Indonesia dikarunai potensi sumber daya manusia, berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut, dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, populasi usia produktif tersebut akan menjadi bonus demografi yang sangat berharga . Agar kesempatan emas tersebut tidak menjadi bencana demografi, pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035 harus dilakukan investasi besar-besaran dalam bidang ketenagaan. Kemdikbud harus mampu membangkitkan generasi emas alias generasi yang bermutu. Untuk dapat mencetak generasi yang bermutu, persyaratan utama yang tidak berlebihan adalah terbentuknya budaya mutu. Terkait dengan budaya mutu, Kujala dan Ullrank (2004) mengatakan bahwa akar budaya mutu adalah budaya organisasi, karena budaya mutu merupakan subset dari budaya organisasi. Sementara untuk pengertian budaya organisasi banyak pakar mempunyai pendapat yang nyaris sama diantaranya Robbins (2001), Kreitner dan Kinicki (2003) Gibson et.al. (1996). Menurut Robbins (2001), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Disisi lain Kreitner dan Kinicki (2003) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota. Disisi lain Sharplin (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Sedangkan Gibson et.al. (1996) merumuskan bahwa kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku. Dan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Pertanyaannya, apa definisi budaya mutu. Menurut Goetsch D.L dan Davis D.L (2002) budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus menerus. Budaya mutu terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas. Setelah 66 tahun merdeka pertanyaannya bagaimana konstribusi dunia pendidikan ? Apakah dunia pendidikan mampu membangkitkan dan membangun budaya mutu generasi sehingga dapat melahirkan generasi emas ? Membangun budaya mutu tertuang dalam Permendiknas No 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Tepatnya di pasal 2 ayat 2 yang menyatakan tujuan antara diantaranya terbangunnya budaya mutu pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Terkait dengan penjaminan mutu, pada tahun 2008 Depdiknas telah menerbitkan buku Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan (SP2MP) untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa penjaminan mutu adalah Serangkaian proses dan sistem yang terkait untuk mengumpulkan, menganalisa dan melaporkan data tentang kinerja dan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, program dan lembaga. Proses penjaminan mutu mengidentifikasi aspek pencapaian dan prioritas peningkatan, menyediakan data sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan serta membantu membangun budaya peningkatan berkelanjutan. Pencapaian mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah dikaji berdasarkan delapan Standar Nasional Pendidikan dari BSNP. Dalam konsep Materi Quality Assurance (penjaminan mutu), QI (peningkatan mutu) dan Capacity Building (CB) dinyatakan bahwa prinsip peningkatan mutu adalah membuat lebih baik. Selain itu menggunakan Pendekatan proses – plan/do/study/act. Penjaminan Mutu Pendidikan diimplementasikan dalam kegiatan Evaluasi Diri Sekolah yang dilaksanakan pada tahun 2010 seiring dengan Inpres 01 tahun 2010 tentang Percepatan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010. Inpres 01 tahun 2010 yang ditandatangani pada tanggal 29 Februari 2010 oleh presiden ini memprioritaskan 11 prioritas nasional dengan tiga kelompok sektoral. Prioritas tersebut akan dijabarkan dalam 155 rencana aksi atau program, yang terbagi dalam empat tipe tindakan. Pertama, percepatan pembangunan fisik yang terdiri dari 42 rencana aksi. Dari 11 prioritas tersebut, prioritas yang ke dua adalah : Pendidikan, yang programnya menyangkut : 1. Penguatan metodologi dan kurikulum; 2. Penguatan pengelolaan sekolah; 3. Penguatan pendidikan agama, 4. Peningkatan kualitas Pengelolaan dan layanan pendidikan. Program ke : 4. Peningkatan kualitas Pengelolaan dan layanan pendidikan mempunyai tiga , yaitu : a. Akselerasi penerapan sistem penjaminan mutu di Satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan; b. Penerapan pembelajaran berbasis TIK di sekolah; c. Fasilitasi penerapan dan Pengembangan E-Government di sekolah( e-pendidik-an). Tindakan Akselerasi penerapan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan keluarannya adalah satuan pendidikan yang menerapkan sistem penjaminan mutu sebanyak 10.000 sekolah. Implementasi inpres 01/2010 yang terkait dengan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan di setiap jenjang dilaksanakan dalam bentuk evaluasi diri sekolah. Apa itu Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah ? Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M) adalah proses Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah yang bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang hasilnya dipakai sebagai dasar Penyusunan Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan tingkat kab/kota. Proses Evaluasi Diri sekolah/Madrasah ini dilakukan oleh Tim dengan sebutan Tim Pengembang Sekolah/Madrasah yang terdiri dari Kepala Sekolah, Wakasek, guru, komite sekolah, orang tua siswa dan pengawas. Dalam melaksanakan EDS/M ini sekolah/Madrasah yang dalam hal ini adalah Tim Pengembang Sekolah/Madrasah (TPS) mengisi instrumen EDS/M yang bersifat kualitatif yang dimulai dari mengumpulkan bukti fisik dan mengisi dalam kolom bukti fisik, menulis Ringkasan Deskripsi Indikator Berdasarkan Bukti Fisik, menentukan tahapan pengembangan (bisa 1 yang dimaknai dibawah SPM; bisa 2 yang dimaknai mencapai SPM, 3 yang dimaknai mencapai SNP atau 4 yang dimaknai mencapai di atas SNP) dan menyusun rekomendasi. Rekomendasi tersebut dikonversi ke uraian program yang tertuang dalam RKS. Pengisian instrumen EDS/M dalam kolom bukti fisik, penulisan ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik, menentukan tahapan pengembangan dan menyusun rekomendasi sangat tergantung dari Keseriusan & Kemampuan terhadap Interpretasi Instrumen dan pemahaman SPM maupun 8 SNP. Pengisian instrumen EDS dilakukan bersama oleh TPS yang dilakukan secara terbuka yang bermuara sampai penyusunan Rencana Kinerja Sekolah serta perhitungan anggaran dan sumber dananya membiasakan sekolah untuk bersikap transparan sehingga muncul saling percaya, tidak saling curiga dan merupakan perekat kuat kesatuan di dalam organisasi. Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk sistem nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota. Dan ini sesuai dengan pendapat Kreitner dan Kinicki (2003) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Pengisian instrumen EDS/M mengharuskan TPS untuk membuka 8 SNP dan tentang SPM. Pertanyaannya apakah selama ini warga sekolah tidak pernah membuka 8 SNP dan SPM ? Bukankah untuk menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sekolah harus membuka Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Proses dan Panduan Penyusunan KTSP terbitan BSNP ? Kebiasaan sebagian sekolah pada contreng-contreng dan Kebiasaan sebagian sekolah ambil jalan pintas dengan copy paste yang membuat sebagian sekolah enggan untuk membuka Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Proses. Mengingat instrumen EDS/M bersifat kualitatif alias tidak contreng-contreng yang muaranya sedikit memaksa sekolah untuk membuka 8 SNP dan SPM. Peristiwa ini akan membiasakan TPS/M untuk menumbuhkan budaya membaca, menelaah dan belajar. Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Dan ini sesuai dengan pendapat Sharplin (1995) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Pengisian instrumen EDS/M mengharuskan TPS untuk memberikan rekomendasi yang dijadikan dasar untuk penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS). Penulisan rekomendasi sebagai langkah pembiasaan penemuan kekurangan apa yang dialami sekolah. Penulisan rekomendasi juga sebagai langkah menumbuhkan kesadaran koreksi yang muaranya pada penyusunan RKS sebagai langkah awal untuk peningkatan mutu (Quality Improvement). Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku. Dan ini sesuai dengan pendapat Gibson et.al. (1996) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Berdasarkan indikator yang merupakan penjabaran dari Standar Nasional Pendidikan Pengisian instrumen EDS mengharuskan TPS untuk mengumpulkan bukti fisik terkait dengan apa yang telah dilakukannya dengan landasan kesadaran bahwa hal ini guna perbaikan sekolah. Dengan landasan yang seperti itu sekolah tidak perlu memanipulasi bukti fisik dan hal ini membiasakan untuk berperilaku jujur yang akan menginternalisasi dan akan membentuk perilaku insan bermutu. Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Dan ini sesuai dengan pendapat Davis (1984) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Dari uraian di atas Evaluasi Diri Sekolah dengan menggunakan instrumen yang berbentuk kualitatif akan mampu menopang tema hari Pendidikan Nasional yaitu Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Kalau boleh berpendapat bahwa Generasi Emas adalah generasi yang berkarakter baik dan bercirikan diantaranya adalah jujur, mengutamakan semangat kebersamaan, mencari kekurangan diri, menumbuhkan kesadaran koreksi, mencari alternatif solusi dan semangat belajar. Karakter ini dibentuk bagi pengelola pendidikan di sekolah/Madrasah melalui proses pengisian Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah dan penyusunan Rencana Kegiatan Sekolah/Madrasah yang selanjutnya akan berimbas kepada pembentukan karakter anak didik. Dengan pembentukan budaya mutu dan seiring dengan budaya paternalistik ini patut diduga akan mampu mengantarkan cita-cita membentuk generasi emas tahun 2045. Semoga . . . .

Refleksi Kebangkitan Nasional Pendidikan

Refleksi Kebangkitan Nasional Pendidikan Oleh : Eri Budi Santosa Bulan Mei adalah bulan yang mempunyai makna tersendiri bagi bangsa Indonesia, yaitu peristiwa bersejarah yang selalu diperingati dalam bentuk upacara dan perayaan-perayaan. Hari yang bersejarah dimaksud adalah hari Pendidikan Nasional yang dirayakan pada yanggal 2 Mei dan hari Kebangkitan Nasional yang dirayakan pada tanggal 20 Mei. Pada tahun 2012 tema hari Kebangkitan Nasional adalah : “Dengan Semangat Kebangkitan Nasional, Kita Tingkatkan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara yang Berkarakter, Damai dan Berdaya Saing Menuju Masyarakat Sejahtera”. Dan untuk tema hari Pendidikan Nasional adalah “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia” Puncak peringatan Hardiknas 2012 akan dipadu dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang rencananya dipusatkan di Istora Senayan Jakarta (www. pikiran-rakyat.com). Alasan apa yang melatarbelakangi pemaduan peringatan Hardiknas 2012 dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2012 kurang terpublikasi. Namun yang jelas Tema hari Pendidikan Nasional 2012 “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia” mengandung makna “kebangkitan”. Dalam press conference di Gedung A Kemdikbud Senayan, Jakarta, Senih ( tanggal 30/4/20 12) Mendikbud mengatakan bahwa tema Hardiknas 2012 disesuaikan dengan rencana besar Kemdikbud untuk mempersiapkan generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045. Menurut Kemdikbud, pada periode tahun 2010 sampai 2035 bangsa Indonesia dikarunai potensi sumber daya manusia, berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut, dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, populasi usia produktif tersebut akan menjadi bonus demografi yang sangat berharga . Agar kesempatan emas tersebut tidak menjadi bencana demografi, pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035 harus dilakukan investasi besar-besaran dalam bidang ketenagaan. Kemdikbud harus mampu membangkitkan generasi emas alias generasi yang bermutu. Terkait dengan budaya mutu, Kujala dan Ullrank (2004) mengatakan bahwa akar budaya mutu adalah budaya organisasi, karena budaya mutu merupakan subset dari budaya organisasi. Sementara untuk pengertian budaya organisasi banyak pakar mempunyai pendapat yang nyaris sama diantaranya Robbins (2001), Kreitner dan Kinicki (2003) Gibson et.al. (1996). Menurut Robbins (2001), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Disisi lain Kreitner dan Kinicki (2003) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota. Disisi lain Sharplin (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Sedangkan Gibson et.al. (1996) merumuskan bahwa kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku. Dan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Pertanyaannya, apa definisi budaya mutu. Menurut Goetsch D.L dan Davis D.L (2002) budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus menerus. Budaya mutu terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas. Setelah 66 tahun merdeka pertanyaannya bagaimana konstribusi dunia pendidikan ? Apakah dunia pendidikan mampu membangkitkan dan membangun budaya mutu generasi sehingga dapat melahirkan generasi emas ? Membangun budaya mutu tertuang dalam Permendiknas No 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Tepatnya di pasal 2 ayat 2 yang menyatakan tujuan antara diantaranya terbangunnya budaya mutu pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Terkait dengan penjaminan mutu, pada tahun 2008 Depdiknas telah menerbitkan buku Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan (SP2MP) untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa penjaminan mutu adalah Serangkaian proses dan sistem yang terkait untuk mengumpulkan, menganalisa dan melaporkan data tentang kinerja dan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, program dan lembaga. Proses penjaminan mutu mengidentifikasi aspek pencapaian dan prioritas peningkatan, menyediakan data sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan serta membantu membangun budaya peningkatan berkelanjutan. Pencapaian mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah dikaji berdasarkan delapan Standar Nasional Pendidikan dari BSNP. Dalam konsep Materi Quality Assurance (penjaminan mutu), QI (peningkatan mutu) dan Capacity Building (CB) dinyatakan bahwa prinsip peningkatan mutu adalah membuat lebih baik. Selain itu menggunakan Pendekatan proses – plan/do/study/act. Penjaminan Mutu Pendidikan diimplementasikan dalam kegiatan Evaluasi Diri Sekolah yang dilaksanakan pada tahun 2010 seiring dengan Inpres 01 tahun 2010 tentang Percepatan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010. Inpres 01 tahun 2010 yang ditandatangani pada tanggal 29 Februari 2010 oleh presiden ini memprioritaskan 11 prioritas nasional dengan tiga kelompok sektoral. Prioritas tersebut akan dijabarkan dalam 155 rencana aksi atau program, yang terbagi dalam empat tipe tindakan. Pertama, percepatan pembangunan fisik yang terdiri dari 42 rencana aksi. Dari 11 prioritas tersebut, prioritas yang ke dua adalah : Pendidikan, yang programnya menyangkut : 1. Penguatan metodologi dan kurikulum; 2. Penguatan pengelolaan sekolah; 3. Penguatan pendidikan agama, 4. Peningkatan kualitas Pengelolaan dan layanan pendidikan. Program ke : 4. Peningkatan kualitas Pengelolaan dan layanan pendidikan mempunyai tiga , yaitu : a. Akselerasi penerapan sistem penjaminan mutu di Satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan; b. Penerapan pembelajaran berbasis TIK di sekolah; c. Fasilitasi penerapan dan Pengembangan E-Government di sekolah( e-pendidik-an). Tindakan Akselerasi penerapan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan keluarannya adalah satuan pendidikan yang menerapkan sistem penjaminan mutu sebanyak 10.000 sekolah. Implementasi inpres 01/2010 yang terkait dengan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan di setiap jenjang dilaksanakan dalam bentuk evaluasi diri sekolah. Apa itu Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah ? Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M) adalah proses Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah yang bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang hasilnya dipakai sebagai dasar Penyusunan Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan tingkat kab/kota. Proses Evaluasi Diri sekolah/Madrasah ini dilakukan oleh Tim dengan sebutan Tim Pengembang Sekolah/Madrasah yang terdiri dari Kepala Sekolah, Wakasek, guru, komite sekolah, orang tua siswa dan pengawas. Dalam melaksanakan EDS/M ini sekolah/Madrasah yang dalam hal ini adalah Tim Pengembang Sekolah/Madrasah (TPS) mengisi instrumen EDS/M yang bersifat kualitatif yang dimulai dari mengumpulkan bukti fisik dan mengisi dalam kolom bukti fisik, menulis Ringkasan Deskripsi Indikator Berdasarkan Bukti Fisik, menentukan tahapan pengembangan (bisa 1 yang dimaknai dibawah SPM; bisa 2 yang dimaknai mencapai SPM, 3 yang dimaknai mencapai SNP atau 4 yang dimaknai mencapai di atas SNP) dan menyusun rekomendasi. Rekomendasi tersebut dikonversi ke uraian program yang tertuang dalam RKS. Pengisian instrumen EDS/M dalam kolom bukti fisik, penulisan ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik, menentukan tahapan pengembangan dan menyusun rekomendasi sangat tergantung dari Keseriusan & Kemampuan terhadap Interpretasi Instrumen dan pemahaman SPM maupun 8 SNP. Pengisian instrumen EDS dilakukan bersama oleh TPS yang dilakukan secara terbuka yang bermuara sampai penyusunan Rencana Kinerja Sekolah serta perhitungan anggaran dan sumber dananya membiasakan sekolah untuk bersikap transparan sehingga muncul saling percaya, tidak saling curiga dan merupakan perekat kuat kesatuan di dalam organisasi. Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk sistem nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota. Dan ini sesuai dengan pendapat Kreitner dan Kinicki (2003) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Pengisian instrumen EDS/M mengharuskan TPS untuk membuka 8 SNP dan tentang SPM. Pertanyaannya apakah selama ini warga sekolah tidak pernah membuka 8 SNP dan SPM ? Bukankah untuk menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sekolah harus membuka Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Proses dan Panduan Penyusunan KTSP terbitan BSNP ? Kebiasaan sebagian sekolah pada contreng-contreng dan Kebiasaan sebagian sekolah ambil jalan pintas dengan copy paste yang membuat sebagian sekolah enggan untuk membuka Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Proses. Mengingat instrumen EDS/M bersifat kualitatif alias tidak contreng-contreng yang muaranya sedikit memaksa sekolah untuk membuka 8 SNP dan SPM. Peristiwa ini akan membiasakan TPS/M untuk menumbuhkan budaya membaca, menelaah dan belajar. Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Dan ini sesuai dengan pendapat Sharplin (1995) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Pengisian instrumen EDS/M mengharuskan TPS untuk memberikan rekomendasi yang dijadikan dasar untuk penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS). Penulisan rekomendasi sebagai langkah pembiasaan penemuan kekurangan apa yang dialami sekolah. Penulisan rekomendasi juga sebagai langkah menumbuhkan kesadaran koreksi yang muaranya pada penyusunan RKS sebagai langkah awal untuk peningkatan mutu (Quality Improvement). Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku. Dan ini sesuai dengan pendapat Gibson et.al. (1996) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Berdasarkan indikator yang merupakan penjabaran dari Standar Nasional Pendidikan Pengisian instrumen EDS mengharuskan TPS untuk mengumpulkan bukti fisik terkait dengan apa yang telah dilakukannya dengan landasan kesadaran bahwa hal ini guna perbaikan sekolah. Dengan landasan yang seperti itu sekolah tidak perlu memanipulasi bukti fisik dan hal ini membiasakan untuk berperilaku jujur yang akan menginternalisasi dan akan membentuk perilaku insan bermutu. Hal ini kalau dilakukan berulang-ulang akan menjadi terbiasa dan akan membentuk pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Dan ini sesuai dengan pendapat Davis (1984) seperti yang terurai dalam tulisan di atas. Dari uraian di atas Evaluasi Diri Sekolah dengan menggunakan instrumen yang berbentuk kualitatif akan mampu menopang tema hari Pendidikan Nasional yaitu Bangkitnya Generasi Emas Indonesia dan terkait dengan tema hari Kebangkitan Nasional yaitu Dengan Semangat Kebangkitan Nasional, Kita Tingkatkan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara yang Berkarakter, Damai dan Berdaya Saing Menuju Masyarakat Sejahtera. Artinya apa ? Kalau boleh berpendapat bahwa Generasi Emas adalah generasi yang berkarakter baik dan bercirikan diantaranya adalah jujur, mengutamakan semangat kebersamaan, mencari kekurangan diri, menumbuhkan kesadaran koreksi, mencari alternatif solusi dan semangat belajar. Karakter ini dibentuk bagi pengelola pendidikan di sekolah/Madrasah melalui proses pengisian Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah dan penyusunan Rencana Kegiatan Sekolah/Madrasah yang selanjutnya akan berimbas kepada pembentukan karakter anak didik. Dengan pembentukan budaya mutu dan seiring dengan budaya paternalistik ini patut diduga akan mampu mengantarkan cita-cita membentuk generasi emas tahun 2045. Semoga . . . .

PENJAMINAN MUTU DALAM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

PENJAMINAN MUTU DALAM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN Oleh : Kang Ebes Widyaiswara Madya LPMP Sultra Spesialisasi Penjaminan Mutu Pendidikan Dari tanggal 1 s/d 3 November 2011 yang lalu LPMP Sulawesi Tenggara melaksanakan kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan. Dalam kegiatan tersebut lembaga mempercayakan pada penulis untuk menjadi salah satu pemrasaran sekaligus narasumber dan mendesain kegiatan dimaksud. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan itu ? Bagaimana skenario kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan ? Apa hasil yang akan dicapai dari kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan ? Dalam suatu kamus dari dunia maya, Seminar diartikan pertemuan atau persidangan untuk membahas suatu masalah di bawah pimpinan ketua sidang. Sementara lokakarya adalah pertemuan antara para ahli (pakar) untuk membahas masalah praktis atau yang bersangkutan dng pelaksanaan dl bidang keahliannya; sanggar kerja. Sementara dalam buku SPPMP halaman 3 Definisi Penjaminan mutu adalah Serangkaian proses dan sistem yang terkait untuk mengumpulkan, menganalisa dan melaporkan data tentang kinerja dan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, program dan lembaga. Proses penjaminan mutu mengidentifikasi aspek pencapaian dan prioritas peningkatan, menyediakan data sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan serta membantu membangun budaya peningkatan berkelanjutan. Guna memudahkan dalam berkonstruksi berpikir, maka definisi itu disederhanakan bahwa penjaminan mutu adalah : Pengumpulan data – analisa – rekomendasi-laporan. Dasar hukum Penjaminan mutu pendidikan adalah Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan dilaksanakan pada tahun 2010 sebagai implementasi dari Instruksi Presiden No.01/2010 tentang Percepatan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Inpres 01 tahun 2010 memprioritaskan 11 prioritas nasional dengan tiga kelompok sektoral. Prioritas tersebut akan dijabarkan dalam 155 rencana aksi. Dari 11 prioritas tersebut, prioritas yang ke dua adalah : Pendidikan, yang programnya menyangkut : 1. Penguatan metodologi dan kurikulum; 2. Penguatan pengelolaan sekolah; 3. Penguatan pendidikan agama, 4. Peningkatan kualitas Pengelolaan dan layanan pendidikan. Program ke : 4. Peningkatan kualitas Pengelolaan dan layanan pendidikan mempunyai tiga , yaitu : a. Akselerasi penerapan sistem penjaminan mutu di Satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan; b. Penerapan pembelajaran berbasis TIK di sekolah; c. Fasilitasi penerapan dan Pengembangan E-Government di sekolah( e-pendidik-an). Tindakan Akselerasi penerapan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan keluarannya adalah satuan pendidikan yang menerapkan sistem penjaminan mutu sebanyak 10.000 yang target waktunya pada Desember 2010. Penjaminan mutu dalam rangka Akselerasi penerapan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan dilaksanakan dalam bentuk pelaksanaan Evaluasi Diri Sekolah. Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah adalah EDS/M adalah proses Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah yang bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan SPM dan SNP yang hasilnya dipakai sebagai dasar Penyusunan RKS dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan tingkat kab/kota. Apakah EDS yang dilaksanakan sejak tahun 2010 sebagai implementasi dari penjaminan mutu pendidikan tidak perlu ada penjaminan mutu-nya ? Dalam rangka peningkatan mutu pelaksanaan EDS sudah barang tentu penjaminan mutu pendidikan diperlukan dalam pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan di dalamnya termasuk EDS. Sudah barang tentu kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan inilah wahana yang sangat cocok untuk melaksanakan penjaminan mutu guna penjaminan mutu pendidikan. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sultra dikemas dengan harapan menghasilkan : Pemikiran Alternatif atau Pemikiran Baru Tentang PMP, atau Pemikiran Alternatif Perbaikan PMP baik dalam konsep maupun dalam implementasinya. Dalam kegiatan yang tidak bisa keluar dari DIPA yang ada, lembaga melalui panitia telah menunjuk 3 orang pemakalah dalam kegiatan seminarnya dan sekaligus sebagai nara sumber dalam lokakaryanya. Artinya apa ? Bahwa 3 orang tersebut secara bersama-sama akan memandu jalannya semiloka penjaminan mutu pendidikan di LPMP Sultra. Penjaminan mutu dalam penjaminan mutu pendidikan tetap berkiblat pada pakem Data – Analisis – Rekomendasi – Laporan. Data dapat dikembangkan lagi menjadi fakta atau masalah. Jadi penjaminan mutu dalam penjaminan mutu pendidikan Serangkaian proses dan sistem yang terkait untuk mengumpulkan data – fakta – atau masalah, menganalisa dan merekomendasi dengan tujuan guna pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan yang lebih meningkat dan membuat lebih baik. Sehingga niatnya adalah suatu ketulusan dalam memberikan alternatif pemikiran untuk meningkatkan dan membuat lebih benar dan lebih baik pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan. Kalau implementasinya penjaminan mutu pendidikan adalah EDS maka niatnya adalah meningkatkan dan membuat lebih benar dan lebih baik pelaksanaan EDS. Dalam penjaminan mutu, data – fakta – atau masalah harus ditemukan untuk dianalisis dan dicarikan rekomendasi guna perbaikannya. Dasar pemikiran itu maka adalah salah yang sangat besar kalau dalam rangka penjaminan mutu data – fakta – atau masalah disembunyikan.Termasuk didalamnya adalah penjaminan mutu dalam penjaminan mutu pendidikan yang implementasinya dalam EDS. Apanya yang kurang dalam ber-EDS ? Apanya yang salah dalam ber-EDS ? Apanya yang belum sempurna dalam ber-EDS ? Cari data – fakta – atau masalah, analisis dan rekomendasi yang menjadi dasar guna perbaikannya. Kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara dikemas dalam semangat mencari data – fakta – atau masalah, menganalisis dan merekomendasi yang menjadi dasar guna perbaikannya. Semiloka merupakan akronim dari seminar dan lokakarya. Seperti telah diuraikan di atas bahwa dalam suatu kamus dari dunia maya, Seminar diartikan pertemuan atau persidangan untuk membahas suatu masalah di bawah pimpinan ketua sidang. Sementara lokakarya adalah pertemuan antara para ahli (pakar) untuk membahas masalah praktis atau yang bersangkutan dengan pelaksanaan dl bidang keahliannya; sanggar kerja. Terkait dengan pengertian di atas, maka semiloka dapat dimaknai pertemuan para ahli (pakar) untuk membahas suatu masalah di bawah pimpinan ketua sidang yang selanjutnya membahas masalah praktis atau yang bersangkutan dengan pelaksanaan di bidang keahliannya. Tentu saja semiloka sudah seharusnya dan selayaknya menghasilkan pemikiran alternatif atau pemikiran baru atau pemikiran alternatif perbaikan dari tema yang telah digariskan. Mengingat tema-nya adalah penjaminan mutu pendidikan, maka hasil dari Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan ini sudah seharusnya dan selayaknya menghasilkan pemikiran alternatif atau pemikiran baru tentang penjaminan mutu pendidikan atau pemikiran alternatif perbaikan implementasi penjaminan mutu pendidikan berdasaran rujukan peraturan yang melandasinya dan berlaku. Namun itu adalah suatu alternatif pemikiran yang memang dari sudut pandang peserta yang berjumlah 36 orang dan 3 nara sumber yang dengan suara koor menyetujui pemikiran tersebut. Tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran itu ada titik lemahnya, salah ataupun kurang tepat. Untuk itu tidaklah salah kalau pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara dipublikasikan ke media masa guna mendapatkan umpan balik dari berbagai pihak guna meluruskan pemikiran dan membenarkan pemikiran agar ke 36 orang peserta dan 3 nara sumber Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara tidak mengambil jalan yang sesat alias berpikir tersesat. Selamat menghindari kesesatan . . . . . .

Lembaga Pembina(saan) Widyaiswara

Lembaga Pembina(saan) Widyaiswara Oleh : Eri B Santosa Widyaiswara Madya LPMP Sultra Baru-baru ini ada SMS dari Pusbang Tendik Kemdikbud yang isinya ditujukan kepada para Kepala LPPKS, Kepala P4TK dan Kepala LPMP se Indonesia yang menyampaikan bahwa jumlah Widyaiswara golongan IV a ke bawah yang berpotensi diberhentikan (mengembalikan tunjangan) 480 orang, non aktif 27 orang, pensiun 52 orang. Dalam SMS tersebut tertulis sbb : mohon ybs dapat mengirimkan Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit ke Pusbangtendik paling lambat tanggal 30 Oktober 2011. Beberapa bulan sebelum SMS dating, penulis mendapatkan informasi terkait dengan pengurangan perolehan angka kredit pada saat pengajuan ke Lembaga Administrasi Negara. Artinya apa ? Mengajukan angka kredit harapannya bertambah, tetapi kenyataannya justru malah berkurang. Mencari info terkait pemberhentian, pengembalian tunjangan, penon aktifan, dan pemensiunan untuk referensi guna menulis artikel ini dimana-mana penulis mengalami kesulitan alias tidak mendapatkan. Terkait dengan pengurangan angka kredit dari LAN penulis mendapatkan dari tulisannya pak Luthfi di dunia maya. Tulisan pak Luthfi (Februari 4, 2008) yang profesinya sebagai Widyaiswara di Badan Diklat Jawa Tengah dalam tulisannya di dunia maya menulis sebagai berikut. Ada suatu topik yang hangat dibicarakan oleh para Widyaiswara di Kantor Badan Diklat Widyaiswara, yakni penghitungan angka kredit. Tulisan pak Luthfi tersebut terkait dengan keputusan hasil penghitungan angka kredit yang dikirimkan oleh LAN-RI, sebagai lembaga pembina para widyaiswara, kepada para widyaiswara senior (pangkat IV/c – IV/e). Hasilnya menunjukkan adanya pengetatan penilaian angka kredit yang dilakukan LAN hingga ada seorang widyaiswara yang telah memiliki angka kredit sebesar 830 (kurang 20 dari angka kredit yang dipersyaratkan bagi pangkat WI Utama dengan masa pensiun 65 tahun) tiba-tiba harus dikoreksi oleh LAN menjadi hanya 700 saja. Hal itu tentu saja menimbulkan syok bagi para WI yang memiliki angkat IV/c karena untuk mencapai angka kredit 850 akan begitu sulit. Bahkan salah seorang widyaiswara mutung dan memutuskan untuk mengambil formulir pensiun saja. Adalah sesuatu yang wajar dan sangat wajar ketika seorang widyaiswara mengalami “syok” kalau perolehan angka kredit yang merupakan kumpulan keringat bekerja seorang WI dibinasakan angka kreditnya sampai 120 kredit oleh lembaga Pembina widyaiswara. Dari uraian di atas pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin capaian angka kredit yang tertuang dalam Penetapan Angka Kredit (PAK) dapat menyusut ? Menurut info dari beberapa rekan sesama widyaiswara, pengurangan angka kredit juga terjadi belum lama ini. Kasusnya dimulai dari proses pengajuan angka kredit widyaiswara ke LAN dengan harapan ada kenaikan perolehan angka kredit dalam PAK nya. Namun apa yang terjadi ? Ternyata diantara rekan-rekan ada yang angka kreditnya justru berkurang. Menurut Permenegpan No 14 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya untuk 1 jam mengajar nilai angka kreditnya = 0,025. Artinya apa ? Kalau seorang WI mengajar 100 jam berarti angka kreditnya = 2,5. Sehingga kalau 120 angka kredit kalau dikonversikan ke jam mengajar 4800 jam. Sehingga wajar dan sangat wajar ketika seorang widyaiswara mengalami “syok”, minta formulir untuk pengajuan pensiun dan terbuka kemungkinan lantaran kecewanya maka melakukan bunuh diri. Menurut PP No 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan, Lembaga Administrasi Negara adalah Instansi Pembina Diklat yang selanjutnya disebut Instansi Pem-bina yang secara fungsional bertanggung jawab atas pengaturan, koordinasi, dan penyelenggaraan Diklat. Widyaiswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh Pejabat yang berwenang dengant tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada lembaga Diklat Pemerintah. Diklat bertujuan: a. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; b. menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pembeda-yaan masyarakat; d. menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik. Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Widyaiswara dalam rangka pembinaan karier jabatan dan kepangkatannya; Widyaiswara berkedudukan sebagai pejabat fungsional di bidang kediklatan pada Lembaga Diklat Pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh PNS. Karena widyaiswara adalah pejabat fungsional maka kenaikan pangkatnya berdasarkan pada angka kredit. Pengertian Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Widyaiswara dalam rangka pembinaan karier jabatan dan kepangkatannya; Widyaiswara dalam melaksanakan tugasnya, bertanggung jawab kepada Pimpinan Lembaga Diklat Pemerintah yang bersangkutan. Tugas pokok Widyaiswara adalah mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada Lembaga Diklat Pemerintah masing-masing. Jenjang Jabatan Fungsional Widyaiswara adalah Widyaiswara Pertama (IIIa – IIIb); Widyaiswara Muda (IIIc – IIId); Widyaiswara Madya (IVa – IVc); Widyaiswara Utama (IVc – IVe); Secara berjenjang dari Golongan III a s/d golongan IV e komulatif angka kreditnya adalah : 100 (IIIa) – 150 – 200 – 300 – 400 (IVa) – 550 – 700 (IVc) – 850 - 1000 . Kembali kemasalah di atas. Yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa LAN-RI, sebagai lembaga pembina para widyaiswara mengurangi angka kredit dari 830 menjadi 700 ? Mari kita telaah ! Tulisan pak Luthfi diatas di tulis Februari 2008, berarti masih merujuk pada Permenpan No : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya. Angka kredit 700 adalah setara dengan golongan IV c. Sehingga dugaan yang bersangkutan adalah seorang WI yang bergolongan IV c. Dalam permenpan tersebut pada Pasal 15 dinyatakan bahwa (1) Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit Widyaiswara adalah sebagai berikut : a. Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk Widyaiswara Utama yang bekerja di lingkungan Instansi Pusat dan Daerah; b. Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk Widyaiswara Pertama sampai dengan Widyaiswara Madya di lingkungan tiap-tiap Instansi; (2) Dalam menjalankan kewenangannya, pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh : a. Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Pusat bagi Kepala Lembaga Administrasi Negara, selanjutnya disebut Tim Penilai Pusat; b. Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Instansi bagi Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu, selanjutnya disebut Tim Penilai Instansi; Dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa Usul penetapan angka kredit Widyaiswara diajukan oleh : a. Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota kepada Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk angka kredit Widyaiswara Utama; b. Pimpinan Lembaga Diklat atau pejabat yang membidangi kepegawaian serendah-rendahnya eselon II kepada Sekretaris Jenderal pada Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk angka kredit Widyaiswara Pertama sampai dengan Widyaiswara Madya di lingkungan tiap-tiap Instansi. Dari pasal 15 dan 19 dapat secara tegas dinyatakan bahwa untuk kenaikan dari IV c (700 lebih) ke IV d (850) menjadi kewenangan LAN yang penilaiannya dilakukan oleh Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Pusat atau sebutannya Tim Penilai Pusat. Sedangkan untuk kenaikan dari III b (150 lebih) ke IV c (700) menjadi kewenangan Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang penilaiannya dilakukan Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Instansi bagi Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu, selanjutnya disebut Tim Penilai Instansi. Pemikiran penulis kemungkinan kenaikan ke IVc merupakan hasil penilaian dari Tim Penilai Instansi dengan perolehan angka kredit sebanyak : 830. Pertanyaannya mengapa bisa turun menjadi angka kredit 700 ? Menurut hemat penulis turunnya ke angka kredit 700 kemungkinan berdasarkan pada pemikiran bahwa ybs berasal dari Badan Diklat Provinsi maka Tim Penilainya dari TPI yang mempunyai kewenangan kenaikan dari III b (150 lebih) ke IV c (700). Sehingga untuk dinilai di Tim Penilai pusat yang mempunyai kewenangan kenaikan dari IV c (700 lebih) ke IV d (850) maka yang masuk penilaian ke TPP dimulai dari angka kredit 700. Kalau toh asumsi pemikiran penulis itu benar, pertanyaannya, benarkah langkah dan keputusan tersebut berdasarkan aturan ? Seperti telah diuraikan di atas, bahwa tulisan pak Luthfi di tulis Februari 2008, berarti masih merujuk pada Permenpan No : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya dan juga dapat merujuk pada Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BAKN No 7 tahun 2005 No 17 tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya pasal 10 dinyatakan bahwa (1) Kenaikan pangkat bagi Widyaiswara dalam jenjang jabatan yang lebih tinggi dapat dipertimbangkan apabila kenaikan jabatannya telah ditetapkan oleh pejabat Pembina kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya. Kembali ke pertanyaannya di atas, benarkah langkah dan keputusan tersebut berdasarkan aturan ? Bila merujuk pasal 10, seandainya kenaikan jabatannya telah ditetapkan oleh pejabat Pembina kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan PAK yang ditetapkan Tim penilai instansi. Bila merujuk Pasal 11 bahwa Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih ti tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya, maka tidak ada alasan dan salah bahwa penilaian dari hasil Tim Penilai Instansi dipotong alias dikurangi karena pasal 11 secara tegas dinyatakan bahwa Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya. Dengan berbesar hati, siapapun boleh untuk tidak sependapat, siapapun boleh tidak setuju, siapapun boleh mengatakan bahwa apa yang penulis pikirkan di atas salah. Sehingga tanggapan, kritikan, sanggahan atau apapun namanya akan penulis terima dengan hati terbuka & lapang dada. Selamat . . . .

PENTAHAPAN EDS MASALAH & SOLUSINYA

PENTAHAPAN EDS MASALAH & SOLUSINYA Oleh : Eri B Santosa Widyaiswara Madya LPMP Sultra Spesialisasi Penjaminan Mutu Pendidikan Dari tanggal 1 s/d 3 November 2011 yang lalu LPMP Sulawesi Tenggara melaksanakan kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan. Dalam kegiatan tersebut salah satu tema yang diangkat adalah Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan Melalui EDS (Penentuan Tahap Pengembangan Masalah & Solusinya). Dalam buku Pedoman Pelaksanaan SPMP terbitan Kemdiknas (2010) dinyatakan bahwa Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah adalah EDS/M adalah proses Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah yang bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan SPM dan SNP yang hasilnya dipakai sebagai dasar Penyusunan RKS dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan tingkat kab/kota. EDS/M dikembangkan sejalan dengan sistem penjaminan mutu pendidikan, khususnya yang terkait dengan perencanaan pengembangan sekolah dan manajemen berbasis sekolah. Pelaksanaan EDS/M terkait dengan praktek dan peran kelembagaan yang memang sudah berjalan, seperti manajemen berbasis sekolah, perencanaan pengembangan sekolah, akreditasi sekolah, implementasi SPM dan SNP, peran LPMP/BDK, peran pengawas, serta manajemen pendidikan yang dilakukan oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, dan Rencana Pembangunan Nasional Bidang Pendidikan, Renstra Kemendiknas, dan Renstra Kemenag. Instrumen EDS/M didasarkan pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang memberikan dua tujuan untuk menyediakan informasi bagi rencana pengembangan sekolah, seiring dengan pemutakhiran sistem manajemen informasi pendidikan nasional. Bidang dan pertanyaan inti yang disediakan dalam instrumen tersebut merefleksikan aspek-aspek yang penting bagi sekolah yang diperlukan untuk merencanakan perbaikan sekolah. Karena itulah maka perlu diantisipasi agar sekolah dapat melakukan proses ini dengan benar dan tidak memandangnya sekedar sebagai kegiatan pengisian formulir. Penting untuk ditekankan disini adalah sekolah harus mendeskripsikan situasi nyata yang ada di sekolah mereka dan kemudian, saat proses ini diulang, mereka harus mampu menunjukkan adanya perbaikan seiring dengan waktu yang berjalan. Instrumen EDS/M terdiri dari 8 (delapan) standar nasional pendidikan yang dijabarkan ke dalam 26 komponen dan 62 indikator. Setiap standar terdiri atas sejumlah komponen yang mengacu pada masing-masing standar nasional pendidikan sebagai dasar bagi sekolah dalam memperoleh informasi kinerjanya yang bersifat kualitatif. Setiap komponen terdiri dari beberapa indikator yang memberikan gambaran lebih menyeluruh dari komponen yang dimaksudkan. Bukti fisik yang tersedia digunakan sebagai bahan dasar untuk menggambarkan kondisi sekolah terkait dengan indikator yang dinilai. Untuk itu perlu dimanfaatkan berbagai sumber informasi yang dapat dijadikan sebagai bukti fisik misalnya catatan Kolom ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik pada instrumen EDS/M diisi uraian singkat yang menjelaskan situasi nyata yang terjadi di sekolah sesuai dengan indikator pada setiap komponen yang mengacu kepada Standar Pelayanan Minimal dan Standar Nasional Pendidikan. Deskripsi indikator yang menggambarkan kondisi nyata dan spesifik untuk setiap indikator akan memudahkan sekolah dalam menyusun rekomendasi untuk perbaikan maupun peningkatan sekaligus menentukan rencana pengembangan sekolah berdasarkan rekomendasi dan prioritas sekolah. Anggota TPS secara bersama mencermati instrumen EDS/M pada setiap indicator dari setiap komponen dan setiap standar. Dalam pengisian intrumen EDS/M, anggota TPS harus merujuk kepada Peraturan Menteri atau Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan SPM dan SNP. Deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik menjadi rujukan bagi anggota TPS untuk menentukan posisi tahapan pengembangan sekolah. Sekolah kemudian membandingkan deskripsi setiap indikator dengan rubrik yang ada dibawahnya untuk melihat posisi tahapan pencapaian. Sekolah kemudian memilih rubrik yang lebih mendekati atau sama dengan deskripsi sekolah untuk kemudian memberi tanda centang (√) pada tahapan pengembangan yang bersesuaian. Tahapan pengembangan pada setiap indikator menggambarkan keadaan seperti apa kondisi kinerja sekolah pada saat dilakukan penilaian terkait dengan indikator tertentu. Tahapan pengembangan ini memiliki makna sebagai berikut: 1. Tahap ke-1, belum memenuhi SPM. Pada tahap ini, kinerja sekolah mempunyai banyak kelemahan dan membutuhkan banyak perbaikan. 2. Tahap ke-2, memenuhi SPM. Pada tahap ini, terdapat beberapa kekuatan dan kelemahan tetapi masih sangat butuh perbaikan. 3. Tahap ke-3, memenuhi SNP. Pada tahap ini, kinerja sekolah baik, namun masih perlu peningkatan. 4. Tahap ke-4, melampaui SNP. Pada tahap ini, kinerja sekolah sangat baik, melampaui standar yang telah ditetapkan. Dari uraian di atas dinyatakan bahwa tahap ke-2, memenuhi SPM. Benarkah ini ? SPM adalah akronim dari Standar Pelayanan Minimal. Dasar hukum SPM yang sudah merujuk pada SNP adalah Permendiknas No 15 tahun 2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di Kab/Kota. Standar pelayanan minimal pendidikan dasar selanjutnya disebut SPM Pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan daerah kabupaten/kota. SPM Pendidikan Dasar di Kab/Kota mempunyai 27 indikator, yaitu indicator 1 – 14 untuk pemkab/pemkot, sedangkan indikator 15 – 27 untuk Pendidikan dasar, yaitu jenjang SD/MI & SMP/MTs. Mari kita telaah untuk jenis pelayanan standar sarana & prasarana pada indikator 15-16-17 & 18. Indikator 15 = Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik. Indikator 16 = Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah oleh Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik Indikator 17 = Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA dan bahan yang terdiri dari model kerangka manusia, model tubuh manusia, bola dunia (globe), contoh peralatan optik, kit IPA untuk eksperimen dasar, dan poster/carta IPA. Indikator 18 = Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan 20 buku referensi. Kapan SD memenuhi SPM untuk standar sarana & prasarana ? Berdasarkan indikator 15, 17 dan 18 maka SD yang jumlah siswanya kelas 1 s/d kelas 6 jumlahnya berjumlah 28 siswa maka ringkasan deskripsi kondisi sekolahnya sbb : Sekolah kami sudah menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup : Kelas 1 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 1 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 1 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 IPA = 28 Untuk 28, Kelas 1 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 IPS = 28 Untuk 28 Siswa (untuk indikator 15), Sekolah memiliki : satu set peraga IPA Sekolah memiliki : model kerangka manusia, Sekolah memiliki : model tubuh manusia, Sekolah memiliki : bola dunia (globe), Sekolah memiliki : peralatan optik, Sekolah memiliki : kit IPA untuk eksperimen dasar, Sekolah memiliki : poster/carta IPA (Indikator 17). Sekolah memiliki i 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi (Indikator 18). Jika ringkasan deskripsi kondisi sekolahnya seperti terurai di atas yang berarti untuk indicator 15, 17 dan 18 sudah tercapai maka untuk standar sarana & prasarana sekolah tersebut sudah memenuhi SPM. Jika kondisi sekolah seperti terurai seperti di atas dan sekolah tersebut benar-benar memiliki bukti fisiknya, jika sekolah tersebut melakukan EDS maka Ringkasan Deskripsi Indikator Berdasarkan Bukti Fisik adalah sbb. Sekolah kami sudah menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup: Kelas 1 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 Bahasa Indonesia = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 1 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 Matematika = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 1 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 IPA = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 1 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 2 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 3 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 4 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 5 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Kelas 6 IPS = 28 Untuk 28 Siswa, Sekolah kami sudah memiliki : satu set peraga IPA Sekolah kami sudah memiliki : model kerangka manusia, Sekolah kami sudah memiliki : model tubuh manusia, Sekolah kami sudah memiliki : bola dunia (globe), Sekolah kami sudah memiliki: peralatan optik, Sekolah kami sudah memiliki : kit IPA untuk eksperimen dasar, Sekolah kami sudah memiliki : poster/carta IPA. Sekolah memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi. Jika ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik seperti di atas dan sekolah tersebut sudah memenuhi SPM maka sebenarnya sekolah tersebut masuk dalam tahap pengembangan ke 2. Apakah kenyataannya demikian ? Mari kita lihat indicator yang cocok dan rubrik untuk pencapaian tahap pengembangan ke 2. Indikator yang cocok adalah untuk 5. standard sarana & prasarana, komponen 5.1 Sarana sekolah sudah memadai, dan indikator 5.1.3. Sekolah memenuhi standar terkait dengan penyediaan alat dan sumber belajar termasuk buku pelajaran. Seperti telah diuraikan di atas, Jika ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik seperti di atas dan sekolah tersebut sudah memenuhi SPM maka sebenarnya sekolah tersebut masuk dalam tahap pengembangan ke 2. Bagaimana untuk rubrik tahap pengembangan ke 2 pada indikator 5.1.3 ? Sekolah kami memenuhi SPM terkait dengan ukuran ruangan, jumlah ruangan, persyaratan untuk sistem ventilasi, dan lainnya. Ketika ditanyakan kepada peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara, jika ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik seperti di atas apakah sekolah tersebut bisa dimasukkan dalam tahap pengembangan ke 2 ? Apakah jawaban peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara ? “Tidak Bisa” ! Mengapa ? Apakah jawaban peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara ? Ada yang menjawab indikator tidak cocok dengan rubrik. Namun ada juga yang menjawab Rubrik tidak cocok dengan ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik tahap pengembangan ke 2. Apakah benar pernyataan peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara yang menjawab indikator tidak cocok dengan rubrik. Apa indikatornya ? 5.1.3. Sekolah memenuhi standar terkait dengan penyediaan alat dan sumber belajar termasuk buku pelajaran. Apa rubrik tahap pengembangan ke 2 ? Sekolah kami memenuhi SPM terkait dengan ukuran ruangan, jumlah ruangan, persyaratan untuk sistem ventilasi, dan lainnya. Apakah benar bahwa indicator tidak cocok dengan rubrik ? Apakah benar pernyataan peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara yang menjawab Rubrik tidak cocok dengan ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik tahap pengembangan ke 2 ? Ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik yang mengacu pada SPM (Permendiknas 15/2010) standard sarana & prasarana di atas hanya mendeskripsikan buku dan sumber belajar {sumber belajar menurut Association Educational Comunication and Tehnology AECT (As’ari, 2007) sumber belajar yaitu berbagai atau semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan siswa dalam belajar, baik secara terpisah maupun terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajar. Dan Sumber belajar menurut AECT (Suratno, 2008) meliputi semua sumber yang dapat digunakan oleh pelajar baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, biasanya dalam situasi informasi, untuk memberikan fasilitas belajar. Sumber itu meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan tata tempat}. Sementara rubric tahap pengembangan ke 2 mencakup ukuran ruangan, jumlah ruangan, persyaratan untuk sistem ventilasi. Sekali lagi apakah benar pernyataan peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara yang menjawab indikator tidak cocok dengan rubric ? Silahkan berkomentar ! Apakah benar pernyataan peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara yang menjawab bahwa rubrik tidak cocok dengan ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik tahap pengembangan ke 2 ? Bagaimana alur pikir jawaban tersebut. Jika ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik seperti yang terurai di atas karena sudah memenuhi indicator 15, 17 dam 18 maka sekolah tersebut sudah memenuhi SPM. Namun ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik tersebut tidak dapat dipaksakan untuk masuk dalam tahap pengembangan ke 2. Uraian deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik hanya mencakup buku dan sumber belajar, sementara rubrik tahap pengembangan ke 2 mencakup ukuran ruangan, jumlah ruangan, persyaratan untuk sistem ventilasi. Peserta semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara yang dilaksanakan dari tanggal 1 – 3 November 2011 yang menyoroti indikatornya 5.1.3. tetap berkesimpulan bahwa indikator tidak cocok dengan rubrik. Dan Rubrik tidak cocok dengan ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik tahap pengembangan ke 2. Bagaimana solusinya ? Pertama, membuat harmonisasi antara indikator dan rubrik. Kedua perlu ditelaah dan dikaji lebih mendalam tentang pemaknaan tahapan pengembangan seperti Tahap ke-1, belum memenuhi SPM, tahap ke-2, memenuhi SPM tahap ke-3, memenuhi SNP dan tahap ke-4, melampaui SNP dikaitkan dengan tujuan antara dalam Permendiknas No 63 tahun 2009 tentang membangun budaya mutu. Kesimpulan dan solusi tersebut adalah suatu alternatif pemikiran dari peserta yang berjumlah 36 orang dan 3 nara sumber. Sekali lagi tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran itu ada titik lemahnya, pemikiran-pemikiran itu salah alias tidak benar ataupun pemikiran-pemikiran itu kurang tepat. Untuk itu tidaklah salah kalau pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara dipublikasikan ke mililis guna mendapatkan umpan balik dari berbagai pihak guna meluruskan pemikiran dan meluruskan pemikiran agar ke 36 orang peserta dan 3 nara sumber Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sulawesi Tenggara tahun 2011 tidak mengambil jalan yang sesat alias berpikir tersesat. Selamat menghindari kesesatan . . . . . .

PEMETAAN MUTU DALAM SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

PEMETAAN MUTU DALAM SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN Oleh : Eri B Santosa Mantan Kepala STM Negeri Raha Widyaiswara Madya LPMP Sultra Spesialisasi Penjaminan Mutu Pendidikan Dari tanggal 1 s/d 3 November 2011 yang lalu LPMP Sulawesi Tenggara melaksanakan kegiatan Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan. Dalam kegiatan tersebut lembaga mempercayakan pada penulis untuk menjadi pemrasaran sekaligus narasumber. Dalam kesempatan tersebut penulis mempersiapkan judul-judul 1. Penjaminan Mutu Pendidikan Berbasis SPM, 2. Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan Melalui EDS (Penentuan Tahap Pengembangan Masalah & Solusinya), 3. Telaah Evaluasi Diri Sekolah Dalam Penjaminan Mutu Pendidikan. 4. Siklus Penjaminan Mutu Pendidikan Berbasis SPM. Dan 5. Siklus Penjaminan Mutu Pendidikan Berbasis Hasil Akreditasi. Hari pertama menelaah 2 judul, hari ke dua menelaah 2 judul dan hari terakhir menelaah 1 judul. Yang cukup menarik dari pertemuan itu adalah pada hari kedua. Hari kedua muncul pendapat dari salah seorang peserta yang berpendapat bahwa hasil EDS dijadikan peta mutu. Peserta yang mempunyai kelebihan tersebut, dengan berbekal keberanian, pengalaman dalam pengisian EDS dan alur berpikir yang runtut dan logis berbeda pendapat dengan penulis selaku nara sumber. Akhirnya penulis menunda pembahasan tersebut dan malamnya mempersiapkan tulisan dengan judul Pemetaan Mutu Dalam Sistem Penjaminan Mutu dan merupakan judul keenam. Bak Bandung Bondowoso, demi kepuasan pelanggan konsep itu dapat jadi dalam semalam. Pertanyaannya, apa isi dari Pemetaan Mutu Dalam Sistem Penjaminan Mutu menurut versi penulis ? Dasar hukum Sistem Penjaminan Mutu adalah Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjamin-an Mutu Pendidikan. Dalam pasal 2 ayat (2) Tujuan antara penjaminan mutu pendidikan adalah terbangunnya SPMP termasuk : a. terbangunnya budaya mutu pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal; b. pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas dan proporsional dalam penjaminan mutu pendidikan formal dan/atau nonformal pada satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah; c. ditetapkannya secara nasional acuan mutu dalam penjaminan mutu pendidikan formal dan/atau nonformal; d. terpetakannya secara nasional mutu pendidikan formal dan nonformal yang dirinci menurut provinsi, kabupaten atau kota, dan satuan atau program pendidikan; e. terbangunnya sistem informasi mutu pendidikan formal dan nonformal berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang andal, terpadu, dan tersambung yang menghubungkan satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota, pemerintah provinsi, dan Pemerintah. Secara jelas dalam tujuan antara ini poin (d) adalah terpetakannya secara nasional mutu pendidikan formal dan nonformal yang dirinci menurut provinsi, kabupaten atau kota, dan satuan atau program pendidikan; Peta dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya adalah gambaran atau lukisan pada kertas dsb yang menunjukkan letak tanah, laut,sungai, gunung dsb. Berdasarkan batasan tersebut penulis memberikan diri bahwa Peta Mutu dapat dimaknai Gambaran mutu. Dalam Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjamin-an Mutu Pendidikan dalam pasal 20 dinyatakan bahwa Kegiatan penjaminan mutu pendidikan formal dan nonformal terdiri atas: a. penetapan regulasi penjaminan mutu pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota berdasarkan peraturan perundang-undangan; b. penetapan SPM; c. penetapan SNP; d. penetapan prosedur operasional standar (POS) penjaminan mutu pendidikan oleh penyelenggara satuan pendidikan atau penyelenggara program pendidikan; e. penetapan prosedur operasional standar (POS) penjaminan mutu tingkat satuan pendidikan oleh satuan atau program pendidikan; f. pemenuhan standar mutu acuan oleh satuan atau program pendidikan; g. penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan sesuai dengan acuan mutu; h. penyediaan sumber daya oleh penyelenggara satuan atau program pendidikan; i. pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh Pemerintah; j. pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah provinsi; k. pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh pemerintah kabupaten atau kota; l. pemberian bantuan, fasilitasi, saran, arahan, dan/atau bimbingan oleh penyelenggara satuan atau program pendidikan; m. pemberian bantuan dan/atau saran oleh masyarakat; n. supervisi dan/atau pengawasan oleh Pemerintah; o. supervisi dan/atau pengawasan oleh pemerintah provinsi; p. supervisi dan/atau pengawasan oleh pemerintah kabupaten atau kota; q. supervisi dan/atau pengawasan oleh penyelenggara satuan atau program pendidikan; r. pengawasan oleh masyarakat ; s. pengukuran ketercapaian standar mutu acuan; dan t. evaluasi dan pemetaan mutu satuan atau program pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Secara jelas dalam poin (s) adalah pengukuran ketercapaian standar mutu acuan. Apa yang dimaksud mutua cuan. Mari kita lihat pasal 10. Dalam pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa Penjaminan mutu pendidikan oleh satuan atau program pendidikan ditujukan untuk memenuhi tiga tingkatan acuan mutu, yaitu: a. SPM; b. SNP; dan c. Standar mutu pendidikan di atas SNP. Artinya apa ? Acuan mutunya adalah SPM, SNP dan di atas SNP. Penulis mencoba untuk melakukan telaah rasional EDS/M terkait “Peta Mutu” dan telaah yuridis EDS/M terkait “Peta Mutu”. Telaah Rasional EDS/M Terkait “Peta Mutu”. Dalam melaksanakan EDS/M ini sekolah yang dalam hal ini adalah Tim Pengembang Sekolah (TPS) mengisi instrument EDS/M mulai dari mengumpulkan bukti fisik dan mengisi dalam kolom bukti fisik, menulis Ringkasan Deskripsi Indikator Berdasarkan Bukti Fisik, menentukan tahapan pengembangan (bisa 1 yang dimaknai dibawah SPM; bisa 2 yang dimaknai mencapai SPM, 3 yang dimaknai mencapai SNP atau 4 yang dimaknai mencapai di atas SNP) dan menyusun rekomendasi. Rekomendasi tersebut dikonversi ke uraian program yang tertuang dalam RKS. Pengisian instrumen EDS/M dalam kolom bukti fisik, penulisan ringkasan deskripsi indikator berdasarkan bukti fisik, menentukan tahapan pengembangan dan menyusun rekomendasi sangat tergantung dari Keseriusan & Kemampuan terhadap Interpretasi Instrumen dan pemahaman SPM maupun 8 SNP. Dalam sekolah yang sama apabila dilakukan EDS oleh 2 TPS yang berbeda dengan waktu yang didesain tidak ada jeda serta dengan perbedaan keseriusan & emampuan terhadap Interpretasi Instrumen dan pemahaman SPM maupun 8 SNP sangat memungkinkan hasil pengisiannya berbeda. Menurut hemat penulis berdasarkan pemikiran tersebut maka EDS tidak bisa dijadikan peta mutu. Menurut hemat penulis perbedaan ini tidak apa-apa, yang penting adalah prosesnya dalam rangka mencapai tujuan antara poin a, yaitu terbangunnya budaya mutu pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal (Pasal 2 ayat (2). Telaah Yuridis EDS/M Terkait “Peta Mutu” Dalam Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam pasal 20 dinyatakan bahwa poin (t) dinyatakan bahwa evaluasi dan pemetaan mutu satuan atau program pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Menurut hemat penulis, pernyataan di atas cukup jelas bahwa pemetaan mutu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Menurut hemat penulis (tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran penulis salah), hal di atas bisa dimaknai bahwa proses pengisian instrumen pengukuran untuk pemetaan mutu sampai hasilnya menurut ketentuan yang dapat melakukan adalah Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Asumsi penulis (tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran penulis salah), bahwa kegiatan EDS proses pengisian instrumen sampai hasilnya dilakukan oleh sekolah. Jadi berdasarkan hal itu maka sesuai pasal 20 dinyatakan bahwa poin (t) pemetaan mutu tidak bisa dilakukan oleh sekolah. Dalam Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa Pengukuran ketercapaian standar mutu acuan dilakukan melalui: a. audit kinerja; b. akreditasi; c. sertifikasi; atau d. bentuk lain pengukuran capaian mutu pendidikan. Audit kinerja, akreditasi dan sertifikasi pelakunya adalah dari pihak eksternal Menurut hemat penulis (tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran penulis salah) untuk pernyataan bentuk lain pengukuran capaian mutu pendidikan penulis asumsikan dari pihak eksternal. Sehingga untuk pasal 2 Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pengukuran ketercapaian standar mutu acuan dilakukan oleh pihak eksternal. Dari telaah rasional EDS/M terkait “Peta Mutu” dan telaah yuridis EDS/M terkait “Peta Mutu” di atas, penulis berpendapat bahwa hasil EDS berdasarkan Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan tidak dapat dijadikan pemetaan mutu. Dari Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sultra yang mendiskusikan tentang Pemetaan Mutu Dalam Sistem Penjaminan Mutu yang alur pikirnya terurai di atas berdasarkan Permendiknas 63/2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan maka semua peserta Semiloka Penjaminan Mutu Pendidikan di LPMP Sultra yang berlangsung dari tanggal 1 – 3 November 2011 menyetujui bahwa EDS tidak dapat dijadikan pemetaan mutu. Atau ada yang berpendapat lain ? Dengan berbesar hati, siapapun boleh untuk tidak sependapat, siapapun boleh tidak setuju, siapapun boleh mengatakan bahwa apa yang penulis pikirkan di atas adalah salah. Sehingga tanggapan, kritikan, sanggahan atau apapun namanya akan penulis terima dengan hati terbuka & lapang dada walaupun dengan tidak membuka buah dada . . . . Selamat Mengoreksi & Mengkritisi . . . . . .

Perjuangan EDS

PUISI : Perjuangan EDS Karya : Kang EBES Kawan . . . . Trima kasih kirimanmu. . . Kata bijak penuh makna. . . Selamat berjuang menebar benih penjaminan mutu Selamat berjuang meningkatkan etos kerja WI Kata bijak penuh makna. . . Dari sobat yang lama tak bersua Menginspirasi membuat karya nyata. Dari suaramu yang berkata Selamat membangun WI yang kritis Selamat membangun pemikiran konstruktif Kawan . . . . Hati teriris dan bertanya . . . Menyikapi kata bijak penuh makna Mengapa datangnya dari luar sana ? Mengapa datangnya bukan dari sini ? Kawan . . . Ditengah kegalauan ketidak pastian lembaga Separuh jiwa nyaris terenggut pembubaran Dipelupuk mata terbayang ketidak pastian menganga Diufuk kalbu terbayang anak istri akan merana Karna pembubaran lembaga didepan mata Kawan . . . Kegalauan sirna ketika rahmad datang Sukma menjerit menyambut dengan girang Raga bersiaga menyambut awan harapan Badan baru tercipta badan penjaminan mutu pendidikan Kawan . . . Masih ingat lagunya Anang Darmansah Separuh jiwaku pergi ditinggal Krisdayanti PMPTK bubar membuat jiwa resah Badan baru mengharap kita bekerja dengan hati Kawan . . . Sampeyan bertanya dengan hati ? Ya . . . . Dengan hati ? . . . Dengan ketulusan. . . . Dengan kesungguhan . . . . Dengan ketekunan . . . . Sepi ing pamrih rame ing gawe . . . Kawan . . . Apa katamu . . . Tidak mungkin ? . . . Dengar kawan . . . Suara lantang Salam EDS . . . Suara bergelora Salam kompak . . . Ya . . . . Dengan kompak kita berjalan bersama Dengan kompak kita berjalan kesana Mempertaruhkan harga diri demi citra lembaga Semua itu membutuhkan resapan pesanmu Selamat berjuang menebar benih penjaminan mutu Selamat berjuang meningkatkan etos kerja WI Selamat membangun WI yang kritis Selamat membangun pemikiran konstruktif