Selasa, 29 Juni 2010

ALTERNATIF PEMIKIRAN : "MENELAAH PEMIKIRAN PAK JOHN DALAM PENGEMBANGAN KAPASITAS LPMP"

Oleh : Eri B Santosa

Sebelum melanjutkan tulisan saya yang berjudul : “Menelaah Pemikiran Pak John” ijinkan saya untuk mengatakan bahwa apa yang saya tulis ini saya yakini benar, namun saya menyadari bahwa yang saya pikirkan benar belum tentu menurut orang lain benar. Untuk itu kepada siapa saja yang akan menanggapi (termasuk pak John), dipersilahkan untuk menyalahkan dan atau akan mengoreksi pemikiran ini, dengan ketulusan hati sebelumnya saya mengucapkan terima kasih. Bila hal itu terjadi maka, Bapak/Ibu termasuk orang yang berjasa dalam hidup saya, karena bapak /ibu mampu meyakinkan saya untuk membelokkan pemikiran saya yang selama ini saya yakini benar ternyata salah. Apa lagi saya juga menyadari, banyak diantara teman-teman yang secara akademis sudah sampai pada level Doktor dan bahkan ada yang sudah profesor. Bila mengingat level itu perasaan ini memang terasa kecil, namun ijinkan saya untuk memperbesar semangat, memperbesar keberanian, memperkecil kemaluan (eh . . . yang benar apa ya ? Yang saya maksudkan adalah rasa malu”) dan menjelajah pemikiran yang saya ekspresikan dalam tulisan yang sekaligus juga merupakan hobi yang selama ini saya tekuni.
Sengaja judul yang penulis ambil adalah : “Menelaah Pemikiran Pak John Dalam Pengembangan Kapasitas LPMP”.

Dalam Yahoo.answer, definisi pemikiran adalah apa yang diusahakan oleh seseorang untuk mengeluarkan suatu gagasan atau ide kepada khalayak ramai. Siapa pak John ? Pak John adalah seorang konsultan internasional yang menangani perumusan konsep dasar Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan (SPPMP) Tingkat Dasar dan Menengah atau Educational Quality Assurance and Improvement System (EQAIS). Terkait dengan konsep EQAIS, secara kelembagaan implementasi EQAIS lebih difokuskan pada Pengembangan kapasitas (Capacity Building) LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan).

Pengembangan kapasitas LPMP meliputi :
-Pengembangan sumber daya manusia – pengetahuan, keterampilan, pemahaman, akses informasi, pelatihan/training
-Pengembangan organisasi – struktur, proces, prosedur, hubungan
-Pengembangan kelembagaan – visi, misi, tujuan, kebijakan, regulasi, rencana.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menelaah mempunyai makna mempelajari. Kesimpulannya makna judul tulisan ini adalah mempelajari apa yang diusahakan oleh Pak John (Konsultan Internasional) untuk mengeluarkan suatu gagasan atau ide terkait dengan pengembangan kapasitas LPMP. Apa yang ditelaah ? Yang ditelaah adalah kegiatan putaran 3. Kegiatan ini diawali dengan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan yang dilaksanakan dalam 2 putaran. Diujung pertemuan pada Putaran 1 dan putaran ke 2 dijelaskan tentang Format Rencana Aksi 1 dan Format Rencana Aksi 2 yang muaranya pada penyelesaian tugas pengembangan 1 dan tugas pengembangan 2.

Untuk kegiatan putaran 3 ini tidak diawali dengan pertemuan seperti putaran 1 dan putaran 2. Kegiatan putaran 3 ini diawali dengan diterbitkannya 4 buku pedoman, yaitu : 1. Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM; 2. Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI ; 3. Pedoman Pembentukan Tim Pengembangan Kapasitas External; dan 4. Pedoman Forum Pembelajaran Klaster (FPK) LPMP/BDK. Yang disusul dengan Pedoman Untuk Dukungan/Masukkan Pada LPMP/BDK Oleh CC, Tim Teknis Bindiklat, NTA & ITA MCPM Putaran 3.

Tulisan ini akan mencoba menelaah & menerka-nerka, ada apa dibalik pemikiran pak John terkait dengan pedoman 1 – 4 ? Muara akhir apa yang sebenarnya diinginkan pak John pada putaran 3 ini ? Sebelum saya menelaah lebih jauh kearah seperti yang ditulis di atas, ijinkan saya menyampaikan 3 fenomena yang menarik pasca pelaksananaan putaran 2 yaitu :
1. Ada suatu pernyataan yang menarik dari salah seorang personel ketika saya
mengadakan kunjungan ke salah satu LPMP. Intinya Pernyataan tersebut adalah ....... kalau LPMP dibubarkan tidak akan berpengaruh pada dunia pendidikan .... Kira-kira inti pernyataan yang saya tangkap seperti itu. Pernyataan yang lain adalah, ...... kalau salah satu seksi, misalnya seksi data dibubarkan tidak akan mempunyai pengaruh apa-apa di dalam lembaga ini. Kata-kata itulah yang sangat terkenang dan terngiang di dalam lubuk pikiran saya.
2. Ketika menanggapi emailnya pak Nurhasan (CC 1) tentang rencana putaran
melalui Yahoo Grup SPPMP ada tanggapan yang menarik dari Prof Zaim (Ka
LPMP Sumbar), yaitu tentang no 1, 3 dan 4, yang isinya sbb :
1)Dana yang ada di LPMP sangat terbatas, yaitu hanya untuk 2 kegiatan
CB. Satu kegiatan untuk Internal CB dan satu kegiatan lainnya untuk
eksternal CB, yang masing-masingnya hanya bisa melibatkan 40
orang. Sementara semua warga LPMP ada 110 orang. bagaimana
jalan keluarnya?
2)Rapat koordinasi yang dimaksudkan pada jadwal kegiatan workshop ini antara siapa dengan siapa? Dananya dari mana? Siapa yang melaksanakan? Demikian juga dengan Evaluasi workshop I, II, dan III.
3)Apakah perlu ada revisi anggaran? Ini tentu akan memerlukan waktu yang lama.

3. Ada suatu info yang menarik dari salah satu LPMP yang sedang
mengadakan Capacity Building Internal. Info itu adalah penyelenggaraan Workshop tersebut tidak ada panduan, tidak ada handout, jadwal cuma 1 lembar. Yang hadir dari 35 hanya 16 orang. Jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural, dst.
Fenomena ke – 3 adalah tindak lanjut dari putaran 1 dan 2 dan merupakan implementasi dari putaran 3. Seakan tak percaya bila suatu lembaga yang bernama Lembaga Penja-minan Mutu Pendidikan yang merupakan perubahan dari Balai Penataran Guru menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar. Bagaimana mungkin, lembaga yang bernama Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan ketika menyelenggarakan kegiatan untuk dirinya sendiri kenyataannya ”tidak bermutu” ? Apa yang dapat dibanggakan bagi LPMP yang menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar ? Bagaimana mungkin, kalau perilaku LPMP yang semacam itu mampu menciptakan ”Best Practise ?”

Merujuk tulisan diatas yang menyatakan bahwa ....... “kalau LPMP dibubarkan tidak akan berpengaruh pada dunia pendidikan” .... maka, untuk LPMP yang berperilaku menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk dibubarkan. Mungkin pemikiran ini terlalu ekstreem. Tapi mohon coba dibayangkan, suatu lembaga yang menyedot anggaran tiap tahun yang tidak kecil. Mempunyai nama yang agung yaitu Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Dari namanya, orang awam yang tidak memahami Permendiknas 07/2007 pasti akan terbangun image bahwa lembaga yang namanya ada mutunya pasti bermutu. Merujuk pada kultur Jawa (atau mungkin bahkan kultur Indonesia) ketika memberikan nama pada anaknya terbersit suatu harapan. Analog pemikiran saya, begitupun pemerintah. Ketika pemerintah memberikan nama Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan harapannya adalah lembaga tersebut mampu melakukan penjaminan mutu pendidikan. Sebelum melakukan penjaminan mutu pendidikan pada pihak lain, tentu saja sudah seharusnya dan sepantasnya melakukan penjaminan mutu untuk dirinya sendiri atau dengan kata lain melakukan penjaminan mutu pada kegiatan yang akan dimanfaatkan untuk dirinya sendiri. Makanya, pada waktu berakhirnya putaran 2, pak John memberikan gelas yang bertuliskan "Quality is Every Body’s Bussiness". Lalu terbersit suatu pertanyaan, kalau melaksana-kan untuk dirinya sendiri saja tidak bermutu, apa lagi untuk orang lain ? Berdasarkan uraian diatas, saya tetap mengatakan bahwa kalau ada LPMP yang berperilaku menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk dibubarkan. Atau mungkin ada yang berpendapat lain ? Silahkan berpendapat !

Ada kemungkinan bahwa kejadian di atas (fenomena 3) terkait dengan dana (fenomena 2). Ada kemungkinan ketiadaan dana dalam Dipa membuat Workshop (Capacity Building Internal) diselengarakan tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar, Yang hadir dari 35 hanya 16 orang. Jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural, dan terkesan penyelenggaraan-nya asal-asalan.

Sebelum mengulas lebih jauh ijinkan saya menyampaikan persepsi saya tentang LPMP. Saya kerja di LPMP mulai tahun 2005. Sebelumnya pernah berprofesi sebagai guru selama 20 tahun dengan Jabatan Fungsional Guru Utama Muda (Angka Kredit : 832,5), Pembina Utama Muda/IVc. Kepindahan ke LPMP karena suatu anugerah, setelah di Nonjob sebagai kepala sekolah yang diemban selama 8 tahun.
Kesan saya kerja di LPMP (walaupun hal ini tidak dapat disama ratakan untuk semua LPMP), sistem kerjanya dibangun terlalu berorientasi pada Dipa sehingga membentuk sikap dan perilaku Dipa minded . Dipa minded selalu berargumentasi bahwa ketika suatu kegiatan yang tidak ditunjang oleh DIPA, maka kegiatan tersebut tidak bisa jalan. Orientasi Dipa minded ini nampak pada program-tahunan di seksi teknis. Nyaris, program tahunan yang dibuat di seksi teknis merupakan penjabaran dari dalam Dipa. Sementara, kegiatan dalam Dipa hanya dapat mengakomo-dir sebagian pegawai. Kondisi ini, disadari atau tidak melahirkan kecemburuan antara staf yang di seksi teknis dan staf yang di subag umum.

Ada suatu fenomena, bahwa program tahunan yang dibuat di seksi teknis yang merupakan penjabaran dari dalam Dipa aktifitasnya tidak setiap hari, dan tidak semua staf diseksi tersebut dapat terlibat. Kondisi ini membuat ketika ada kegiatan yang ditopang oleh Dipa ada sebagian staf yang terlibat dan sebagian staf tidak mempunyai aktifitas. Untuk mengisi waktu tiap orang mempunyai ekspresi bermacam-macam, ada yang main game di komputer, kalau internet lancar ada yang chatting, ada yang ngrumpi, ada yang keluar ngobyek, pendek kata . . . . “bermacam-macam aktifitas”...... Artinya apa ? Kondisi menciptakan “pengangguran terselubung” pada jam-jam kerja. Hal yang sama juga terjadi bagi staf di seksi teknis pada waktu-waktu yang tidak ada kegiatan yang ditopang oleh DIPA. Kasusnya cenderung sama, mereka akan mengisi waktu tiap orang mempunyai ekspresi bermacam-macam, ada yang main game di komputer, kalau internet lancar ada yang chatting, ada yang ngrumpi, ada yang keluar ngobyek, pendek kata . . . . “bermacam-macam aktifitas”...... Artinya apa ? Kondisi menciptakan “pengangguran terselubung” pada jam-jam kerja.

Sistem yang dibangun yang akhirnya bermuara pada DIPA minded menghasilkan kebiasaan yang terlalu berorientasi pada “uang” alias “materi”. Kalau boleh mengatakan, sistem yang dibangun bertahun-tahun ini melahirkan budaya kerja atau kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi”. Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi” akan miskin dengan improvisasi, akan miskin inovasi, akan melunturkan idealisme, mematikan semangat dan cenderung akan mustahil melahirkan “best practices”. Padahal menurut hemat saya peningkatan akan diraih melalui ada-nya inovasi atau improvisasi, sehingga terjadi perubahan mu-aranya pada suatu pertumbuhan.
Suatu pertanyaan, apa yang bisa diharapkan pada suatu lembaga yang semangatnya mati & idealismenya tidak ada ? Justru tidak menutup kemung-kinan lembaga yang seperti ini bila ada kegiatan yang ditopang oleh DIPA ada kecenderungan pelaksanaan dilakukan dengan asal-asalan, apa adanya, dan formalitas saja.

Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi” akan mempengaruhi kohesitas lintas seksi. Tiap-tiap seksi akan berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya kegiatan dalam DIPA berdasarkan Tupoksi yang ada. Tiap-tiap seksi, dengan argumen-tasinya masing-masing dibangun untuk meyakinkan pihak lain yang kesannya berkecenderungan memperebutkan judul-judul kegiatan yang kadang masih buram (secara eksplisit kurang jelas kegiatan itu masuk tupoksi seksi yang mana). Ada suatu kemungkinan, untuk LPMP-LPMP tertentu, hal ini merupakan kejadian rutin diawal turunnya Dipa.
Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang DIPA minded tidak menganggap bahwa gaji dan uang lauk pauk itu merupakan hak yang harus melaksanakan kewajiban melakukan pekerjaan-pekerjaan di kantor.

Mestinya mindset itu harus dirubah dengan suatu bangunan sistem kerja yang lebih menghargai gaji dan uang lauk pauk. Sistem kerja yang menyadar-kan bahwa gaji dan uang lauk pauk itu merupakan hak dan konsekwensinya harus melaksanakan kewajiban untuk mengerjakan sesuatu yang positif dan bermanfaat di kantor pada jam-jam kantor. Seperti saya uraikan di atas, bahwa ada kemungkinan ketiadaan dana dalam Dipa pada LPMP tertentu membuat Workshop (Capacity Building Internal) diselengarakan tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar, Yang hadir dari 35 hanya 16 orang, jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural.

Kembali pada judul tulisan ini. Seperti telah saya uraikan diatas bahwa tulisan ini akan mencoba menelaah & menerka-nerka, ada apa dibalik pemikiran pak John terkait dengan pedoman 1 – 4 ? Muara akhir apa yang sebenarnya diinginkan pak John pada putaran 3 ini ? Apakah sesuai dengan Buku Pedoman II tentang Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI muaranya pada suatu Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI yang pelaksanaannya tanpa panduan, tanpa handout, dan jadwal hanya 1 lembar ?
Buku Pedoman 1, yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM. Buku Pedoman II yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI, Buku Pedoman III yang berjudul Pembentukan Tim Pengembangan Kapasitas Eksternal QA/QI dan Buku IV yang berjudul Forum Pembelajaran Klaster (Cluster Learning Circles = CLC).
Dari uraian Buku Pedoman 1, yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM, ada 2 hal yang menarik, yaitu :

1.Bab (A) alinea (1) & (2), yang kutipannya demikian :
Disamping upaya pemberdayaan yang sifatnya teknis, lebih penting lagi adalah merubah pola pikir (mind set) semua pihak yang terlibat dalam penerapan SPMP. Bagaimana menumbuhkan budaya peduli mutu melalui semangat peningkatan mutu yang berkelanjutan (quality continuous improvement) dan dengan semboyan: “ mutu adalah tanggung jawab setiap orang” ( quality is every one’s business). Dari banyak instansi yang terkait dengan implementasi SPMP di tingkat provinsi adalah Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP/BDK). Oleh karena itu, Pucuk Pimpinan LPMP/BDK dan pejabat structural didalamnya harus memahami “ruh”nya SPMP, mempunyai pengetahuan dan ketrampilan Leadership dan Managemen untuk menggerakan seluruh stafnya dan bersama pemangku kepentingan di luar LPMP/BDK yang terkait melakukan penjaminan mutu pendidikan tingkat dasar dan menengah.
Fakta lapangan menunjukan bahwa kondisi di LPMP/BDK saat ini masih belum sepenuhnya seperti yang digambarkan di atas. Oleh karena itu, kepada LPMP/BDK perlu dilakukan penguatan atau Pengembangan Kapasitas dalam aspek Leadership dan Manajemen khususnya bagi pejabat structural (Kepala LPMP/BDK, Kasubag, Kasi, dan Koordinator Widyaiswara) sehingga lembaga ini mempunyai comitmen dan mampu mengemban tugas utamanya yaitu bersama pemerintah daerah dan pemangku kepentingan yang relevan mengawal jalannya penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan di tingkat provinsinya masing-masing.

2.Bab (I) alinea (1) & (2) yang kutipannya demikian :
Aktivitas kegiatan lebih menekankan pada diskusi dan kerja kelompok, serta presentasi kasus-kasus nyata dari lapangan berkenaan dengan implementasi mutu pendidikan yang terkait dengan tupoksi LPMP/BDK dan pemangku kepentingan. Kegiatan ini perlu dikomunikasikan dengan Koordinator Klaster masing-masing LPMP/BDK dan Koordinator Program (Dra. Renny Yunus, MM).
Selain melakukan pertemuan kegiatan secara formal, tindak lanjut dapat dilakukan dalam bentuk on the job training dengan melakukan mentoring dan coaching oleh Tim internal LPMP/BDK. Kegiatan ini perlu dilanjutkan dan diprogramkan dalam kegiatan klaster (quality circle) di dalam dan/atau di antara unit kerja dalam LPMP/BDK.
Dari uraian Buku Pedoman II yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI, yang menarik, yaitu :
Bab (I) alinea (2) & (3), yang kutipannya demikian :
Setelah melakukan workshop secara formal, dilakukan pula on the job training dengan melakukan mentoring dan coaching dari Tim LM dan Tim QA internal LPMP/BDK.
Selanjutnya membentuk quality circle di antara unit kerja dalam LPMP/BDK untuk melaksanakan program kerja, dan melakukan kajian atau evaluasi pelaksanaan program.

Dari uraian Buku Buku IV yang berjudul Forum Pembelajaran Klaster, yang menarik, yaitu :
Bab (A) alinea , yang kutipannya demikian :
Sementara dalam upaya meningkatkan kapasitas diri masing-masing LPMP/BDK maupun melakukan kemitraan dengan pemangku kepentingan tentu banyak mengalami kendala baik secara konseptual maupun operasinal, untuk itu perlu dibuat forum pertemuan antara beberapa LPMP/BDK dalam klaster guna saling berbagi infomasi pengalaman baik (best practices) maupun pelajaran yang berharga (lesson learned) sehingga secara bersama-sama LPMP dapat berkembang lebih cepat dalam melakukan pengembangan kapasitas baik secara internal untuk staf LPMP sendiri maupun secara eksternal terhadap kabupaten/kota, propinsi dan pihak lainya yang terkait dalam melakukan penjaminan mutu pendidikan di tingkat dasar dan menengah.

Dari ketiga buku pedoman yaitu buku I, II & IV, menurut hemat penulis Muara akhir yang diinginkan pak John adalah LPMP/BDK menerapkan organisasi pembelajar (Learning Organization). Konsep learning organization pertama kali menjadi istilah yang populer setelah Peter Senge melontarkan gagasannya dalam bukunya “The Fifth Discipline”.
Beardwell dan Holden (2001) memberikan definisi yang lebih luas mengenai organisasi belajar, yaitu organisasi yang memfasilitasikan pembelajaran bagi seluruh anggotanya dan mentransformasikan secara sadar dalam konteks organisasi. Adapun maksud dan tujuan penggunaan proses belajar baik individual, kelompok maupun organisasional, adalah mentransformasikan organisasi untuk memenuhi kepuasan stakeholder. Menurut Pedler, Boydell dan Burgoyne dalam (Dale, 2003) mendefinisikan bahwa organisasi pembelajaran adalah “Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfor-masikan diri”. Menurut Lundberg (Dale, 2003) pembelajaran adalah “suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan penge-tahuan serta aplikasinya”.
Menurut Sandra Kerka (1995) yang paling konseptual dari learning organization adalah asumsi bahwa ‘belajar itu penting’, berkelanjutan, dan lebih efektif ketika dibagikan dan bahwa setiap pengalaman adalah suatu kesempatan untuk bela-jar.
Peter Senge menekankan pentingnya dialog dalam organisasi, khususnya dengan memperhatikan pada disiplin belajar tim (team learning). Peter Senge dalam karyanya yang terkenal memberi definisi Learning Organization sebagai “…organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together.” Ada beberapa kata kunci di sana yakni:
1. Senantiasa meningkatkan kemampuan dan kapasitas
2.Pemikiran baru dan luas diberi kesempatan tumbuh
3.Aspirasi bersama diberi kebebasan berkembang
4.Orang-orang yang terus menerus belajar

Peran organisasi adalah memberikan fasilitasi atau dukungan kepada seluruh anggotanya terkait proses pembelajaran sehingga orang-orang di dalam organisasi tersebut maupun organisasi itu sendiri dapat terus bertransformasi ke arah yang lebih baik secara kontinyu, terus menerus.
Dalam bukunya, Peter Senge mendeskripsikan bahwa dalam sebuah learning organization, maka pemimpin mendorong organisasinya untuk selalu meningkatkan kapasitas yang mereka miliki secara kontinu, demi memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam learning organization, maka terciptalah pemikiran baru yang menjadikan organisasi tersebut belajar secara terus menerus.

Watkins dan Marsick mengungkapkan karakteristik pada learning organization dimana proses learning terjadi pada individual, tim, organisasi hingga komunitas yang melakukan interaksi dengan organisasi. Learning adalah sebuah proses strategis yang kontinu, dan berintegrasi dengan pekerjaan. Hasil dari learning adalah perubahan dalam hal knowledge, belief, dan behavior. Learning juga meningkatkan kapasitas organisasi dalam melakukan inovasi dan pertumbuhan. Organisasi ini memiliki system yang mengedepankan learning.

Learning merupakan satu proses fundamental yang relevan bagi banyak aspek dari perilaku organisasi. Learning merupakan satu perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Pembelajaran menurut Argyris (1982) adalah suatu lingkaran aktivitas di mana seseorang menemukan suatu masalah (discovery), mencoba menemukan solusi atasnya (invention), menghasilkan atau melaksanakan solusi itu (production), dan mengevaluasi hasil yang diperoleh yang mengantarnya pada masalah-masalah baru (evaluation). Aktivitas-aktivitas ini disebut sebagai lingkaran pembejaran.

Konsep organisasi belajar diperlukan untuk mengimplementasikan organisasi belajar untuk mengembangkan kapabilitas individual dan organisasional, serta mengubah paradigma dari “person – job fit” menjadi “person – organization job”.
Dalam hal ini, termasuk peran dan tanggungjawab pemimpin untuk mendukung keberhasilan organisasi belajar, sehingga organisasi belajar diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi manajemen dan organisasi secara menyeluruh.
Berdasarkan hasil penelitian Tjakraatmaja (2002) dihasilkan temuan bahwa untuk membangun learning organization dibutuhkan tiga pilar yang saling mendukung, yaitu
1. Pembelajaran Individual (individual learning),
2. Jalur Transformasi Pengetahuan.
3. Pembelajaran Organisasional (organizational learning).
Proses pembelajaran diawali dengan individual learning untuk memahami potensi diri, yang merupakan proses akumulasi pengetahuan individu untuk menghasilkan keahlian/kemahiran pribadi (personel mastery). Individual learning didapatkan melalui pendidikan, pelatihan, dan kesempatan berkembang yang membuat individu tumbuh. Pilar transformasi pengetahuan berfungsi sebagai alat untuk munculnya proses transformasi pengetahuan (kompetensi) melalui proses berbagi pengetahuan di antara anggota-anggota organisasi. Pilar organizational learning adalah suatu pilar untuk menghasilkan intellectual capital yang mampu memberikan value added bagi organisasi.
Organizational learning dapat dikatakan sebagai suatu wadah untuk membangun kelompok manusia yang memiliki kompetensi yang beragam dan mampu melaksanakan kerjasama, sehingga mampu untuk berbagi visi, knowledge, untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi intellectual capital. Pembelajaran organisasi dicapai melalui riset dan pengembangan, evaluasi dan perbaikan siklus, ide dan input dari karyawan dan pelanggan, berbagai praktik terbaik dan benchmark

Kalau boleh mengatakan, harapan pak John adalah ditumbuhkannya semangat belajar dan terlebih lagi budaya belajar, yang sangat penting dimiliki oleh individu-individu dalam sebuah organisasi sehingga menjadi organisasi pembelajar (Learning Organization). Hal ini hanya bisa terjadi ketika individu dalam organiasi menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab atas proses belajarnya. Mereka menjadi orang-orang yang belajar bukan karena semata-mata adanya topangan anggaran dalam DIPA tetapi kelanjutan yang dipelihara yang awalnya dipandu dari Buku I, Buku II dan Buku IV yang dibiasakan, akhirnya terbiasa dan muaranya akan menjadi kebiasaan.
Alvin Toffler dalam salah satu tulisannya menyebutkan, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Tulisan diatas dapat diartikan bahwa kebodohan di abad 21 seperti saat ini bukan lagi diakibatkan oleh buta huruf semata, tetapi oleh orang-orang yang tidak mau belajar, tidak mau membuang pengetahuan yang salah yang selama ini diyakininya dan juga tidak mau mempelajari kembali apa yang telah dipelajari sebelumnya.

Untuk itu, supaya LPMP/BDK tidak terjebak kedalam jurang “kebodohan” menurut Alvin Toffler, harapan pak John yang tertuang di dalam Buku I, II & IV tidak berhenti ketika pak John kembali Ke Australia, tetapi “Learning Organization” tetap ditumbuh kembangkan yang pada saatnya akan berbunga semerbak wangi yang tentu saja akan mewangikan nama LPMP/BDK, dan muaranya akan berbuah yang bernama : quality continuous improvement . . .
Semoga . . .

Pesan Terselebung Dalam Gelas SPMP Pak John

Oleh : Eri B Santosa
CC Klaster 5 Bali

Pada waktu menjelang penutupan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan dilaksanakan dalam 2 putaran. Untuk putaran 2 di klaster 5 dilaksanakan mulai hari Senin 8 Juni – 12 Juni 2009 di Hotel Aston Denpasar ada dua momen yang cukup unik, yaitu dibagikannya gelas yang merupakan hadiah dari pak John dan penjelasan Rencana Aksi dari Koordinator Klaster.

Apanya yang unik ? Bukankah sudah menjadi sesuatu yang lumrah manakala ada sesuatu produk tertentu menghadiahkan gelas ? Produk Rinso sering menghadiahkan gelas pada konsumennya. Sabun Daia sering juga menghadiahkan gelas pada konsumennya. Lalu apanya yang unik ?

Gelas pemberian pak John bukan gelas sembarang gelas. Suatu gelas yang istimewa. Bukan berarti keistimewaannya kalau digunakan untuk menyedu kopi tanpa gula akan manis dengan sendirinya. Bukan . . . bukan itu. Bukan berarti keistimewaannya bahwa gelas itu mampu merebus air mentah dengan sendirinya. Bukan . . . bukan itu. Bukan berarti keistimewaannya kalau dituangkan racun akan menjadi madu. Bukan . . . bukan itu. Keistimewaannya gelas tersebut adalah : 1. Tulisannya : "Quality is Every Body’s Bussiness". 2. Gelas putih sering dijadikan perumpamaan ketika Pak John menjelaskan “Standar – Komponen – Indikator”. Dengan perumpamaan gelas Pak John menjelaskan tentang QA & QI. Sesuai dengan materi lokakarya yang lalu, QA adalah serangkaian proses yang saling terkait dan sistem untuk mengumpulkan, menganalisis dan membuat laporan tentang data tentang kinerja dan mutu dari tenaga, program dan lembaga pendidikan. Proses QA mengidentifikasi hal-hal yang telah dicapai (areas of achievement) dan prioritas-prioritas peningkatan mutu (quality improvement); memberikan data untuk pengambilan keputusan berbasis data; dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan.

Apanya yang unik materi yang dipresentasikan CC terkait penjelasan Rencana Aksi ? Yang cukup unik, CC bukan hanya menjelaskan tentang jadwal pengumpulan Rencana Aksi, pengumpulan laporan mingguan & pengumpulan Tugas Pengembangan, tetapi mengkorelasikan Rencana aksi dengan QA & QI.
Pada proses penyelesaian Rencana Aksi 1, Data menunjukkan bahwa yang mengumpulkan tepat waktu sebanyak 6 kelompok (37,5 %) dari 16 kelompok LM & QA. Pertanyaan yang menggelitik adalah, apanya yang salah ? Mengapa hanya mencapi 37,5 % ?
Guna memperkuat data yang ada, diberikanlah instrumen yang menanyakan, apakah mereka kesulitan dalam penyusunan Rencana Aksi ? Yang menjawab kesulitan sebanyak : 55,55%. Pertanyaan yang menggelitik adalah, apanya yang salah ? Mengapa tingkat kesulitan dalam penyusunan Rencana Aksi mencapai 55,55 % ?

Apakah ini merupakan QA ? Mari kita lihat batasan QA diatas. Proses QA mengidentifikasi hal-hal yang telah dicapai (areas of achievement) dan prioritas-prioritas peningkatan mutu (quality improvement); memberikan data untuk pengambilan keputusan berbasis data; dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan. Apakah angka 37,5 % dan 55,55 % adalah suatu data ?
Suatu pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana supaya dalam pelaksanaan Rencana Aksi 2 dapat meningkat ? Untuk menjawab pertanyaan itu berarti harus ada keberanian melihat kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan di masa mempersiapkan putaran 1. Kalau orientasi kita pada kualitas, maka kesalahan bukan sesuatu yang memalukan, kesalahan bukan aib dan kesalahan bukan sesuatu yang harus ditutup-tutupi. Justru kalau berorientasi pada kualitas, maka kesalahan harus dicari, kesalahan harus ditemukan dan kesalahan harus dianalisa.

Sebelum saya melanjutkan tulisan saya ini, secara jujur pencapaian 37,5 % dan 55,55 % adalah kesalahan dan tanggung jawab seorang CC. Justru karena tanggung jawab itulah jawaban dicari.
Dari perenungan yang ada, ditemukan beberapa kemungkinan faktor penyebab sehingga pengumpulan rencana aksi tepat waktu hanya mencapai 37,5 % & kesulitan pembuatan Rencana Aksi mencapai 55,55% adalah sbb :

1.Presentasi CC yang tidak gamblang
Rencana aksi disampaikan oleh Konsultan & CC. Kesulitan dalam mengerjakan tugas dimungkinkan karena penjelasan CC tidak jelas. Hal ini disebabkan karena CC tidak mempersiapkan diri dalam mempersiapkan materi yang akan dipresentasikan. Bukannya CC mau mencari pembenaran, namun CC mendapatkan Format Rencana Aksi pada hari Senin, sementara presentasi dilaksanakan hari Selasa malam.
Disisi lain, sekali lagi bukan mencari pembenaran, faktanya menunjukkan bahwa kegiatan tersebut segala “tetek bengeknya” dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab CC, karena tidak ada panitia yang lain. Namun, apapun alasannya, dibolak-balik sampai bolak, kesimpulannya tetap, bahwa CC tidak gamblang dalam menjelaskan rencana aksi.

2.Tugas Pengembangan tidak dipresentasikan
Dalam menyusun rencana aksi dalam rangka tugas pengembangan, salah satu kunci pokok adalah keterpahaman pertanyaan-pertanyaan dalam Tugas Pengembangan.
Pemahaman ini sangat penting karena :
a.Memberikan gambaran apa yang akan dikerjakan,
b.Mampu membuat langkah- langkah penyelesaiannya
c.Mampu menafsir bobot tugas tiap nomor
d.Mampu mendistribusikan pada anggota
e.Mampu mengestimasi penyelesaian waktu.
Dalam putaran 1, tugas pengembangan ini kurang atau mungkin tepatnya tidak dibahas. CC hanya mengutarakan jadwal kapan rencana aksi dikumpulkan dan kapan laporan mingguan dikumpulkan seperti apa yang secara eksplisit tertulis dalam materi rencana aksi.

3.Materi tugas yang tidak gamblang
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa secara eksplisit apa yang tertulis dalam materi Rencana Aksi adalah tagihan pengumpulan rencana aksi dan tagihan laporan mingguan. Namun dalam perjalanan waktu CC yang membingungkan ini menagih agar kelompok LM & QA mengumpulkan tugas. Yang mungkin perlu dipertanyakan adalah, mengapa CC meminta supaya Tugas Pengembangan kelompok LM & QA dikumpulkan ? Jawabannya adalah, bukankah yang akan dipresentasikan pada awal putaran 2 nantinya adalah Tugas Pengembangan ?

4.Pertanyaan dalam tugas pengembangan tidak gamblang
Ada kemungkinan ini hanya keterbatasan persepsi penulis yang menyatakan bahwa pertanyaan dalam tugas pengembangan tidak gamblang sehingga dimungkinkan multitafsir atau membingungkan. Sekali lagi, bahwa hal ini kemungkinan hanya pesepsi penulis, jadi terlalu subyektif untuk diulas lebih lanjut.
Benjamin Franklin mengatakan, ”Seseorang dengan kemampuan biasa-biasa saja bisa mencapai hal-hal yang besar di masyarakatnya jika dilengkapi dengan perencanaan yang baik.”
Hal ini sejalan dengan slogan atau kata-kata bijak yang sering kita temui, yaitu : ”Jika Anda gagal menyusun rencana, maka yang sebenarnya Anda lakukan adalah Anda menyusun rencana untuk GAGAL,”
Rencana yang baik adalah kunci kesuksesan pelaksanaan. Rencana me-rupakan jembatan penghubung masa kini dan masa depan atau posisi saat ini dengan posisi yang akan datang yang diharapkan. Perencanaan yang baik me-rupakan seni membuat hal yang sulit menjadi sederhana sehingga memudahkan untuk mewujudkan segala sesuatunya menjadi mungkin dilaksanakan, mungkin diwujudkan dan mungkin untuk dicapai

Sebuah artikel di www.careerplanning.about.com, yang berjudul Writing a Career Action Plan menggambarkan rencana aksi sebagai sebuah ”peta” yang membantu kita untuk berangkat dari titik A -kondisi saat ini, ke titik B-target yang ingin kita capai di masa depan. Peta (rencana) ini juga membantu kita melewati titik B untuk mencapai titik C, D, E dan seterusnya sampai kita dapat mewujudkan cita-cita kita di titik Z.

Kembali kemasalah QA. Proses QA mengidentifikasi hal-hal yang telah dicapai (areas of achievement) dan prioritas-prioritas peningkatan mutu (quality improvement); memberikan data untuk pengambilan keputusan berbasis data; dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan.
Data pada putaran 1 menunjukkan yang mengumpulkan tepat waktu sebesar : 37,5 % & yang mengalami kesulitan pembuatan Rencana Aksi 1 mencapai 55,55%.
Perubahan-perubahan tindakan apa yang terjadi menjelang dan selama pelaksanaan lokakarya putaran 2 guna menaikkan prosentase pengumpulan tepat waktu dibandingkan putaran 1 ?
Perubahan perubahan tindakan itu mencakup :

1.Pengiriman Tugas Pengembangan 1 Minggu Sebelum Pelaksanaan Lokakarya Putaran 2
Tugas pengembangan yang ada dalam Unit-Unit Modul yang akan diberikan pada putaran 2 telah dikirimkan 1 minggu sebelum pelaksanaan lokakarya melalui email. Hal ini dimaksudkan dengan harapan :
a.Agar sebelum pelaksanaan sudah ada gambaran tentang tugas yang akan diberikan.
b. Apabila kurang jelas akan dipertanyakan dalam pembahasan materi.

2.CC Menyiapkan bahan presentasi Rencana Aksi
Dalam mempersiapkan dan melaksanakan lokakarya putar- an 2, dalam persiapan dan pelaksanaannya CC sudah dibantu dua orang panitia sehingga mempunyai waktu dan kesempatan untuk mempersiapkan materi lebih baik.
Materi yang ditampilkan menyangkut :
a.Korelasi Rencana Aksi dengan QA & QI
b.Proses QA & QI dalam pengelolaan anggota yahoo grup klaster 5.
c.Data pencapaian prosentase pengumpulan rencana aksi yang mencapai 37,5%.
d.Data kesulitan dalam penyusunan rencana aksi yang mencapai 55,5%.
e.Cara mengirim e-mail dan tembusan ke klaster 5
f.Upaya-Upaya yang telah dilakukan guna menaikkan prosentase pengumpulan rencana aksi

3.CC memanggil perwakilan LM & QA untuk Diskusi Rencana Aksi
Disela-sela waktu istirahat CC mengundang perwakilan dari lembaga, terkait dengan penyusunan rencana aksi. Pola yang digunakan adalah face to face dengan menggunakan media laptop. Pola yang dikembangkan bukan untuk mengajari, tetapi untuk diskusi dan menyamakan persepsi.
Data lembaga & peserta yang diundang adalah sebagai berikut : 1. LPMP Papua, Pak Bleskadit & Pak Adrian 2. LPMP Malut, Pak Rahmad & Bu Wilsa; 3. LPMP Bali Pak Abdi; 4. LPMP Jatim Pak Muhyidin; 5. LPMP NTB, Bu Anggraeni; 6. BDK Surabaya, Bu Ana; 7. LPMP NTT, Pak Mul; 8. BDK Denpasar . . . saya lupa

4.Fasilitator Memaparkan tentang Tugas Pengembangan
Dalam putaran 2 terkait dengan tugas pengembangan ada perubahan dibandingkan dengan putaran 1. Pada putaran ke 2 ini fasilitator menampilkan tayangan tentang Tugas-Tugas Pengembangan dan memberikan waktu kepada peserta untuk menanyakannya. Namun, ketika sesion ini dilaksanakan dan penulis berada di ruang LM, ternyata tidak ada satupun yang mempertanyakannya. Kita berpikir positip saja, bahwa semua peserta di LM sudah memahami tentang 5 tugas pengembangan.
Pertanyaannya, apakah perubahan-perubahan tindakan itu membawakan hasil ? Dari data yang ada, pada putaran 2, yang tepat mengirimkan rencana aksi tepat waktu mencapai : 68,75%. Sementara di putaran 1 hanya mencapai 37,5%.
Yang belum mengumpulkan tinggal LM LPMP Papua, LM & QA BDK Surabaya serta LM & QA LPMP Jatim. Terakhir dihubungi (SMS) Selasa (23 Juni 2009) jam 10 Wita, LM LPMP Papua sementara dikerjakan namun petugas yang mengirimkan email masih sakit. LM & QA BDK Surabaya sementara dikerjakan dan berupaya hari ini mengirimkan email. LPMP Jatim, masih tetap mendendangkan lagu tahun 80-an, yaitu : “Aku masih seperti yang dulu . . . “. Maksudnya apa ? belum ada jawaban.

Seperti telah diuraikan diatas, bahwa pak John menghadiahkan gelas yang istimewa yang ada tulisannya : "Quality is Every Body’s Bussiness". Menurut hemat saya, ada pesan terselubung pemberian pak John itu. Maknanya apa? Bahwa kualitas adalah milik setiap orang. Kita di semua LPMP tidak asing dengan istilah Continouns Improvement. Karena istilah ini sangat lekat dengan SMM ISO. Continouns Improvement mengandung makna peningkatan berkelanjutan. Untuk meningkat, kita harus berani secara terbuka mengidentifikasi kekurangan-kekurangan ataupun kesalahan-kesalahan. Kesalahan bukanlah suatu aib yang mesti ditutup-tutupi. Justru ketika kesalahan ditutupi, Continouns Improvement tidak terjadi, tidak punya sensitivitas untuk Quality Assurannce.
Gelas yang bertuliskan "Quality is Every Body’s Bussiness" mengandung pesan yang terselubung agar sikap hidup yang berorientasi pada kualitas dapat terinternalisasi pada diri kita, baik untuk lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan di lingkungan kantor. Ketika orientasi kepada mutu, maka seharusnya tidak boleh berpola pikir apa adanya, tidak boleh berpikir seadanya & tidak boleh melaksanakan dengan asal-asalan. Yang penting jadi. Yang penting selesai. Yang penting sudah dipertanggung jawabkan. Yang penting sudah dillaporkan. Menurut saya bukan . . ., bukan itu . . .

Gelas yang bertuliskan "Quality is Every Body’s Bussiness" diberikan kebanyakan pada peserta yang lembaganya bernama mentereng yaitu Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Sebuah nama besar yang sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk tetap dibesarkan oleh insan-insan yang berada di dalamnya untuk bersikap, berpola pikir dan berperilaku yang berkualitas. Sehingga lagu wajibnya bukan lagi lagu : “Aku masih seperti yang dulu . . . “.

Harapan Perubahan Paradigma Ditepi Bibir Kegagalan, Akankah ?

Oleh : Eri B Santosa
LPMP Cluster Development Coordinator Cluster 5 Bali
Managing Contractor Program Management (MCPM)
For The Australia-Indonesia Basic Education Program

Ada suatu pernyataan yang menarik dari Direktur Bindiklat ketika membe-rikan materi pada Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan pada hari Kamis 11 Juni 2009 di Hotel Aston Denpasar.
Dalam paparannya yang menggelitik adalah pelaksanaan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP ini dalam rangka perubahan paradigma berpikir sumber daya manusia di LPMP.
Apa yang dimaksud perubahan paradigma berpikir ?
Dalam khazanah ilmu social, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi. Di dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia kita bisa menemukan dalam kata “paradigm” artinya model pola, contoh.
Dalam buku The Structure of Scientific Revolution (1972), yang ditulis oleh Thomas Kuhn menyatakan bahwa paradigma adalah :
1.Paradigma berarti keseluruhan perangkat—‘konstelasi’— keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat.
2.Paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan sebagai model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara yang lain sebagai landasan bagi pemecahan atau teka-teki dalam ilmu pengetahuan normal.”

Menurut Thomas Khun, “paradigma baru” adalah siklus perubahan yang berlangsung dalam aras mode of thought, mode of inquiry and mode to actions (cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak).
Pergeseran paradigma dapat berlangsung secara sukarela, proaktif antisipatif melalui proses pembelajaran terus menerus dan dapat juga berlangsung secara terpaksa.

G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tantang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu.
Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya.
Sedangkan menurut Guba, paradigma dalam ilmu pengetahuan mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia dalam keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.

Ada juga yang mendefinisikan bahwa pradigma adalah pola pikir dan pandangan seseorang yang terbentuk baik karena Bakat, Pengetahuan maupun karena Lingkungannya (Web HYF)
Karena Paradigma sangat tergantung dari pengalaman, bakat dan pengetahuan seseorang maka kemungkinan bahwa Paradigma seseorang salah atau kurang lengkap adalah sangat besar. Dan akibatnya tindakan seseorang yang didasari atas paradigma yang salah atau tidak lengkap tersebut, juga bisa salah atau kurang lengkap.
Dari batasan di atas, maka paradigma salah satunya sangat tergantung dengan ”pengetahuan”.

Kalau boleh mengatakan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan lahir dari metomorfosa BPG. Berdasarkan SK mendiknas No : 087/O/2003 tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Pendidikan dan SK mendiknas No : 044/O/2004 tentang Perincian Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Pendidikan. Lembaga dalam proses bebenah, lahirlah PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang didalamnya termuat tentang peran LPMP. Mengakomodir hal tersebut, lahirlah Permendiknas No 07 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dan SK mendiknas No : 049 tahun 2008 tentang Perincian Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan .
Untuk melihat kesiapan LPMP dalam melaksanakan tupoksi baru, Dit. Bindiklat melakukan kerjasama dengan AusAID Basic Education Project (AIBEP) pada tahun 2007 melaksanakan Review Kapasitas LPMP dan sosialisasi hasil (road show).
Hasil dari review kapasitas untuk LPMP beberapa diantaranya adalah :
•LPMP belum merencanakan secara luas tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang baru dan mereka masih menunggu penjelasan yang lebih detail dari Depdiknas mengenai model penjaminan mutu pendidikan;
•Tingkat pemahaman terhadap tupoksi baru di sebagian besar LPMP perlu ditingkatan serta persiapan staf perlu dilakukan di beberapa LPMP;
•Terdapat perbedaan yang berarti dan bervariasi antar LPMP dalam hal kesiapannya untuk menjalankan tupoksi baru;
•Pengembangan kapasitas staf sebaiknya difokuskan pada bidang:
oKonsep Quality Assurance
oMetodologi Quality Assurance
oMonitoring dan Evaluasi Pendidikan
oManajemen dan pengembangan program
oProgram pengembangan kerja sama

Tupoksi merupakan kependekan dari tugas pokok dan fungsi. Arti tugas pokok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 1215) adalah sasaran utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai, sedangkan fungsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 322) artinya adalah pekerjaan yang dilakukan. Dari arti di atas dapat diambil sebuah konsep bahwa tugas pokok dan fungsi (tupoksi) adalah sasaran utama atau pekerjaan yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai dan dilakukan. Dengan demikian, aparatur yang berwawasan tupoksi seyogyanya adalah pegawai negeri sipil yang melaksanakan pekerjaan yang dibebankan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Dalam kaitan ini, seorang aparatur harus benar-benar melaksanakan tugas pokok yang diamanahkan dengan konsep yang terarah serta kosentrasi yang tinggi.
Perubahan Tupoksi dari lembaga yang berorientasi kediklatan ke arah lembaga yang berorientasi pada penjaminan mutu menuntut pergeseran paradigma semua aparatur yang ada di LPMP.
Mengutip pendapat Werther dan Davis (1996) bahwa manajemen sumber daya manusia adalah usaha untuk meningkatkan produktifitas manusia di dalam suatu organisasi agar memberikan kontribusi secara etis dan sosial. Sedangkan Hadari Nawawi (1997) mengungkapkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah proses mendayagunakan manusia sebagai tenaga kerja secara manusia, agar potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan organisasi. Dari dua definisi di atas, jelas aparatur merupakan bagian dari pelaksana untuk melakukan tugas-tugas organisasi.

Setiap aparatur kemampuan skill dan manajerial mesti selalu dikembangkan. Pengembangan skil dan manajerial tersebut sering diistilahkan dengan pengembangan manajemen sumber daya manusia (MSDM). Jadi sangatlah tepat kalau langkah yang dibuat adalah Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan.

Pengembangan kapasitas LPMP meliputi :
-Pengembangan sumberdaya manusia – pengetahuan, keterampilan, pemahaman, akses informasi, pelatihan/training
-Pengembangan organisasi – struktur, proces, prosedur, hubungan
-Pengembangan kelembagaan – visi, misi, tujuan, kebijakan, regulasi, rencana.
Pengembangan kapasitas ini dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan bekerjasama dengan MCPM-AusAID menyelenggarakan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan di lima klaster dan diselenggarakan di kota dimana Ketua Klaster berada, yaitu Klaster 1 di Jakarta (LPMP DKI), Klaster 2 di Bandung (LPMP Jabar), Klaster 3 di Semarang (LPMP Jateng), Klaster 5 di Denpasar (LPMP Bali), dan Klaster 4 di Makasar (LPMP Sulsel). Peserta dari kegiatan ini adalah 10 orang, yaitu Kelas LM yang terdiri dari para kepala (5 orang) & Kelas QA yang terdiri dari 5 orang staf & WI.

Kegiatan dilaksanakan dalam 2 putaran, yaitu untuk putaran 1 antara bulan maret – april 2009. Dan putaran 2 dilaksanakan antara bulan Mei & Juni 2009. Setiap putaran diakhiri dengan Tugas Pengembangan yang dijabarkan dalam Rencana Aksi Putaran 1 & Rencana aksi Putaran 2. Rencana aksi putaran 1 untuk Tim LM mendapatkan 3 tugas pengembangan, Tim QA mendapatkan 5 tugas pengembangan yang diselesaikan selama 7 – 8 minggu.
Strategi penyelesaian tugas kesannya dilaksanakan secara variatif. Ada yang tugas tersebut dibagi-bagi pada tiap-tiap personel yang berangkat pada waktu pelaksanaan lokakarya. Ada yang tugasnya dilaksanakan dengan mengadakan pertemuan untuk membahasnya. Ada juga yang wayangan, artinya dikebut dalam beberapa hari menjelang pelaksanaan Putaran 2.

Ada suatu data yang menarik, bahwa ada beberapa lembaga yang tidak kontinu melaksanakan pertemuan karena keterbatasan waktu. Hal ini cukup dapat dimaklumi, karena beban pekerjaan LPMP yang cukup tinggi.
Kejadian ini cukup menggelitik, karena dengan keterbatasan waktu yang disebabkan beban kerja saja mengakibatkan daya serap kegiatan belum menggembirakan, apalagi kalau waktu masih tersita untuk membahas bersama untuk materi Pengembangan kapasitas. Bagaimana ini ? Bagaimana pak Mardin (CC Klaster 4) ? Dalam pernyataannya yang baru lalu, saya yakin pak Mardin tidak setuju dengan hal ini, menurut beliau, semuanya “tinggal manajemen waktu”. Betul pak Mardin ? Atau salah ?

Pesan dari Direktur Bindiklat yang menyatakan bahwa pelaksanaan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan ini dalam rangka perubahan paradigma berpikir sumber daya manusia di LPMP harus kita renungkan bersama. Untuk itu harus ada kesadaran bahwa Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan ini bukan hanya menjadi milik para peserta yang mengikutinya. Hal ini akan lebih baik kalau secara berproses dalam pengerjaan tugas. Memang berat . . . , siapapun akan cenderung mengatakan berat. Apalagi ditengah realita dibeberapa LPMP menunjukkan bahwa daya serap kegiatan dibandingkan dengan perjalanan waktu, prosentasenya belum menggembirakan. Namun, ternyata ada LPMP-LPMP yang mampu melakukan itu. Ini bukan untuk membandingkan, ini bukan untuk mengecilkan sebuah arti, dan ini bukan untuk menggurui. Sekali lagi bukan. Tetapi hal itu adalah suatu fenomena yang terjadi.

Kalau boleh memaknai lebih jauh, Tugas Pengembangan secara filosofis dapat dimaknai bukan hanya terselesaikannya tugas (walaupun ini uga penting), namun Tugas Pengembangan dapat juga dimaknai dalam penyelesaian tugas akan melibatkan orang yang lebih banyak lagi. Walaupun mungkin ada yang berpendapat bahwa bukankah nanti juga akan dilaksanakan IHT ? Bukankah kalau prosesnya melibatkan orang yang lebih banyak, ditambah lagi dengan diselenggarakan IHT, secara jumlah akan lebih banyak ? Sehingga secara kuantitatif akan lebih baik. Dan muaranya keterpahaman aparatut terhadap “pengetahuan” dari materi Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan akan lebih banyak & lebih baik. Dan kolektifitas ini akan mampu merubah paradigma berpikir seperti apa yang diharapkan dari Direktur Bindiklat. Akan merubah pola pikir aparatur LPMP terhadap Tupoksi yang baru.

Merujuk pernyataan David Osborne & Ted Geabler bahwa pemerintah perlu melakukan perubahan, salah satunya bahwa sistem-sistem dalam pemerintahan tidak cukup efektif membentuk kompetensi & kualitas SDM yang handal, sebaliknya sistem dalam pemerintahan telah membentuk para birokrat kurang responsif, lamban, berorientasi pada status quo, korup dan sebagainya sehingga sistem-sistem yang ada dalam pemerintahan harus berubah.
Prof Dr Maswardi Rauf salah satu kendala untuk mewujudkan Good Governence (Kepemerintahan yang baik) adalah jabatan-jabatan strategis masih dijabat oleh orang-orang status quo.
Saya yakin seyakin-yakinnya, apa yang dinyatakan oleh David Osborne & Ted Geabler serta Prof Dr Maswardi Rauf tidak berlaku bagi para kepala LPMP di Indonesia. Dan saya yakin seyakin-yakinnya para kepala LPMP akan menggerakkan pertemuan-pertemuan dalam bentuk pengerjaan tugas pengembangan secara kelompok maupun mengadakan deseminasi-deseminasi. Semuanya terletak pada organ tubuh yang namanya bibir.

Keyakinan saya yang seyakin-yakinnya diatas, waktu yang akan membuktikan. Kalau keyakinan saya itu terjadi, saya yakin apa yang dinyatakan Direktur Bindiklat atau yang menjadi harapan dari pelaksanaan kegiatan ini bahwa terjadi perubahan paradigma. Tetapi kalau kepedulian tidak ada, menganggap bahwa hal ini bukan kepentingan LPMP, menganggap bahwa saya lebih segalanya dari pada lu. Terserah lu . . . . dan yang disenandungkan adalah lagunya Maia Estianti, Emang Gue Pikirin. Mungkin saya salah, tetapi keyakinan saya adalah perubahan Paradigma berpikir karena perubahan Tupoksi akan sulit diwujudkan dan Harapan Perubahan Paradigma Ditepi Bibir Kegagalan. Akankah ?
Selamat menjawab & menanggapi . . . .

Senin, 28 Juni 2010

“Sistem Penjaminan Mutu, Refleksi Kang Eri”

Karya : Eri B Santosa
Ya Kawan . . . . . aku paham . . .
Ya kawan . . . . . aku mengerti . . .
Ditengah kepentingan pemegang saham
Diantara mereka yang tak mau mengerti
Bukan karena tidak peduli
Bukan karena takut tersaingi
Namun sejarah & waktu yang akan menjadi bukti


Kawan . . . .
Perjuangan ini bermula di dua ribu tuju
Perjalanan panjang untuk proses mencari diri
Hanya jawaban SPMP yang dicari
Proses kadang aneh dengan nada setuju yang susah dimengerti
Bukan karena iri dan dengki
Namun kadang gusar karena mis filosofi
Dalam penerapan SPMP yang jangan sampai mati


Kawan . . .
SPMP 63/2009 tak kan bisa berdiri sendiri
Masih ada PP 19/2005 Tugas LPMP tersembunyi
Masih ada Permen 07/2007 tentang LPMP Tupoksi
Masih ada konsep data-analisis-hasil dan rekomendasi
Kalau berarti, harus ada fasilitasi
Masih ada PP 19/2005 tentang penjaminan mutu satuan pendidikan
Kata “Wajib” melaksanakan tidak lagi dapat dipungkiri
Karya Mandikdasmenpun tidak pernah sepi
Konsep SPM lahir untuk difahami
Salah satunya yang penting untuk dimengerti
Mencari jawab untuk diimplementasi
Hubungan SPM, SNP, Akreditasi & Penjaminan Qualiti (Slide 8)


Kawan . . .
Semuanya jangan berjalan sendiri-sendiri
Jangan ego untuk pemuas diri
Jangan munafik mengatasnamakan untuk negeri
Semua diatas harus dikolaborasi
Dalam suatu pemikiran yang penuh isi
Jangan terjebak hanya pada Evaluasi Diri
Yang masih ragu cantelan regulasi


Kawan . . .
SPMP 63/2009 tak kan bisa berdiri sendiri
SPMP 63/2009 jangan biarkan sendiri
SPMP 63/2009 jangan dijadikan dokumen mati
Seperti kakaknya Kepmen 0129a/2004 yang mati tak terimplementasi


Kawan . . .
Kita berjalan bersama saat ini
Menuju pada ujung SPMP yang terimplementasi
Jangan ragu akan fenomena saat ini
Lambat atau cepat pasti semua harapan terjadi


Kawan . . .
Kita sepaham mestinya apa yang kita lakukan saat ini ?
Membuat skenario baru untuk membuat strategi
Implikasi dari berubahnya Draft Permen SPPMP
Nyatanya yang ada Permen 63/2009 yang ada disini


Kawan . . .
Permen 63/2009 jangan biarkan dia kepanasan
Jangan biarkan dia layu tak berkembang dan akan mati
Bukalah baju pasal-pasal untuk dimengerti
Dikaitkan dengan aturan lain yang sevisi
Untuk membuat Pola Penjaminan Mutu yang kita ingini


Kawan . . . .
Kita harus menyadari bersama
LPMP anak PMPTK … . .SPMP adik LPMP
LPMP harus mengawal SPMP
SPMP muaranya untuk sekolah
LPMP bekerja untuk sekolah
Namun, Sekolah bukan milik LPMP
Sistem yang membatasi antara sekolah & LPMP
Untuk itu kawan . . . .
Sebuah asa yang mungkin tergapai
Sebuah pemikiran yang najis untuk tergadai
Bila Pola Penjaminan Mutu sudah berwujud
Dengan penuh syukur dan sujud
Kita harus bangun dan bangun
Ya . . . . untuk kesuksesan SPMP
Untuk keberhasilan kita semua
Yang sudah mencicipi anggaran manca Negara
Entah itu hutang ataupun bantuan
Untuk membangun, ya . . . . membangun
Sistematisasi Pola SPMP


Kawan . . .
Saya memaknai ungkapanmu
Saya gembira dengan puisimu
Saya senang dengan empatimu
Hanya satu yang kupinta
Doamu menguatkan hatiku dan pikiranku
Hatiku untuk menjalankan hidup dengan baik
Pikiranku untuk menghasilkan pikiran yang benar


Kawan . . .
Masih ada satu pintaku
Doamu . . . . ya . .. . doamu . . .
Agar prinsip yang kutanam tidak sirna karena waktu
Agar prinsip yang kupelihara tidak luntur karena kepentingan
Apa kawan prinsipku ?
Apa kawan prinsipku ?
Tiada kata “menyerah” di dalam kamusku
Kecuali, “maut” sudah menjemputku

PUISI : TANGISAN & SENYUMAN PERTIWI

Karya : Eri B Santosa

Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas Intan yang kau kenang
Gunung hutan sawah lautan
Simpanan kekayaan

Denting gitar mengalun sendu
Diantara tetesan hujan menatap pilu
Mendengar bait-bait suara merdu
Menyenandungkan bulir-bulir masa lalu

Tuhan .....
Tempat aku berteduh
Dimana aku mengeluh
Dengan tiada keluh

Gesekan biola terdengar merdu
Diantara perilaku kemunafikan manusia
Saat susah teringat akan Tuhan
Fakta perilaku tak kenal Tuhan

Pada siapa aku mengadu ?
Akhirnya mengadu pada Tuhan
Itulah gelegar suara Susno Duaji
Memecah keharuan sidang Komisi

Ya Allah aku bersumpah . . .
Suara insan disana berkopiah
Mata sendu menatap pilu
Suara M.Yasin menusuk sembilu

Suara parau Bibit mengaru biru
Tersungging keriput terlihat pilu
Tak beda mengucap Tuhan
Tiada tahu apa makna semua itu

Rakyat century bingung menatap pasrah
Yang telanjang melihat negeri terjarah
Yang latah menyebut Tuhan Allah
Diantara mereka yang tak mau mengalah
Tidak ada satupun yang mengaku salah
Rakyatpun akhirnya berserah pada Allah

Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas Intan tergadaikan
Gunung hutan sawah lautan
Tersimpan bencana alam
Kini ibu sedang lara
Memikirkan Ka Pe Ka

Kini kita bertemu muka
Dalam ajang membahas QA
Paham akan kesesuaian 345 KMA
Guna kemajuan anak bangsa

Kini kita bertemu muka
Berikan peluang senyuman pertiwi
Satukan tekad untuk mengabdi
Bulatkan itikad untuk Be De Ka

Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersuka ria
Tersungging Senyuman bahagia
Menyaksikan BDK Surabaya
Tanpa Dukungan dalam DIPA
Mampu melakukan karya nyata
Bersama para widyaswara
Sepakat untuk membentuk Tim QA

MENGGAGAS POKJA SMK DI LPMP SULTRA

Oleh : Eri B Santosa
LPMP Sulawesi Tenggara
(Disusun Pada Tahun 2007)
A. LATAR BELAKANG
Dalam naskah akademik pendirian Pusat Penjamin Mutu Pendidikan yang merupakan dasar pemikiran pendirian Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan orientasi tugasnya adalah tindakan teknis operasional yang berkenaan dengan pengukuran, evaluasi, perbaikan, pembinaan dan penyempurnaan kinerja pendidikan mencakup perencanaan, proses dan hasil untuk mencapai standar kompetensi yang diharapkan.

Dalam perkembangannya, LPMP deibentuk berdasarkan SK Mendiknas No 087/O/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja LPMP dan SK Mendiknas No 044/O/2004 tentang Perincian Tugas Pokok dan Fungsi LPMP. Dalam Kepmendiknas tersebut, tugas LPMP adalah UPT Depdiknas yang mempunyai tugas melakukan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah di propinsi berdasarkan kebijakan nasional. Dalam melaksanakan tugas, LPMP menyelenggarakan fungsi : pengukuran dan evaluasi pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah, perancangan model-model pembelajaran di sekolah sesuai dengan kebutuhan daerah dan standar mutu nasional, fasilitasi lembaga pendidikan dalam proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar, fasilitasi lembaga pendidikan dalam pengelolaan sumber daya pendidikan, fasilitasi pelaksanaan peningkatan kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, pengembangan dan pengelolaan sistem informasi mutu pendidikan, pelaksanaan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan kerumahtanggan LPMP.

Tahun 2005 keluar PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan penjabaran dari UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam PP 19 tahun 2005, pasal 1 ayat 24, secara tersurat dinyatakan bahwa Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan adalah UPT departemen yang berkedudukan di propinsi dan bertugas untuk membantu pemerintah daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan.

Permendiknas No : 07 tahun 2007 secara kelembagaan LPMP berubah menjadi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan menjalankan fungsi :
1. Pemetaan mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat.
2. Pengembangan & pengelolaan SIM Dikdasmen termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat.
3. Supervisi satuan Dikdasmen termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat.
4. Fasilitasi sumber daya pendidikan terhadap satuan Dikdasmen termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat. Dalam penjaminan mutu pendidikan.
5. Pelaksanaan urusan administrasi LPMP.

Secara organisatoris fungsi kelembagaan sudah teremban dalam struktur organisasi yang terdiri dari kepala LPMP, Kasubag Umum, seksi Program dan Seksi Informasi, seksi Pemetaan Mutu & supervisi dan seksi Fasilitasi Sumber Daya Pendidikan. Guna mendukung peran dan fungsi LPMP, sangat perlu dan sangat memungkinkan dikembangkan organisasi-organisasi dalam bentuk Kelompok Kerja.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa dalam PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 1 ayat 24, secara tersurat dinyatakan bahwa Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan adalah UPT departemen yang berkedudukan di propinsi dan bertugas untuk membantu pemerintah daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan. Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, terdiri dari SD, SMP, SMA dan SMK. Guna mengem ban tugas Penjaminan Mutu SMK maka di LPMP Sultra dibentuk Kelompok Kerja SMK.

B. PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
Proses Penetapan & Pemenuhan Standar Mutu Pengelolaan secara konsisten dan berkelanju tan, se-hingga konsumen, produsen dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan
Sumber : Depdiknas, 2003

C. KEPUASAN PELANGGAN
Dalam PP 19 tahun 2005, pasal 1 ayat 24, secara tersurat dinyatakan bahwa Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan adalah UPT departemen yang berkedudukan di propinsi dan bertugas untuk membantu pemerintah daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan. Dari batasan itu, yang dimaksudkan pelanggan adalah TK, SD, SMP, SMA, SMK dan Pendidikan Nonformal.

Terkait dengan kepuasan pelanggan, Abror.Inc mengemukakan tentang kepuasan pelanggan dalam konsep Jendela Pelanggan (Costumer Windows). Konsep ini membagi jendela dalam 4 sisi, yaitu pelanggan menginginkan, pelanggan memperoleh, pelanggan tidak menginginkan, dan pelanggan tidak memperoleh. Ditengah-tengah empat sisi tersebut terdapat empat jendela. Jendela pertama Pelanggan menginginkan karakteristik itu, tetapi Ia tidak mendapatkannya, Jendela kedua Pelanggan menginginkan karakteristik itu, dan Ia mendapatkannya, Jendela ketiga Pelanggan tidak menginginkan karakteristik itu, tetapi Ia mendapatkannya, Jendela keempat Pelanggan tidak menginginkan karakteristik itu, dan Ia Tidak mendapatkannya. Gambaran kepuasan pelanggan yang tertinggi adalah pada Jendela kedua Pelanggan menginginkan karakteristik itu, dan Ia mendapatkannya.
D. PERMASALAHAN
Secara historis LPMP merupakan metamorfosa dari BPG yang cenderung menggarap jenjang SD, SMP dan SMA serta orientasi kerjanya lebih kental pada kediklatan. Peran dan fungsi yang digeluti bertahun-tahun membentuk kultur kerja personel dalam lembaga.
Permasalahan terkait dengan PP 19 tahun 2005 LPMP selama ini tidak (kurang) menggarap penjaminan mutu pada SMK.

E. PEMBENTUKAN POKJA SMK
Salah satu alternatif guna mengemban tugas penjaminan mutu SMK baik secara manajerial maupun secara akademik, maka di LPMP Sultra perlu dibentuk Kelompok Kerja SMK.

F. POTENSI SDM YANG DIMILIKI
Potensi yang dimiliki LPMP Sultra adalah sbb :
NO NAMA KOMPETENSI KETERANGAN
1 Drs. Eri B Santosa Manajerial Pengalaman : 8 thn menjadi Kasek
Akademik Teknologi
2 Surip Widodo, S.Kom Akademik Komputer
3. Mashuri, S.Pd, M.Pd Akademik Bangunan/Matemtk
4. Amirudin, SE, MM Akademik Ekonomi
5. Asrudin , ST Akademik Teknik Arsitek


G. PEMBENTUKAN POKJA SMK
1. PENGERTIAN
Kelompok Kerja SMK adalah kelompok kerja yang melakukan penjaminan mutu pada jenjang SMK di Sultra. Pokja ini berada di LPMP Sultra yang bertugas membantu LPMP Sultra dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.


2.FUNGSI POKJA
Pokja SMK berfungsi :
a. Sebagai wahana diskusi guna pengembangan SMK
b. Sebagai wadah pengkajian SMK di Sultra
c. Sebagai pusat informasi dan komunikasi SMK di Sultra
d. Mengembangkan jaringan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan SMK
e. Mengembangkan program-program yang dibutuhkan dan dalam rangka peningkatan mutu
SMK di Sultra


3.SEKRETARIAT POKJA
Untuk mendukung aktifitas Pokja SMK diperlukan sekretariat yang berkedudukan
di LPMP Sultra.



4. RUANG LINGKUP TUGAS
Ruang lingkup tugas Pokja SMK meliputi :
a.Membantu LPMP Sultra dalam penjaminan mutu SMK di Sultra.
b.Mengembangkan jaringan komunikasi dan informasi dengan SMK di Sultra.
c.Membantu Direktorat Pembinaan SMK dalam melaksanakan sosialisasi kebijakan yang
baru, baik melalui forum Workshop, seminar maupun melalui media cetak, elektronik
dan jaringan internet.
5.PENGORGANISASIAN
Personel yang terlibat dalam Pokja SMK ini berlatar belakang pengalaman ataupun berlatar belakang pendidikan kejuruan yang dimiliki LPMP Sultra. Personel tersebut berkemauan dan memiliki waktu yang cukup untuk mendukung aktifitas yang menjadi tanggung jawab Pokja.
Untuk sementara waktu, sambil menata peran dan fungsi yang akan dikembangkan maka struktur organisasi hanya terdiri dari Ketua dan anggota.

H.STRATEGI PENGEMBANGAN POKJA
1.PROGRAM PENGEMBANGAN POKJA
Untuk acuan dalam pengembangan Pokja, maka pokja akan menyusun Naskah Program Pengembangan Pokja SMK. Dalam penyusunannya akan dilakukan berbagai diskusi dengan melibatkan Kepala SMK dalam wadah MKKS SMK dan para guru dalam wadah MGMP SMK.


2.PROGRAM TAHUN 2007
NO PROGRAM SASARAN HASIL
1 Workshop Penyusunan Rencana SMK 1 Kendari Meningkatnya pencapaian
Peningkatan Kinerja Berbasis nilai akreditasi
Akreditasi
2. Diskusi guna masukan penyu- KKKS Adanya masukan guna penyusunan
sunan Naskah Program Naskah Program Pengembangan
Pengembangan Pokja SMK Pokja SMK
3. Diskusi guna masukan penyu- KKKS Adanya masukan guna penyusun-
sunan Naskah Program Pengem- an Naskah Program Pengem-
bangan Pokja SMK bangan Pokja SMK

4. Workshop Kiat-Kiat menghadapi SMK 3 Kendari Terpahaminya akreditasi SMK
akreditasi dan Penyusunan & tersusunnya program
Rencana kerja menghadapi
Akreditasi
5. IHT pemahaman tentang SMK Personel Pokja Terpahaminya tentang SMK
oleh personel

6. Sosialisasi tentang Sertifikasi Guru SMK 2 Kendari Terpahaminya ser
tifikasi guru

3. PEMBIAYAAN PROGRAM TAHUN 2007
Pokja SMK yang keberadaannya merupakan karya kreatifitas personel LPMP Sultra yang mempunyai kompetensi dan kepedulian terhadap penjaminan mutu SMK tahun 2007 tidak ada alokasi dana khusus. Guna keterlaksanaan program tahun 2007, maka Pokja SMK melaksanakan kompromi dengan sekolah bahwa kegiatan-kegiatan tersebut terkait dengan tempat, ATK dan konsumsi (kalau ada) ditanggung oleh pihak sekolah sementara Pokja SMK LPMP Sultra menanggung pengusunan program dan SDM.

I. PENUTUP
Demikian konsep Pokja SMK LPMP Sultra dalam rangka Penjaminan Mutu SMK di Sultra. Mudah-mudahan konsep ini dapat diimplementasikan guna lebih mendekatkan kebutuhan pelanggan demi kepuasan pelanggan.


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta. 2005.

Ditjen PMPTK, Sistem & Mekanisme Evaluasi Penjaminan Mutu Pendidikan, Jakarta. 2006.

Rinda Hewig, Sistem Penjaminan Mutu, Jakarta. 2006

Kejujuran & Pengkhianatan Pendidikan

Oleh : Eri B Santosa
Ketika mengikuti Diklat di Pusdiklat Kemendiknas Sawangan, penulis tertarik pada sebuah poster yang terletak didinding pada gedung Budaya yang bertuliskan Honesty is the first chapter in the book of wisdom atau kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson).

Terkait dengan hal di atas, belum lama ini Mendiknas Muh Nuh juga mengingatkan tentang ”kejujuran”. Pada tanggal 12 Februari 2010 yang lalu pada waktu rapat koordinasi penyelenggaraan UASBN dan UN di Jakarta yang dihadiri oleh seluruh ketua penyelenggara UASBN dan UN tingkat provinsi, pejabat eselon II dan III di lingkungan Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional, Ketua, Sekretaris dan anggota BSNP. Sebagai agenda utama adalah penandatanganan nota kesepahaman tentang dana penyelenggaraan UASBN dan UN. Dalam kesempatan itu Mendiknas mengungkapkan : “Mohon dipegang betul prinsip kejujuran ini dan jangan dikorbankan dalam kondisi apapun. Kalau ruh kejujuran hilang, angka-angka atau nilai itu tidak bermakna”.

Pesan Mendiknas tersebut tidak terlepas pada suatu kenyataan bahwa selama ini ketika pelaksanaan ujian nasional nyaris tidak pernah terlepas dari suatu isu ketidak jujuran dalam pelaksanaan ujian nasional. Pihak Kemdiknas sendiri menyadari tentang hal ini, bahwa ketidakjujuran dalam ujian nasional selama ini bukan hanya isu. Namun pihak Kemdiknas sudah mempunyai peta ketidakjujuran dalam pelaksanaan ujian nasional menjadi 3 (tiga) kategori daerah, yaitu daerah putih, daerah abu-abu dan daerah hitam. ”Daerah putih” adalah yang dapat disebut sebagai daerah yang jujur atau bersih dari kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. ”Daerah abu-abu” adalah daerah yang ’kurang jelas’ jujur atau tidaknya. ”Daerah hitam” adalah daerah yang tidak jujur atau curang dalam pelaksanaan UN. Hal ini disampaikan oleh Prof. Sabirin dari Universitas Negeri Yogyakarta ketika menjadi pembicara dalam Pelatihan Manajemen Berbasis Teknologi Informasi Komunikasi, 23 November 2009. Terkait dengan daerah putih, abu-abu dan hitam ini juga pernah diampaikan Pembantu Rektor Bidang Akademis Unsyiah, Prof. Dr. Samsul Rizal dalam acara sosialisasi UN (Waspada on line) yang dihadiri para kepala dinas kabupaten/kota se Aceh.

Keseriusan pihak Kemdiknas terkait dengan ketidakjujuran ini maka tema yang ditetapkan dalam UASBN dan UN tahun pelajaran 2009/2010 adalah Prestasi dan Jujur. Dengan tema tersebut, dalam meraih prestasi, seluruh pemangku kepentingan (pelaku, pelaksana, pengambil kebijakan, dan masyarakat) diharapkan untuk berikhtiar dan menyiapkan diri sebaik mungkin. Sehingga pelaksaan UN lebih credible (dapat dipercaya dan dipertanggungjawabk an), prestasinya memuaskan dengan kejujuran sebagai ruhnya. Dalam desempatan itu Mendiknas Muhammad Nuh mengatakan bahwa jika disuruh memilih mana yang penting jujur atau prestasi, maka jujur jauh lebih baik dari prestasi, tapi yang diinginkan adalah prestasi dan jujur.

Jujur jika diartikan secara baku adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harfiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.

Ketidakjujuran dalam pelaksanaan ujian nasional merupakan fakta pencerminkan belum tercapainya cita-cita pendidikan yang diharapkan. Simpulan ini tidaklah terlalu salah manakala kita merujuk pada Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster (dalam Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kalau sekolah yang merupakan lembaga pendidikan yang sudah semestinya menjadi wadah dalam pembentukan karakter justru dalam prakteknya mengajarkan ketidakjujuran ? Apa dampaknya bagi siswa ?
Larry King, host acara CNN’s Larry King Live telah mewawancarai berbagai orang penting di dunia dari Mikhail Gorbachev hingga Marlon Brando. Kunci kesuksesannya adalah : kejujuran, disamping kemampuan untuk membangun hubungan antar manusia seperti sikap yang benar, tertarik kepada orang lain dan bersikap terbuka.

Larrry King juga mewawancarai Donald Trumph pengusaha sukses dunia, dan Anthony Robin motivator dan pakar komunikasi masa kini serta Dale Carnegie motivator dan pakar komunikasi. Ternyata prinsipnya semua sama: jujur pada diri sendiri maupun orang lain, menghargai dan memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan, mengasihi, mendengarkan serta berempati terhadap orang lain, tidak mudah menyalahkan orang lain.
Dari uraian di atas, kejujuran adalah sebuah nilai yang agung dan terbukti menjadi kunci segala kesuksesan. Dalam buku The Corporate Mystic, Gay Hendricks dan Kate Ludeman memasukkan Kejujuran sebagai poin pertama dari 12 ciri pemimpin abad 21. Setiap pemimpin korporasi yang diwawancarai mengatakan hal yang sama, yaitu Rahasia sukses dalam bisnis adalah berkata jujur.

Kejujuran merupakan pondasi keutuhan pribadi. Seseorang yang jujur mengakui kelemahan diri akan lebih mudah menerima masukan, mau belajar lebih giat, mampu bekerja lebih baik dan berusaha lebih keras. Selain itu sesorang yang jujur mengakui kelebihan diri akan mudah tersulut semangatnya untuk berkarya, berekplorasi, memikirkan ide-ide baru untuk menghadapi perubahan. Perubahan macam apapun tak akan mampu membuat terjatuh selama kejujuran selalu dijaga.

Ajakan Mendiknas tentang “kejujuran” pada pelaku-pelaku pendidikan harus dilaksanakan manakala pelaku-pelaku pendidikan tersebut tak hendak disebut sebagai bagian dari pihak yang menjerumuskan anak bangsa menjauhkan diri dari kesuksesan dan menggagalkan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Dengan kata lain, insan-insan pendidikan yang melakukan ketidakjujuran dalam ujian nasional tidak pantas mendapatkan sebutan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” , mungkin lebih tepat akan mendapatkan sebutan “Pengkhianat Tak Tahu Balas Jasa” . . .
Tidak Setujukah ? Selamat menjawab . . . .

“Hitam”, Pahit dan Manisnya Pendidikan Sultra

Oleh : Eri B Santosa
Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Sultra
Dalam Kendari Pos, 6 April 2010 Penanggung Jawab Pengawasan & Tim Pemantau Independen (TPI) UN Se Sultra (Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse MS), mengatakan bahwa : Berdasarkan pengamatan saya, laporan dari pengawas maupun TPI , pelaksanaan UN di Sultra tidak jauh berbeda dengan dengan sebelumnya. Bahkan tahun ini pelaksanaan UN SMA dan SMP sederajat bisa dikatakan hitam pekat dibanding sebelumnya.

Pernyataan tersebut mengingatkan penulis pada kegiatan Lokakarya dengan tema : Peranan Dewan Pendidikan Dalam Mendukung Peningkatan Mutu Pelayanan & Pemerataan Pendidikan di Provinsi Sulawesi Tenggara, pada tanggal 29 Desember 2009 di Hotel Srikandi.

....“Makanya tadi kami tertawa, kami mentertawakan kualitas pendidikan di Sultra” ... Itulah rekaman dari sepenggal pernyataan dari salah seorang guru pada saat sesi tanya jawab kegiatan Lokakarya tersebut di atas. Pernyataan tersebut sebagai tanggapan dari pernyataan salah satu panelis yang menyatakan bahwa berdasarkan penelusuran jawaban hasil ujian nasional tahun 2008/2009 yang dinyatakan oleh BSNP menunjukkan bahwa daerah Sultra termasuk daerah “Hitam”. Informasi ini juga seiring dengan informasi dari seorang teman yang mengikuti paparan Prof. Dr Jaali (BSNP) pada saat acara tertentu di awal bulan Desember 2009 di LPMP Sultra yang menyatakan bahwa hasil ujian nasional tahun 2008/2009 menunjukkan bahwa daerah Sultra termasuk daerah “Hitam”.

Agak sulit mencari referensi tentang “daerah hitam”, namun menurut Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si dalam tulisannya di internet (Facebook) menyatakan bahwa data menunjukkan bahwa Provinsi Gorontalo berada di ”daerah hitam” dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Dari hasil penilaian terhadap pelaksanaan Ujian Nasional, di Indonesia di bagi dalam tiga kategori daerah, yaitu daerah putih, daerah abu-abu dan daerah hitam. ”Daerah putih” adalah yang dapat disebut sebagai daerah yang jujur atau bersih dari kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. DKI Jakarta adalah salah satu dari ”daerah putih” tersebut. ”Daerah abu-abu” adalah daerah yang ’kurang jelas’ jujur atau tidaknya. Kalimantan Tengah adalah salah satunya. ”Daerah hitam” adalah daerah yang tidak jujur atau curang dalam pelaksanaan UN. Provinsi Gorontalo berada di peringkat teratas ”daerah hitam”. Tingkat ketidakjujurannya mencapai 85 persen. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Sabirin dari Universitas Negeri Yogyakarta ketika menjadi pembicara dalam Pelatihan Manajemen Berbasis Teknologi Informasi Komunikasi, 23 November 2009.

Lebih jauh Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si menceritakan pengalaman kejadian pada bulan Juni 2009, setelah pengumuman hasil UN. Waktu itu seorang guru mengeluh karena banyak siswanya yang tidak lulus. Dia meminta bantuan Elnino M. untuk menggunakan segala akses agar anak-anak tersebut diluluskan UN. Alasannya emosional. ”Kasihan, anak-anak orang susah. Kasihan kalau tidak lulus, pak,” ungkapnya. Elnino hanya prihatin, tak mampu ber-buat apa pun untuk membantunya. Saat Elnino bertanya ”Apa kendalanya pak...sampai banyak yang tidak lulus UN ?”. Dengan polos dia menjawab, ”Kebetulan sekali di kelas ujian anak-anak itu banyak sekali pengawas waktu UN... dan tidak ada kompromi”. Jadi, sederhananya, ketidaklulusan siswa di UN karena kebetulan di kelas itu diawasi secara ketat, tidak bisa nyontek.

Dalam acara sosialisasi UN (Waspada on line) yang dihadiri para kepala dinas kabupaten/kota se Aceh, Pembantu Rektor Bidang Akademis Unsyiah, Prof. Dr. Samsul Rizal mengkhawatirkan tingkat kemajuan pendidikan Aceh ke depan. Hal ini, menurutnya, terlihat dari hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen hasil ujian nasional (UN) tingkat SMA se Aceh tahun-tahun sebelumnya masuk dalam kategori hitam, dan hanya beberapa sekolah tergolong putih, selebihnya masuk katagori abu-abu.

Pada bab I RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara 2008-2013 dinyatakan bahwa RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2013 dimaksudkan untuk menjadi panduan dan alat kontrol bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk : 1. Menjadi pedoman bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD); 2. Menjadi pedoman bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Dalam konsep RPJMD Provinsi Sultra tahun 2008 – 2013 agenda “Pembangunan Kualitas Sumber-daya Manusia” dijabarkan kedalam beberapa sasaran. Terkait dengan konteks ujian nasional secara tersurat dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2013 terdapat dalam Bab VII, Subsubsubab VII.1.A.3. Sasaran, Poin (d) “Meningkatnya mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui peningkatan nilai rata-rata standar kelulusan siswa dari 5,25 pada tahun 2008 menjadi 6,50 pada tahun 2013” ;

Dari uraian di atas ada 2 hal yang dapat diungkap, yang pertama tentang realita dan ini secara implisit juga diakui kebenarannya, yaitu : terkait dengan ujian nasional daerah Sultra masuk dalam “Daerah Hitam”. Yang kedua, hasil ujian nasional termaktub dalam salah satu sasaran yang tertuang di dalam RPJMD Provinsi Sultra tahun 2008 – 2013.

Menurut hemat penulis, ada dua skenario yang dapat dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dalam sektor pendidikan untuk dapat mencapai sasaran dalam RPJMD Sultra 2008 – 2013 terkait dengan ujian nasional. Skenario yang pertama, dengan tetap mempertahankan dalam kategori “Daerah Hitam”, maka “lanjutkan” saja cara-cara yang tidak terpuji dalam proses pelaksanaan ujian nasional. Kalau sinyalemen Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse MS yang mengatakan bahwa pelaksanaan UN SMA dan SMP di Sultra bisa dikatakan hitam pekat dibanding tahun sebelumnya adalah benar, maka skenario “lanjutkan” menjadi pilihan yang sulit diingkari. Secara kuantitatif skenario ini adalah skenario termudah untuk merealisasikan RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2013 dalam Bab VII, Subsubsubab VII.1.A.3. Sasaran, Poin (d) “Meningkatnya mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui peningkatan nilai rata-rata standar kelulusan siswa dari 5,25 pada tahun 2008 menjadi 6,50 pada tahun 2013” ;

Skenario yang kedua adalah memperbaiki realita. Pernyataan di awal alinea tulisan ini ada seorang guru yang menyatakan bahwa ....“Makanya tadi kami tertawa, kami mentertawakan kualitas pendidikan di Sultra” ... ketika menanggapi bahwa daerah Sultra masuk dalam “Daerah Hitam”, dapat disimpulkan bahwa sinyalemen atau dugaan atau kesimpulan atau apapun namanya “dibenarkan” oleh yang membuat pernyataan dan oleh para guru, kepala sekolah dan pengawas yang mengikuti lokakarya. Logikanya, bila sinyalemen itu salah “dapat dipastikan“ ada guru atau kepala sekolah yang akan melakukan interupsi. Apalagi menurut catatan penulis, lontaran bahwa daerah Sultra adalah daerah hitam sudah terlontar 3 kali. Yang pertama pada waktu Seminar Hasil Akreditasi (Awal Oktober 2009, di LPMP Sultra), yang kedua disampaikan oleh Prof. Dr. Jaali dari BSNP (Awal Desember 2009, di LPMP Sultra), yang ketiga pada waktu lokakarya Dewan Pendidikan (29 Desember 2009, di Hotel Srikandi). Sulit dimengerti bagi penulis untuk memaknai kata “tertawa” yang terlontar dari seorang guru ketika menanggapi sinyalemen dugaan kecurangan dalam proses ujian nasional yang dugaan banyak pihak pelaku utamanya adalah guru. Apakah itu guru mata pelajaran, guru bidang studi, guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai wali kelas, ataupun guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Artinya apa ? Yang mewarnai “Hitam” dalam hal ini yang patut di duga tidak terlepas peranan guru. Menurut hemat penulis, ini adalah harga diri profesi. Bagaimana mungkin ketika ada pernyataan bahwa profesi tertentu dinyatakan “tidak jujur”, responnya yang mempunyai profesi itu malah “tertawa” ? Ataukah sebenarnya ekspresinya “tertawa” namun sebenarnya hatinya “menangis” ? Ataukah sudah terjadi pergeseran perilaku ? Ataukah ada suatu rasa “bangga” ketika profesinya diberikan label “tidak jujur” ? Sungguh. Sesuatu yang sulit dimengerti dengan akal sehat. Ataukah justru seseorang yang sulit untuk mengerti terkait dengan fenomena ini justru akalnya yang tidak sehat ?

Dalam lokakarya tersebut juga sempat terlontar dari salah seorang panelis (Dr. Sartiah.Y, Staf Ahli Gubernur Sultra) yang menceritakan pengalaman pendidikan anaknya di sekolah Australia & sekolah Kendari. Menurut beliau, salah satu perbedaannya adalah perbedaan dalam pembentukan karakter anak didik. Yang jelas menurut beliau di Australia lebih baik.
Karakter memang sulit didefinisikan, tetapi lebih mudah ditangkap melalui adanya uraian berisikan pengertian. Karakter menurut Sigmund Freud, Character is a striving system which underly behaviour, yang dapat diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong (daya juang) yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku, yang akan ditampilkan secara mantap. Sementara dalam ilmu filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu nilai logika adalah nilai benar salah; Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah dan Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk.

Karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar menjadi bagian kepribadiannya. Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri manusia yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku. Jadi, karena karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang dipatrikan untuk menjadi semacam nilai intrinsik dalam diri manusia, yang akan melandasi sikap dan perilaku. Karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, ditumbuh kembangkan dan dibangun.

Pentingnya peran dunia pendidikan dalam pembentukan karakter, maka dalam dunia pendidikan dikenal adanya kata bijak: We cannot Teach what we want, we only can teach what we are. Yang dapat diartikan bahwa kita tidak bisa mengajarkan apa yang kita inginkan, tetapi kita hanya bisa mengajarkan sebagaimana apa adanya diri kita. Hal ini pun berlaku di semua bidang, termasuk di bidang pendidikan, dimana seorang guru hendaknya dapat melakukan bahkan menyontohkan apa yang ia katakan atau perintahkan. Sebagai contoh kecil: bagi seorang pendidik jangan sampai berbeda antara apa yang ia ajarkan/ perintahkan dengan apa yang ia lakukan. Artinya apa ? bahwa dalam mengajar dibutuhkan suri tauladan dalam berperilaku. Fakta yang menunjukkan terjadinya proses kecurangan dalam ujian nasional yang dilakukan oleh sebagian guru adalah suatu preseden buruk dalam pembentukan pribadi guru sendiri maupun pembentukan karakter anak didik.

Kata bijak yang lain yang berkaitan dengan karakter adalah When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost, but when character is lost, everything is lost. Yang dapat diartikan bila harta kita hilang, sebenarnya tidak ada yang hilang, bila kesehatan kita hilang, ada sesuatu yang hilang, tetapi bila karakter kita hilang maka kita akan kehilangan segala-galanya. Dalam dunia pendidikan misalnya, contoh-contoh hilangnya karakter dalam diri pendidik dapat dilihat pada kejadian seorang oknum pendidik membocorkan soal ujian, atau memberikan jawaban soal ujian.

Padahal jika orang memiliki karakter, ia akan memegang teguh prinsip-prinsip nilai kehidupan, kaidah-kaidah agama dan tegar dalam menghadapi situasi apa dan bagaimana pun. Pertanyaannya, mengapa sebagian guru tidak teguh memegang prinsip dasar evaluasi ? Mengapa melaksanakan ketidak jujuran yang nyata-nyata merupakan pengingkaran terhadap kaidah-kaidah agama ? Pertanyaan berikutnya, apakah perilaku menyimpang ini dilaku-kan sejak dulu kala ?

Untuk menjawab hal ini, kita dapat menyibak masa lalu sebelum otonomi daerah. Ujian nasional dilaksanakan sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Perbedaan kebijakan terkait dengan penggunaan hasil ujian nasional terjadi sejak tahun 2002/2003, yang mana hasil nilai ujian nasional dijadikan salah satu kriteria kelulusan. Dimasa-masa sebelumnya hasil ujian nasional hanya dijadikan bagian dari variabel kriteria kelulusan, artinya nilai ujian nasional digabungkan dengan nilai semester untuk dijadikan kriteria kelulusan. Sehingga dimasa lalu walaupun ada siswa yang hasil ujian nasionalnya 2 atau 3 juga dapat lulus. Walaupun pengawasan tidak dilakukan Tim Independen dan hanya diatur di rayon, namun ujian dilakukan oleh sekolah dengan hati-hati, tertib dan cermat. Pada waktu Kakanwil Dikbud Sultra dipimpin pak Amin Rauf pernah mengalami tingkat kelulusan yang drop.

Tahun 2002/2003 hasil ujian menunjukkan terjadinya tingkat ketidak lulusan yang luar biasa, bahkan ada sekolah yang meluluskan 2 orang saja. Namun pada waktu itu kebijakan ujian ulang dilaksanakan. Menurut hemat penulis, sejak saat itu strategi-strategi kecurangan mulai marak dilakukan. Patut diduga bahwa penyimpangan perilaku ini terjadi pada guru yang mempunyai tugas tambahan sebagai kepala sekolah yang “ketakutan” akan “kehilangan jabatannya”. Hal ini seiring dengan respon sebagian Kepala Dinas Kab/Kota terkait dengan hasil ujian nasional. Sebagian Kepala Dinas Kab/Kota berkomentar “miring” secara terbuka maupun tidak terbuka terhadap sekolah atau kepala sekolah yang prosentase kelulusannya rendah walau dilakukan secara jujur. Tidaklah terlalu salah kalau dengan fenomena ini ada pihak-pihak yang menyimpulkan bahwa sebagian Kepala Dinas Kab/Kota “merestui” terjadinya kecurangan dalam proses ujian nasional.

Kalau dugaan ini benar, patut diduga bahwa sinyalemen ini juga dikarenakan Sang Kepala Dinas Kab/Kota juga “ketakutan” akan “kehilangan jabatannya”. Apalagi mutasi atau penggantian pejabat dilingkup pemerintah daerah dalam hal ini termasuk Dinas Pendidikan Kab/Kota bahkan tingkat provinsi kenyataannya dapat terjadi setiap saat. Dan banyak pihak berpendapat bahwa dunia pendidikan sudah terkontaminasi dengan politik.
Merujuk tulisan di atas, bahwa karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri manusia yang salah satunya dibentuk melalui pengaruh lingkungan, maka karakter guru dalam mengemban profesinya sangat dipengaruhi oleh karakter kepala sekolah, karakter kepala sekolah sangat tergantung dengan karakter kepala dinas kabupaten/kota. Ketika budaya kita cenderung pada paternalistik, maka untuk katakter guru akan sangat terpengaruh dengan karakter kepala dinas kabupaten/kota. Dengan kata lain, apabila kepala dinas kabupaten/kota memberikan penekanan bahwa proses pelaksanaan ujian nasional dilaksanakan dengan “kejujuran”, maka kalau boleh mengatakan “niscaya” label bahwa “Sultra adalah daerah hitam” akan perlahan-lahan sirna.

Kalau boleh mengatakan, yang masih menjadi “misteri” saat ini adalah : “Mengapa pihak-pihak penanggung jawab pendidikan di wilayah se Provinsi Sultra ini terkesan membiarkan hal ini ?”

Terkait dengan semua ini. Ada “pesan” yang menarik dari salah seorang peserta lokakarya. Pesan tersebut disampaikan melalui salah seorang panelis yang juga Staf Ahli Gubernur Sultra (Dr. Sartiah Yusran) yang isinya adalah “Tolong sampaikan pada Gubernur Sultra, agar dunia pendidikan jangan terkontaminasi dengan kepentingan politik ketika kita semua mengharapkan dunia pendidikan akan maju dan ini berlaku untuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota”. Dalam tanggapannya salah seorang panelis (Ketua Dewan Pendidikan Prov. Sultra) mengatakan atau “berpesan” : “Hentikan dunia pendidikan dari penjajahan politik”.

“Misteri & Pesan” harus dijawab. Jawaban dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah menanggapi tulisan ini, yang mungkin ada pihak-pihak yang kurang sependapat dengan uraian di atas. Ada kemungkinan banyak kalangan dunia pendidikan menanti jawaban “Misteri & Pesan” di atas. Karena apapun alasannya, apapun peranannya, apa lagi dari kalangan guru di Sultra ini, dalam kondisi normal, tidak ada pihak manapun juga yang berkecimpung dalam dunia pendidikan yang nyaman bila terkait dengan proses ujian nasional mendapatkan label “Daerah Hitam”. Karena disadari atau tidak, predikat “Daerah Hitam” akan dirasakan “Pahit” oleh “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” alias guru. Walaupun kemungkinan untuk pihak lain yang diuntungkan akan mengatakan “Manis”. Sungguh ironis, “diatas” kepahitan derita profesi masih ada pihak-pihak yang dapat duduk “manis” di kursi singgasananya dan tersenyum “manis” di bibir kekuasaannya sambil menikmati segelas kopi “hitam” nan “manis”.

Mari kita tunggu tanggapan manisnya . . . .

Widyaswara, Refleksi Hardiknas

Oleh : Eri B Santosa
Setelah berdirinya republik ini, maka tanggal 2 Mei merupakan tanggal yang mempunyai arti, karena setiap tanggal 2 mei negeri ini memperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Selama ini terkesan peringatan hari pendidikan nasional identik dengan sekolah dan guru, padahal ketika berbicara pendidikan, sebenarnya banyak pihak yang terlibat didalamnya. Salah satu diantaranya adalah Widyaswara. Dalam PP 110 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan PNS dinyatakan bahwa Widyaiswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh Pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada lembaga Diklat Pemerintah. Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan Pegawai Negeri Sipil. Diklat PNS dilaksanakan sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik diperlukan sumber daya manusia aparatur yang memiliki kompetensi jabatan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Diklat PNS dilaksanakan dalam rangka untuk menciptakan sumber daya manusia aparatur yang memiliki kompetensi tersebut diperlukan peningkatan mutu profesionalisme, sikap pengabdian dan kesetiaan pada perjuangan bangsa dan negara, semangat kesatuan dan persatuan, dan pengembangan wawasan Pegawai Negeri Sipil melalui Pendidikan dan Pelatihan Jabatan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari usaha pembinaan Pegawai Negeri Sipil secara menyeluruh.
Dalam PP 110 tahun 2000 Diklat bertujuan:
a. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi;
b. menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa;
c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pembedayaan masyarakat;
d. menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional tidak terlepas dengan Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara (1889-1959).
Ungkapannya yang masih lestari sampai saat ini adalah Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan inspirasi). Ungkapan ini sering dihubungkan dengan fungsi ataupun peran pendidik. Pendidik dalam arti luas didalamnya bukan hanya guru, namun juga dosen dan widyaiswara.
Ungkapan Ki Hajar Dewantara tentang ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani di Pusdiklat Kemdiknas Sawangan merupakan pesan yang memiliki harapan dan makna tersendiri. Kesan ini nampak dari frekwensi jumlah ungkapan itu yang menempel pada dinding. Yang satu di depan Mess Fatahillah yang bertuliskan di tembok dengan huruf yang besar dan sangat mudah terlihat. Yang lain di gedung Budaya yang dituangkan dalam sebuah poster yang menempl di dinding dan bergambarkan Ki Hajar Dewantara ketika masih muda dengan tulisan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ). Seperti telah dituliskan di atas, bahwa ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani dihubungkan dengan fungsi ataupun peran pendidik. Asumsi ini ada kemungkinan dikarenakan bahwa tut wuri handayani menjadi lambang Kemdiknas dan pencetus ungkapan ini adalah Bapak Pendidikan Indonesia. Namun harapan bahwa sikap widyaiswara yang juga merupakan pendidik untuk dapat bersikap Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan inspirasi) adalah suatu kewajaran. Hal ini mengingat bahwa yang mempunyai kewenangan mendidik, mengajar dan melatih guru adalah Widyaiswara.
Seperti telah uraikan di atas bahwa dalam PP 101 tahun 2000 Pendidikan dan Pelatihan PNS tujuan pendidikan dan pelatihan adalah : a. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi;
b. menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa;
c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pembedayaan masyarakat;
d. menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.
Pertanyaannya adalah, apakah para Widyaiswara selaku PNS sudah memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam tujuan Diklat ? Apakah para WI sudah memiliki kesadaran untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap dalam melaksanakan tugas secara profesional ? Apakah para WI sudah mampu berperan sebagai pembaharu dalam lingkungan kerjanya ? Apakah para WI
memiliki semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan ? Apakah para WI sudah memiliki pola pikir dalam melaksanakan tugas demi terwujudnya kepemerintahan yang baik dalam lingkup kerjanya ?
Kenyataan, tidak sedikit Widyaiswara yang baik. Namun tidak sedikit juga suara miring ditujukan bagi para WI. Masih ada ditemui dalam suatu kediklatan penampilannya “Std banget” alias “standar banget”. Hal ini kemungkinan dikarenakan belum dimilikinya kesadaran untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap dalam melaksanakan tugas.
Kenyataan yang lain, ada isu yang menyatakan bahwa ada WI yang sebagai PNS tidak mematuhi jam kantor. Sehingga ada suatu kesan bahwa kedatangannya ke kantor hanya ketika ada kegiatan yang ada dalam Dipa dan namanya tercantum dalam kegiatan tersebut. Ada yang mencari argumentasi pembenaran bahwa ketidak hadirannya ke kantor karena tidak ada pekerjaan. Kalau toh benar ada argumentasi yang semacam itu, pertanyaannya adalah apakah penerimaan gaji dan tunjangan fungsional setiap bulan yang merupakan “hak” itu tidak diimbangi untuk melaksanakan kewajiban untuk datang ke kantor setiap hari sesuai dengan aturan PNS ? Alasan bahwa karena tidak ada pekerjaan menurut hemat penulis adalah alasan yang mengada-ada. Banyak masalah ke-PNS-an di negeri ini yang membutuhkan pemikiran Widyaswara. Alternatif - alternatif pemikiran untuk menjawab masalah ke-PNS-an di negeri ini dapat dituangkan dalam karya-karya tulis ilmiah yang merupakan bagian tugas WI sebagai pejabat fungsional untuk unsur pengembangan profesi.
Dihari Pendidikan Nasional ini bagi Widyaiswara sudah seharusnya dan sepantasnya merefleksikan diri. Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang tidak akan terlepas dari sosok “Ki Hajar Dewantara” yang dengan tulus membaktikan hidupnya untuk kemajuan dunia pendidikan. Nilai “tulus membaktikan hidupnya untuk kemajuan dunia pendidikan” itulah yang sudah sewajarnya dan semestinya diwarisi oleh para WI yang mempunyai peran Dikjartih PNS pada umumnya dan guru pada khususnya. Nilai tersebut terpatri dalam rangka menyukseskan tujuan Pendidikan dan Pelatihan PNS yang ke tiga yaitu memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pembedayaan masyarakat;
Cara ini guna memikirkan kembali tentang stigma pemikiran Widyaiswara yaitu “Poin & Koin”. Karena setiap bulan WI sudah mendapatkan hak “koin”. Tentunya dalam rangka keseimbangan para WI juga harus melaksanakan kewajiban, minimal masuk kerja pada jam-jam kantor. Kalau hanya mengedepankan “koin” namun jarang masuk kerja pada jam-jam kantor, maka “apa kata dunia ?........”

Selamat menanggapi . . . .