Selasa, 29 Juni 2010

ALTERNATIF PEMIKIRAN : "MENELAAH PEMIKIRAN PAK JOHN DALAM PENGEMBANGAN KAPASITAS LPMP"

Oleh : Eri B Santosa

Sebelum melanjutkan tulisan saya yang berjudul : “Menelaah Pemikiran Pak John” ijinkan saya untuk mengatakan bahwa apa yang saya tulis ini saya yakini benar, namun saya menyadari bahwa yang saya pikirkan benar belum tentu menurut orang lain benar. Untuk itu kepada siapa saja yang akan menanggapi (termasuk pak John), dipersilahkan untuk menyalahkan dan atau akan mengoreksi pemikiran ini, dengan ketulusan hati sebelumnya saya mengucapkan terima kasih. Bila hal itu terjadi maka, Bapak/Ibu termasuk orang yang berjasa dalam hidup saya, karena bapak /ibu mampu meyakinkan saya untuk membelokkan pemikiran saya yang selama ini saya yakini benar ternyata salah. Apa lagi saya juga menyadari, banyak diantara teman-teman yang secara akademis sudah sampai pada level Doktor dan bahkan ada yang sudah profesor. Bila mengingat level itu perasaan ini memang terasa kecil, namun ijinkan saya untuk memperbesar semangat, memperbesar keberanian, memperkecil kemaluan (eh . . . yang benar apa ya ? Yang saya maksudkan adalah rasa malu”) dan menjelajah pemikiran yang saya ekspresikan dalam tulisan yang sekaligus juga merupakan hobi yang selama ini saya tekuni.
Sengaja judul yang penulis ambil adalah : “Menelaah Pemikiran Pak John Dalam Pengembangan Kapasitas LPMP”.

Dalam Yahoo.answer, definisi pemikiran adalah apa yang diusahakan oleh seseorang untuk mengeluarkan suatu gagasan atau ide kepada khalayak ramai. Siapa pak John ? Pak John adalah seorang konsultan internasional yang menangani perumusan konsep dasar Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan (SPPMP) Tingkat Dasar dan Menengah atau Educational Quality Assurance and Improvement System (EQAIS). Terkait dengan konsep EQAIS, secara kelembagaan implementasi EQAIS lebih difokuskan pada Pengembangan kapasitas (Capacity Building) LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan).

Pengembangan kapasitas LPMP meliputi :
-Pengembangan sumber daya manusia – pengetahuan, keterampilan, pemahaman, akses informasi, pelatihan/training
-Pengembangan organisasi – struktur, proces, prosedur, hubungan
-Pengembangan kelembagaan – visi, misi, tujuan, kebijakan, regulasi, rencana.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menelaah mempunyai makna mempelajari. Kesimpulannya makna judul tulisan ini adalah mempelajari apa yang diusahakan oleh Pak John (Konsultan Internasional) untuk mengeluarkan suatu gagasan atau ide terkait dengan pengembangan kapasitas LPMP. Apa yang ditelaah ? Yang ditelaah adalah kegiatan putaran 3. Kegiatan ini diawali dengan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan yang dilaksanakan dalam 2 putaran. Diujung pertemuan pada Putaran 1 dan putaran ke 2 dijelaskan tentang Format Rencana Aksi 1 dan Format Rencana Aksi 2 yang muaranya pada penyelesaian tugas pengembangan 1 dan tugas pengembangan 2.

Untuk kegiatan putaran 3 ini tidak diawali dengan pertemuan seperti putaran 1 dan putaran 2. Kegiatan putaran 3 ini diawali dengan diterbitkannya 4 buku pedoman, yaitu : 1. Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM; 2. Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI ; 3. Pedoman Pembentukan Tim Pengembangan Kapasitas External; dan 4. Pedoman Forum Pembelajaran Klaster (FPK) LPMP/BDK. Yang disusul dengan Pedoman Untuk Dukungan/Masukkan Pada LPMP/BDK Oleh CC, Tim Teknis Bindiklat, NTA & ITA MCPM Putaran 3.

Tulisan ini akan mencoba menelaah & menerka-nerka, ada apa dibalik pemikiran pak John terkait dengan pedoman 1 – 4 ? Muara akhir apa yang sebenarnya diinginkan pak John pada putaran 3 ini ? Sebelum saya menelaah lebih jauh kearah seperti yang ditulis di atas, ijinkan saya menyampaikan 3 fenomena yang menarik pasca pelaksananaan putaran 2 yaitu :
1. Ada suatu pernyataan yang menarik dari salah seorang personel ketika saya
mengadakan kunjungan ke salah satu LPMP. Intinya Pernyataan tersebut adalah ....... kalau LPMP dibubarkan tidak akan berpengaruh pada dunia pendidikan .... Kira-kira inti pernyataan yang saya tangkap seperti itu. Pernyataan yang lain adalah, ...... kalau salah satu seksi, misalnya seksi data dibubarkan tidak akan mempunyai pengaruh apa-apa di dalam lembaga ini. Kata-kata itulah yang sangat terkenang dan terngiang di dalam lubuk pikiran saya.
2. Ketika menanggapi emailnya pak Nurhasan (CC 1) tentang rencana putaran
melalui Yahoo Grup SPPMP ada tanggapan yang menarik dari Prof Zaim (Ka
LPMP Sumbar), yaitu tentang no 1, 3 dan 4, yang isinya sbb :
1)Dana yang ada di LPMP sangat terbatas, yaitu hanya untuk 2 kegiatan
CB. Satu kegiatan untuk Internal CB dan satu kegiatan lainnya untuk
eksternal CB, yang masing-masingnya hanya bisa melibatkan 40
orang. Sementara semua warga LPMP ada 110 orang. bagaimana
jalan keluarnya?
2)Rapat koordinasi yang dimaksudkan pada jadwal kegiatan workshop ini antara siapa dengan siapa? Dananya dari mana? Siapa yang melaksanakan? Demikian juga dengan Evaluasi workshop I, II, dan III.
3)Apakah perlu ada revisi anggaran? Ini tentu akan memerlukan waktu yang lama.

3. Ada suatu info yang menarik dari salah satu LPMP yang sedang
mengadakan Capacity Building Internal. Info itu adalah penyelenggaraan Workshop tersebut tidak ada panduan, tidak ada handout, jadwal cuma 1 lembar. Yang hadir dari 35 hanya 16 orang. Jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural, dst.
Fenomena ke – 3 adalah tindak lanjut dari putaran 1 dan 2 dan merupakan implementasi dari putaran 3. Seakan tak percaya bila suatu lembaga yang bernama Lembaga Penja-minan Mutu Pendidikan yang merupakan perubahan dari Balai Penataran Guru menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar. Bagaimana mungkin, lembaga yang bernama Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan ketika menyelenggarakan kegiatan untuk dirinya sendiri kenyataannya ”tidak bermutu” ? Apa yang dapat dibanggakan bagi LPMP yang menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar ? Bagaimana mungkin, kalau perilaku LPMP yang semacam itu mampu menciptakan ”Best Practise ?”

Merujuk tulisan diatas yang menyatakan bahwa ....... “kalau LPMP dibubarkan tidak akan berpengaruh pada dunia pendidikan” .... maka, untuk LPMP yang berperilaku menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk dibubarkan. Mungkin pemikiran ini terlalu ekstreem. Tapi mohon coba dibayangkan, suatu lembaga yang menyedot anggaran tiap tahun yang tidak kecil. Mempunyai nama yang agung yaitu Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Dari namanya, orang awam yang tidak memahami Permendiknas 07/2007 pasti akan terbangun image bahwa lembaga yang namanya ada mutunya pasti bermutu. Merujuk pada kultur Jawa (atau mungkin bahkan kultur Indonesia) ketika memberikan nama pada anaknya terbersit suatu harapan. Analog pemikiran saya, begitupun pemerintah. Ketika pemerintah memberikan nama Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan harapannya adalah lembaga tersebut mampu melakukan penjaminan mutu pendidikan. Sebelum melakukan penjaminan mutu pendidikan pada pihak lain, tentu saja sudah seharusnya dan sepantasnya melakukan penjaminan mutu untuk dirinya sendiri atau dengan kata lain melakukan penjaminan mutu pada kegiatan yang akan dimanfaatkan untuk dirinya sendiri. Makanya, pada waktu berakhirnya putaran 2, pak John memberikan gelas yang bertuliskan "Quality is Every Body’s Bussiness". Lalu terbersit suatu pertanyaan, kalau melaksana-kan untuk dirinya sendiri saja tidak bermutu, apa lagi untuk orang lain ? Berdasarkan uraian diatas, saya tetap mengatakan bahwa kalau ada LPMP yang berperilaku menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk dibubarkan. Atau mungkin ada yang berpendapat lain ? Silahkan berpendapat !

Ada kemungkinan bahwa kejadian di atas (fenomena 3) terkait dengan dana (fenomena 2). Ada kemungkinan ketiadaan dana dalam Dipa membuat Workshop (Capacity Building Internal) diselengarakan tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar, Yang hadir dari 35 hanya 16 orang. Jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural, dan terkesan penyelenggaraan-nya asal-asalan.

Sebelum mengulas lebih jauh ijinkan saya menyampaikan persepsi saya tentang LPMP. Saya kerja di LPMP mulai tahun 2005. Sebelumnya pernah berprofesi sebagai guru selama 20 tahun dengan Jabatan Fungsional Guru Utama Muda (Angka Kredit : 832,5), Pembina Utama Muda/IVc. Kepindahan ke LPMP karena suatu anugerah, setelah di Nonjob sebagai kepala sekolah yang diemban selama 8 tahun.
Kesan saya kerja di LPMP (walaupun hal ini tidak dapat disama ratakan untuk semua LPMP), sistem kerjanya dibangun terlalu berorientasi pada Dipa sehingga membentuk sikap dan perilaku Dipa minded . Dipa minded selalu berargumentasi bahwa ketika suatu kegiatan yang tidak ditunjang oleh DIPA, maka kegiatan tersebut tidak bisa jalan. Orientasi Dipa minded ini nampak pada program-tahunan di seksi teknis. Nyaris, program tahunan yang dibuat di seksi teknis merupakan penjabaran dari dalam Dipa. Sementara, kegiatan dalam Dipa hanya dapat mengakomo-dir sebagian pegawai. Kondisi ini, disadari atau tidak melahirkan kecemburuan antara staf yang di seksi teknis dan staf yang di subag umum.

Ada suatu fenomena, bahwa program tahunan yang dibuat di seksi teknis yang merupakan penjabaran dari dalam Dipa aktifitasnya tidak setiap hari, dan tidak semua staf diseksi tersebut dapat terlibat. Kondisi ini membuat ketika ada kegiatan yang ditopang oleh Dipa ada sebagian staf yang terlibat dan sebagian staf tidak mempunyai aktifitas. Untuk mengisi waktu tiap orang mempunyai ekspresi bermacam-macam, ada yang main game di komputer, kalau internet lancar ada yang chatting, ada yang ngrumpi, ada yang keluar ngobyek, pendek kata . . . . “bermacam-macam aktifitas”...... Artinya apa ? Kondisi menciptakan “pengangguran terselubung” pada jam-jam kerja. Hal yang sama juga terjadi bagi staf di seksi teknis pada waktu-waktu yang tidak ada kegiatan yang ditopang oleh DIPA. Kasusnya cenderung sama, mereka akan mengisi waktu tiap orang mempunyai ekspresi bermacam-macam, ada yang main game di komputer, kalau internet lancar ada yang chatting, ada yang ngrumpi, ada yang keluar ngobyek, pendek kata . . . . “bermacam-macam aktifitas”...... Artinya apa ? Kondisi menciptakan “pengangguran terselubung” pada jam-jam kerja.

Sistem yang dibangun yang akhirnya bermuara pada DIPA minded menghasilkan kebiasaan yang terlalu berorientasi pada “uang” alias “materi”. Kalau boleh mengatakan, sistem yang dibangun bertahun-tahun ini melahirkan budaya kerja atau kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi”. Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi” akan miskin dengan improvisasi, akan miskin inovasi, akan melunturkan idealisme, mematikan semangat dan cenderung akan mustahil melahirkan “best practices”. Padahal menurut hemat saya peningkatan akan diraih melalui ada-nya inovasi atau improvisasi, sehingga terjadi perubahan mu-aranya pada suatu pertumbuhan.
Suatu pertanyaan, apa yang bisa diharapkan pada suatu lembaga yang semangatnya mati & idealismenya tidak ada ? Justru tidak menutup kemung-kinan lembaga yang seperti ini bila ada kegiatan yang ditopang oleh DIPA ada kecenderungan pelaksanaan dilakukan dengan asal-asalan, apa adanya, dan formalitas saja.

Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi” akan mempengaruhi kohesitas lintas seksi. Tiap-tiap seksi akan berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya kegiatan dalam DIPA berdasarkan Tupoksi yang ada. Tiap-tiap seksi, dengan argumen-tasinya masing-masing dibangun untuk meyakinkan pihak lain yang kesannya berkecenderungan memperebutkan judul-judul kegiatan yang kadang masih buram (secara eksplisit kurang jelas kegiatan itu masuk tupoksi seksi yang mana). Ada suatu kemungkinan, untuk LPMP-LPMP tertentu, hal ini merupakan kejadian rutin diawal turunnya Dipa.
Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang DIPA minded tidak menganggap bahwa gaji dan uang lauk pauk itu merupakan hak yang harus melaksanakan kewajiban melakukan pekerjaan-pekerjaan di kantor.

Mestinya mindset itu harus dirubah dengan suatu bangunan sistem kerja yang lebih menghargai gaji dan uang lauk pauk. Sistem kerja yang menyadar-kan bahwa gaji dan uang lauk pauk itu merupakan hak dan konsekwensinya harus melaksanakan kewajiban untuk mengerjakan sesuatu yang positif dan bermanfaat di kantor pada jam-jam kantor. Seperti saya uraikan di atas, bahwa ada kemungkinan ketiadaan dana dalam Dipa pada LPMP tertentu membuat Workshop (Capacity Building Internal) diselengarakan tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar, Yang hadir dari 35 hanya 16 orang, jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural.

Kembali pada judul tulisan ini. Seperti telah saya uraikan diatas bahwa tulisan ini akan mencoba menelaah & menerka-nerka, ada apa dibalik pemikiran pak John terkait dengan pedoman 1 – 4 ? Muara akhir apa yang sebenarnya diinginkan pak John pada putaran 3 ini ? Apakah sesuai dengan Buku Pedoman II tentang Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI muaranya pada suatu Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI yang pelaksanaannya tanpa panduan, tanpa handout, dan jadwal hanya 1 lembar ?
Buku Pedoman 1, yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM. Buku Pedoman II yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI, Buku Pedoman III yang berjudul Pembentukan Tim Pengembangan Kapasitas Eksternal QA/QI dan Buku IV yang berjudul Forum Pembelajaran Klaster (Cluster Learning Circles = CLC).
Dari uraian Buku Pedoman 1, yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM, ada 2 hal yang menarik, yaitu :

1.Bab (A) alinea (1) & (2), yang kutipannya demikian :
Disamping upaya pemberdayaan yang sifatnya teknis, lebih penting lagi adalah merubah pola pikir (mind set) semua pihak yang terlibat dalam penerapan SPMP. Bagaimana menumbuhkan budaya peduli mutu melalui semangat peningkatan mutu yang berkelanjutan (quality continuous improvement) dan dengan semboyan: “ mutu adalah tanggung jawab setiap orang” ( quality is every one’s business). Dari banyak instansi yang terkait dengan implementasi SPMP di tingkat provinsi adalah Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP/BDK). Oleh karena itu, Pucuk Pimpinan LPMP/BDK dan pejabat structural didalamnya harus memahami “ruh”nya SPMP, mempunyai pengetahuan dan ketrampilan Leadership dan Managemen untuk menggerakan seluruh stafnya dan bersama pemangku kepentingan di luar LPMP/BDK yang terkait melakukan penjaminan mutu pendidikan tingkat dasar dan menengah.
Fakta lapangan menunjukan bahwa kondisi di LPMP/BDK saat ini masih belum sepenuhnya seperti yang digambarkan di atas. Oleh karena itu, kepada LPMP/BDK perlu dilakukan penguatan atau Pengembangan Kapasitas dalam aspek Leadership dan Manajemen khususnya bagi pejabat structural (Kepala LPMP/BDK, Kasubag, Kasi, dan Koordinator Widyaiswara) sehingga lembaga ini mempunyai comitmen dan mampu mengemban tugas utamanya yaitu bersama pemerintah daerah dan pemangku kepentingan yang relevan mengawal jalannya penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan di tingkat provinsinya masing-masing.

2.Bab (I) alinea (1) & (2) yang kutipannya demikian :
Aktivitas kegiatan lebih menekankan pada diskusi dan kerja kelompok, serta presentasi kasus-kasus nyata dari lapangan berkenaan dengan implementasi mutu pendidikan yang terkait dengan tupoksi LPMP/BDK dan pemangku kepentingan. Kegiatan ini perlu dikomunikasikan dengan Koordinator Klaster masing-masing LPMP/BDK dan Koordinator Program (Dra. Renny Yunus, MM).
Selain melakukan pertemuan kegiatan secara formal, tindak lanjut dapat dilakukan dalam bentuk on the job training dengan melakukan mentoring dan coaching oleh Tim internal LPMP/BDK. Kegiatan ini perlu dilanjutkan dan diprogramkan dalam kegiatan klaster (quality circle) di dalam dan/atau di antara unit kerja dalam LPMP/BDK.
Dari uraian Buku Pedoman II yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI, yang menarik, yaitu :
Bab (I) alinea (2) & (3), yang kutipannya demikian :
Setelah melakukan workshop secara formal, dilakukan pula on the job training dengan melakukan mentoring dan coaching dari Tim LM dan Tim QA internal LPMP/BDK.
Selanjutnya membentuk quality circle di antara unit kerja dalam LPMP/BDK untuk melaksanakan program kerja, dan melakukan kajian atau evaluasi pelaksanaan program.

Dari uraian Buku Buku IV yang berjudul Forum Pembelajaran Klaster, yang menarik, yaitu :
Bab (A) alinea , yang kutipannya demikian :
Sementara dalam upaya meningkatkan kapasitas diri masing-masing LPMP/BDK maupun melakukan kemitraan dengan pemangku kepentingan tentu banyak mengalami kendala baik secara konseptual maupun operasinal, untuk itu perlu dibuat forum pertemuan antara beberapa LPMP/BDK dalam klaster guna saling berbagi infomasi pengalaman baik (best practices) maupun pelajaran yang berharga (lesson learned) sehingga secara bersama-sama LPMP dapat berkembang lebih cepat dalam melakukan pengembangan kapasitas baik secara internal untuk staf LPMP sendiri maupun secara eksternal terhadap kabupaten/kota, propinsi dan pihak lainya yang terkait dalam melakukan penjaminan mutu pendidikan di tingkat dasar dan menengah.

Dari ketiga buku pedoman yaitu buku I, II & IV, menurut hemat penulis Muara akhir yang diinginkan pak John adalah LPMP/BDK menerapkan organisasi pembelajar (Learning Organization). Konsep learning organization pertama kali menjadi istilah yang populer setelah Peter Senge melontarkan gagasannya dalam bukunya “The Fifth Discipline”.
Beardwell dan Holden (2001) memberikan definisi yang lebih luas mengenai organisasi belajar, yaitu organisasi yang memfasilitasikan pembelajaran bagi seluruh anggotanya dan mentransformasikan secara sadar dalam konteks organisasi. Adapun maksud dan tujuan penggunaan proses belajar baik individual, kelompok maupun organisasional, adalah mentransformasikan organisasi untuk memenuhi kepuasan stakeholder. Menurut Pedler, Boydell dan Burgoyne dalam (Dale, 2003) mendefinisikan bahwa organisasi pembelajaran adalah “Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfor-masikan diri”. Menurut Lundberg (Dale, 2003) pembelajaran adalah “suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan penge-tahuan serta aplikasinya”.
Menurut Sandra Kerka (1995) yang paling konseptual dari learning organization adalah asumsi bahwa ‘belajar itu penting’, berkelanjutan, dan lebih efektif ketika dibagikan dan bahwa setiap pengalaman adalah suatu kesempatan untuk bela-jar.
Peter Senge menekankan pentingnya dialog dalam organisasi, khususnya dengan memperhatikan pada disiplin belajar tim (team learning). Peter Senge dalam karyanya yang terkenal memberi definisi Learning Organization sebagai “…organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together.” Ada beberapa kata kunci di sana yakni:
1. Senantiasa meningkatkan kemampuan dan kapasitas
2.Pemikiran baru dan luas diberi kesempatan tumbuh
3.Aspirasi bersama diberi kebebasan berkembang
4.Orang-orang yang terus menerus belajar

Peran organisasi adalah memberikan fasilitasi atau dukungan kepada seluruh anggotanya terkait proses pembelajaran sehingga orang-orang di dalam organisasi tersebut maupun organisasi itu sendiri dapat terus bertransformasi ke arah yang lebih baik secara kontinyu, terus menerus.
Dalam bukunya, Peter Senge mendeskripsikan bahwa dalam sebuah learning organization, maka pemimpin mendorong organisasinya untuk selalu meningkatkan kapasitas yang mereka miliki secara kontinu, demi memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam learning organization, maka terciptalah pemikiran baru yang menjadikan organisasi tersebut belajar secara terus menerus.

Watkins dan Marsick mengungkapkan karakteristik pada learning organization dimana proses learning terjadi pada individual, tim, organisasi hingga komunitas yang melakukan interaksi dengan organisasi. Learning adalah sebuah proses strategis yang kontinu, dan berintegrasi dengan pekerjaan. Hasil dari learning adalah perubahan dalam hal knowledge, belief, dan behavior. Learning juga meningkatkan kapasitas organisasi dalam melakukan inovasi dan pertumbuhan. Organisasi ini memiliki system yang mengedepankan learning.

Learning merupakan satu proses fundamental yang relevan bagi banyak aspek dari perilaku organisasi. Learning merupakan satu perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Pembelajaran menurut Argyris (1982) adalah suatu lingkaran aktivitas di mana seseorang menemukan suatu masalah (discovery), mencoba menemukan solusi atasnya (invention), menghasilkan atau melaksanakan solusi itu (production), dan mengevaluasi hasil yang diperoleh yang mengantarnya pada masalah-masalah baru (evaluation). Aktivitas-aktivitas ini disebut sebagai lingkaran pembejaran.

Konsep organisasi belajar diperlukan untuk mengimplementasikan organisasi belajar untuk mengembangkan kapabilitas individual dan organisasional, serta mengubah paradigma dari “person – job fit” menjadi “person – organization job”.
Dalam hal ini, termasuk peran dan tanggungjawab pemimpin untuk mendukung keberhasilan organisasi belajar, sehingga organisasi belajar diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi manajemen dan organisasi secara menyeluruh.
Berdasarkan hasil penelitian Tjakraatmaja (2002) dihasilkan temuan bahwa untuk membangun learning organization dibutuhkan tiga pilar yang saling mendukung, yaitu
1. Pembelajaran Individual (individual learning),
2. Jalur Transformasi Pengetahuan.
3. Pembelajaran Organisasional (organizational learning).
Proses pembelajaran diawali dengan individual learning untuk memahami potensi diri, yang merupakan proses akumulasi pengetahuan individu untuk menghasilkan keahlian/kemahiran pribadi (personel mastery). Individual learning didapatkan melalui pendidikan, pelatihan, dan kesempatan berkembang yang membuat individu tumbuh. Pilar transformasi pengetahuan berfungsi sebagai alat untuk munculnya proses transformasi pengetahuan (kompetensi) melalui proses berbagi pengetahuan di antara anggota-anggota organisasi. Pilar organizational learning adalah suatu pilar untuk menghasilkan intellectual capital yang mampu memberikan value added bagi organisasi.
Organizational learning dapat dikatakan sebagai suatu wadah untuk membangun kelompok manusia yang memiliki kompetensi yang beragam dan mampu melaksanakan kerjasama, sehingga mampu untuk berbagi visi, knowledge, untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi intellectual capital. Pembelajaran organisasi dicapai melalui riset dan pengembangan, evaluasi dan perbaikan siklus, ide dan input dari karyawan dan pelanggan, berbagai praktik terbaik dan benchmark

Kalau boleh mengatakan, harapan pak John adalah ditumbuhkannya semangat belajar dan terlebih lagi budaya belajar, yang sangat penting dimiliki oleh individu-individu dalam sebuah organisasi sehingga menjadi organisasi pembelajar (Learning Organization). Hal ini hanya bisa terjadi ketika individu dalam organiasi menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab atas proses belajarnya. Mereka menjadi orang-orang yang belajar bukan karena semata-mata adanya topangan anggaran dalam DIPA tetapi kelanjutan yang dipelihara yang awalnya dipandu dari Buku I, Buku II dan Buku IV yang dibiasakan, akhirnya terbiasa dan muaranya akan menjadi kebiasaan.
Alvin Toffler dalam salah satu tulisannya menyebutkan, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Tulisan diatas dapat diartikan bahwa kebodohan di abad 21 seperti saat ini bukan lagi diakibatkan oleh buta huruf semata, tetapi oleh orang-orang yang tidak mau belajar, tidak mau membuang pengetahuan yang salah yang selama ini diyakininya dan juga tidak mau mempelajari kembali apa yang telah dipelajari sebelumnya.

Untuk itu, supaya LPMP/BDK tidak terjebak kedalam jurang “kebodohan” menurut Alvin Toffler, harapan pak John yang tertuang di dalam Buku I, II & IV tidak berhenti ketika pak John kembali Ke Australia, tetapi “Learning Organization” tetap ditumbuh kembangkan yang pada saatnya akan berbunga semerbak wangi yang tentu saja akan mewangikan nama LPMP/BDK, dan muaranya akan berbuah yang bernama : quality continuous improvement . . .
Semoga . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar