Senin, 28 Juni 2010

Pendidikan Keberadaban Vs Kebiadaban

Oleh : Eri B Santosa
Sekretaris Dewan Pendidikan Sultra

Dalam suatu kesempatan, penulis tertarik dengan spanduk yang diletakkan di depan Pusdiklat Kemdiknas Sawangan. Spanduk itu bertuliskan : “Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”.
Adab mempunyai arti Akhlak, sopan santun, kehalusan budi. Manusia beradab mempunyai arti “berakhlak, berbudi pekerti luhur, sopan santun” menurut manusia sekelilingnya atau masyarakat. Sementara arti peradaban adalah perkembangan sifat baik – “budi pekerti, akhlak, sopan santun”/ perkembangan “nilai” (value). Menurut Suwardi Suryaningrat, peradaban adalah perkembangan “budi – daya/ kekuatan akal pikiran” manusia sesuai nilai, norma, akhlak dan sopan santun; di anut masyarakat. Manusia termasuk mahluk ‘beradab’; berakhlak, sopan dan berbudi luhur. Makhluk ber adab menurut Suwardi Suryaningrat) adalah mahluk “berbudaya”;. Menurutnya tiada manusia ‘tak berakal/ punya pikiran’ dan tak mendayagunakan akal budinya, jika tak mau di sebut ‘biadab’ dan tidak ‘berbudaya’. Orang beradab/ bebudaya akan menggunakan “cipta, rasa dan karsa” (IQ, EQ, SQ) secara balance dan harmoni. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, "Peradaban" dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan penyebarannya. Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK. Menurut Frans Magnis Suseno unsur- unsur adab ada 3 yaitu : nilai/ value; moral dan norma.
Sulit dimengerti, apakah isi pesan dalam spanduk tersebut merupakan jawaban kegundahan tentang “keberadaban” bangsa ini. Pemimpin SNF Consulting (Dalam seminar pendidikan bertajuk Pendidikan dan Dunia Kerja yang digelar HMI Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Surabaya 2010) menilai bahwa pendidikan di Indonesia sangat formalistik padahal karakter yang diharapkan lahir dari dunia pendidikan adalah karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri.
Kalau rujukannya adalah karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri dan dibandingkan dengan kasus-kasus aktual pada dunia pendidikan yaitu masih banyak ditemukan siswa yang menyontek dikala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, juga ditemukan oknum guru melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi , dalam ujian nasional (UN) dan dalam kenaikan pangkat.
Padahal Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun.
Manusia merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, insan yang kita miliki harus berkarakter. Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Menurut Prof Dr Marihot Manullang ciri-ciri karakter manusia yang kuat meliputi (1) religious, yaitu sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan rohani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Menurut I Ketut Sumarta, dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”, mengatakan bahwa Pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan
kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia manusia yang berotak pintar, manusia berprestasi secara kuantitatif akademik, namun tiada berkecerdasan budi sekaligus sangat berkegantungan, tidak
merdeka mandiri.” Atau dengan kata lain gagalnya pendidikan karakter melalui jalur persekolahan. Padahal dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “… agar manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dalam UU Sisdiknas juga dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik terdapat dalam ringkasan dari beberapa penemuan penting dan diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Teori Ki Hadjar Dewantara mengenai pentingnya pendidikan budi pekerti dalam keluarga dengan ibu sebagai pendidik utama masih berlaku adanya. Bahkan banyak ahli pendidikan Barat seperti Marjoribanks, Aldendorf, A. Mani, Rapph Linton, dsb, juga membenarkannya. Marjoribanks dalam “Families and Their Learning Environments : An Empirical Analysis” (1979), merekomendasi pentingnya pendidikan keluarga, utamanya orang tua, bagi pengembangan potensi dan pribadi anak. Meskipun demikian masyarakat tetap menaruh harapan terhadap sekolah agar dapat melaksanakan pendidikan budi pekerti secara efektif.
Terkait dengan pendidikan budi pekerti ini banyak pihak akhir-akhir ini berpendapat tentang pentingnya pendidikan budi pekerti di sekolah. Para pakar pendidikan umumnya sependapat bahwa sebagai lembaga pendidikan maka sekolah hendaknya mampu menanamkan budi pekerti yang luhur kepada seluruh siswanya; terlepas dari apakah budi pekerti itu menjadi mata pelajaran tersendiri atau tidak. Harapan tersebut tidaklah terlalu berlebihan mengingat terjadinya dua realitas sosial yang telah menjadi rahasia umum; pertama, semakin banyaknya anak dan remaja (sekolah) yang melakukan tindakan asosial di masyarakat, dan kedua, semakin banyaknya lembaga keluarga yang kurang berhasil menjalankan fungsinya dengan baik.
Uraian di atas tidak salah, namun bila merujuk pasal 4 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang berbunyi Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Salah satu kata kunci di atas adalah “memberi keteladanan”. Disadari atau tidak bahwa ditemukannya oknum guru melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi , dalam ujian nasional (UN) dan dalam kenaikan pangkat merupakan “pemberian keteladanan” yang buruk bagi anak didik. Bagi anak didik, pemberian keteladanan insan pendidikan dalam berperilaku yang patuh pada nilai, moral dan norma akan membentuk peradaban, yang berarti bahwa hal ini merupakan konstribusi seberapapun besarnya bagi pembentukan keberadaban bangsa. Ada suatu pertanyaan, Apakah pemberian keteladanan insan pendidikan dalam berperilaku yang menyimpang dari nilai, moral dan norma dihadapan anak didik juga akan menjerumuskan pada suatu jurang kebiadaban ? Saya tidak tahu, sebelah saya tidak tahu, depan saya tidak tahu dan belakang saya juga tidak tahu. Yang tahu mungkin hanya Tuhan dan siapapun yang akan menjawab pertanyaan ini dalam bentuk tulisan.
Silahkan, menjawab. . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar