Senin, 28 Juni 2010

“Hitam”, Pahit dan Manisnya Pendidikan Sultra

Oleh : Eri B Santosa
Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Sultra
Dalam Kendari Pos, 6 April 2010 Penanggung Jawab Pengawasan & Tim Pemantau Independen (TPI) UN Se Sultra (Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse MS), mengatakan bahwa : Berdasarkan pengamatan saya, laporan dari pengawas maupun TPI , pelaksanaan UN di Sultra tidak jauh berbeda dengan dengan sebelumnya. Bahkan tahun ini pelaksanaan UN SMA dan SMP sederajat bisa dikatakan hitam pekat dibanding sebelumnya.

Pernyataan tersebut mengingatkan penulis pada kegiatan Lokakarya dengan tema : Peranan Dewan Pendidikan Dalam Mendukung Peningkatan Mutu Pelayanan & Pemerataan Pendidikan di Provinsi Sulawesi Tenggara, pada tanggal 29 Desember 2009 di Hotel Srikandi.

....“Makanya tadi kami tertawa, kami mentertawakan kualitas pendidikan di Sultra” ... Itulah rekaman dari sepenggal pernyataan dari salah seorang guru pada saat sesi tanya jawab kegiatan Lokakarya tersebut di atas. Pernyataan tersebut sebagai tanggapan dari pernyataan salah satu panelis yang menyatakan bahwa berdasarkan penelusuran jawaban hasil ujian nasional tahun 2008/2009 yang dinyatakan oleh BSNP menunjukkan bahwa daerah Sultra termasuk daerah “Hitam”. Informasi ini juga seiring dengan informasi dari seorang teman yang mengikuti paparan Prof. Dr Jaali (BSNP) pada saat acara tertentu di awal bulan Desember 2009 di LPMP Sultra yang menyatakan bahwa hasil ujian nasional tahun 2008/2009 menunjukkan bahwa daerah Sultra termasuk daerah “Hitam”.

Agak sulit mencari referensi tentang “daerah hitam”, namun menurut Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si dalam tulisannya di internet (Facebook) menyatakan bahwa data menunjukkan bahwa Provinsi Gorontalo berada di ”daerah hitam” dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Dari hasil penilaian terhadap pelaksanaan Ujian Nasional, di Indonesia di bagi dalam tiga kategori daerah, yaitu daerah putih, daerah abu-abu dan daerah hitam. ”Daerah putih” adalah yang dapat disebut sebagai daerah yang jujur atau bersih dari kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. DKI Jakarta adalah salah satu dari ”daerah putih” tersebut. ”Daerah abu-abu” adalah daerah yang ’kurang jelas’ jujur atau tidaknya. Kalimantan Tengah adalah salah satunya. ”Daerah hitam” adalah daerah yang tidak jujur atau curang dalam pelaksanaan UN. Provinsi Gorontalo berada di peringkat teratas ”daerah hitam”. Tingkat ketidakjujurannya mencapai 85 persen. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Sabirin dari Universitas Negeri Yogyakarta ketika menjadi pembicara dalam Pelatihan Manajemen Berbasis Teknologi Informasi Komunikasi, 23 November 2009.

Lebih jauh Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si menceritakan pengalaman kejadian pada bulan Juni 2009, setelah pengumuman hasil UN. Waktu itu seorang guru mengeluh karena banyak siswanya yang tidak lulus. Dia meminta bantuan Elnino M. untuk menggunakan segala akses agar anak-anak tersebut diluluskan UN. Alasannya emosional. ”Kasihan, anak-anak orang susah. Kasihan kalau tidak lulus, pak,” ungkapnya. Elnino hanya prihatin, tak mampu ber-buat apa pun untuk membantunya. Saat Elnino bertanya ”Apa kendalanya pak...sampai banyak yang tidak lulus UN ?”. Dengan polos dia menjawab, ”Kebetulan sekali di kelas ujian anak-anak itu banyak sekali pengawas waktu UN... dan tidak ada kompromi”. Jadi, sederhananya, ketidaklulusan siswa di UN karena kebetulan di kelas itu diawasi secara ketat, tidak bisa nyontek.

Dalam acara sosialisasi UN (Waspada on line) yang dihadiri para kepala dinas kabupaten/kota se Aceh, Pembantu Rektor Bidang Akademis Unsyiah, Prof. Dr. Samsul Rizal mengkhawatirkan tingkat kemajuan pendidikan Aceh ke depan. Hal ini, menurutnya, terlihat dari hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen hasil ujian nasional (UN) tingkat SMA se Aceh tahun-tahun sebelumnya masuk dalam kategori hitam, dan hanya beberapa sekolah tergolong putih, selebihnya masuk katagori abu-abu.

Pada bab I RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara 2008-2013 dinyatakan bahwa RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2013 dimaksudkan untuk menjadi panduan dan alat kontrol bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk : 1. Menjadi pedoman bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam menyusun Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD); 2. Menjadi pedoman bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Dalam konsep RPJMD Provinsi Sultra tahun 2008 – 2013 agenda “Pembangunan Kualitas Sumber-daya Manusia” dijabarkan kedalam beberapa sasaran. Terkait dengan konteks ujian nasional secara tersurat dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2013 terdapat dalam Bab VII, Subsubsubab VII.1.A.3. Sasaran, Poin (d) “Meningkatnya mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui peningkatan nilai rata-rata standar kelulusan siswa dari 5,25 pada tahun 2008 menjadi 6,50 pada tahun 2013” ;

Dari uraian di atas ada 2 hal yang dapat diungkap, yang pertama tentang realita dan ini secara implisit juga diakui kebenarannya, yaitu : terkait dengan ujian nasional daerah Sultra masuk dalam “Daerah Hitam”. Yang kedua, hasil ujian nasional termaktub dalam salah satu sasaran yang tertuang di dalam RPJMD Provinsi Sultra tahun 2008 – 2013.

Menurut hemat penulis, ada dua skenario yang dapat dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dalam sektor pendidikan untuk dapat mencapai sasaran dalam RPJMD Sultra 2008 – 2013 terkait dengan ujian nasional. Skenario yang pertama, dengan tetap mempertahankan dalam kategori “Daerah Hitam”, maka “lanjutkan” saja cara-cara yang tidak terpuji dalam proses pelaksanaan ujian nasional. Kalau sinyalemen Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse MS yang mengatakan bahwa pelaksanaan UN SMA dan SMP di Sultra bisa dikatakan hitam pekat dibanding tahun sebelumnya adalah benar, maka skenario “lanjutkan” menjadi pilihan yang sulit diingkari. Secara kuantitatif skenario ini adalah skenario termudah untuk merealisasikan RPJMD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2013 dalam Bab VII, Subsubsubab VII.1.A.3. Sasaran, Poin (d) “Meningkatnya mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui peningkatan nilai rata-rata standar kelulusan siswa dari 5,25 pada tahun 2008 menjadi 6,50 pada tahun 2013” ;

Skenario yang kedua adalah memperbaiki realita. Pernyataan di awal alinea tulisan ini ada seorang guru yang menyatakan bahwa ....“Makanya tadi kami tertawa, kami mentertawakan kualitas pendidikan di Sultra” ... ketika menanggapi bahwa daerah Sultra masuk dalam “Daerah Hitam”, dapat disimpulkan bahwa sinyalemen atau dugaan atau kesimpulan atau apapun namanya “dibenarkan” oleh yang membuat pernyataan dan oleh para guru, kepala sekolah dan pengawas yang mengikuti lokakarya. Logikanya, bila sinyalemen itu salah “dapat dipastikan“ ada guru atau kepala sekolah yang akan melakukan interupsi. Apalagi menurut catatan penulis, lontaran bahwa daerah Sultra adalah daerah hitam sudah terlontar 3 kali. Yang pertama pada waktu Seminar Hasil Akreditasi (Awal Oktober 2009, di LPMP Sultra), yang kedua disampaikan oleh Prof. Dr. Jaali dari BSNP (Awal Desember 2009, di LPMP Sultra), yang ketiga pada waktu lokakarya Dewan Pendidikan (29 Desember 2009, di Hotel Srikandi). Sulit dimengerti bagi penulis untuk memaknai kata “tertawa” yang terlontar dari seorang guru ketika menanggapi sinyalemen dugaan kecurangan dalam proses ujian nasional yang dugaan banyak pihak pelaku utamanya adalah guru. Apakah itu guru mata pelajaran, guru bidang studi, guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai wali kelas, ataupun guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Artinya apa ? Yang mewarnai “Hitam” dalam hal ini yang patut di duga tidak terlepas peranan guru. Menurut hemat penulis, ini adalah harga diri profesi. Bagaimana mungkin ketika ada pernyataan bahwa profesi tertentu dinyatakan “tidak jujur”, responnya yang mempunyai profesi itu malah “tertawa” ? Ataukah sebenarnya ekspresinya “tertawa” namun sebenarnya hatinya “menangis” ? Ataukah sudah terjadi pergeseran perilaku ? Ataukah ada suatu rasa “bangga” ketika profesinya diberikan label “tidak jujur” ? Sungguh. Sesuatu yang sulit dimengerti dengan akal sehat. Ataukah justru seseorang yang sulit untuk mengerti terkait dengan fenomena ini justru akalnya yang tidak sehat ?

Dalam lokakarya tersebut juga sempat terlontar dari salah seorang panelis (Dr. Sartiah.Y, Staf Ahli Gubernur Sultra) yang menceritakan pengalaman pendidikan anaknya di sekolah Australia & sekolah Kendari. Menurut beliau, salah satu perbedaannya adalah perbedaan dalam pembentukan karakter anak didik. Yang jelas menurut beliau di Australia lebih baik.
Karakter memang sulit didefinisikan, tetapi lebih mudah ditangkap melalui adanya uraian berisikan pengertian. Karakter menurut Sigmund Freud, Character is a striving system which underly behaviour, yang dapat diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong (daya juang) yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku, yang akan ditampilkan secara mantap. Sementara dalam ilmu filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu nilai logika adalah nilai benar salah; Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah dan Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk.

Karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar menjadi bagian kepribadiannya. Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri manusia yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku. Jadi, karena karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang dipatrikan untuk menjadi semacam nilai intrinsik dalam diri manusia, yang akan melandasi sikap dan perilaku. Karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, ditumbuh kembangkan dan dibangun.

Pentingnya peran dunia pendidikan dalam pembentukan karakter, maka dalam dunia pendidikan dikenal adanya kata bijak: We cannot Teach what we want, we only can teach what we are. Yang dapat diartikan bahwa kita tidak bisa mengajarkan apa yang kita inginkan, tetapi kita hanya bisa mengajarkan sebagaimana apa adanya diri kita. Hal ini pun berlaku di semua bidang, termasuk di bidang pendidikan, dimana seorang guru hendaknya dapat melakukan bahkan menyontohkan apa yang ia katakan atau perintahkan. Sebagai contoh kecil: bagi seorang pendidik jangan sampai berbeda antara apa yang ia ajarkan/ perintahkan dengan apa yang ia lakukan. Artinya apa ? bahwa dalam mengajar dibutuhkan suri tauladan dalam berperilaku. Fakta yang menunjukkan terjadinya proses kecurangan dalam ujian nasional yang dilakukan oleh sebagian guru adalah suatu preseden buruk dalam pembentukan pribadi guru sendiri maupun pembentukan karakter anak didik.

Kata bijak yang lain yang berkaitan dengan karakter adalah When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost, but when character is lost, everything is lost. Yang dapat diartikan bila harta kita hilang, sebenarnya tidak ada yang hilang, bila kesehatan kita hilang, ada sesuatu yang hilang, tetapi bila karakter kita hilang maka kita akan kehilangan segala-galanya. Dalam dunia pendidikan misalnya, contoh-contoh hilangnya karakter dalam diri pendidik dapat dilihat pada kejadian seorang oknum pendidik membocorkan soal ujian, atau memberikan jawaban soal ujian.

Padahal jika orang memiliki karakter, ia akan memegang teguh prinsip-prinsip nilai kehidupan, kaidah-kaidah agama dan tegar dalam menghadapi situasi apa dan bagaimana pun. Pertanyaannya, mengapa sebagian guru tidak teguh memegang prinsip dasar evaluasi ? Mengapa melaksanakan ketidak jujuran yang nyata-nyata merupakan pengingkaran terhadap kaidah-kaidah agama ? Pertanyaan berikutnya, apakah perilaku menyimpang ini dilaku-kan sejak dulu kala ?

Untuk menjawab hal ini, kita dapat menyibak masa lalu sebelum otonomi daerah. Ujian nasional dilaksanakan sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Perbedaan kebijakan terkait dengan penggunaan hasil ujian nasional terjadi sejak tahun 2002/2003, yang mana hasil nilai ujian nasional dijadikan salah satu kriteria kelulusan. Dimasa-masa sebelumnya hasil ujian nasional hanya dijadikan bagian dari variabel kriteria kelulusan, artinya nilai ujian nasional digabungkan dengan nilai semester untuk dijadikan kriteria kelulusan. Sehingga dimasa lalu walaupun ada siswa yang hasil ujian nasionalnya 2 atau 3 juga dapat lulus. Walaupun pengawasan tidak dilakukan Tim Independen dan hanya diatur di rayon, namun ujian dilakukan oleh sekolah dengan hati-hati, tertib dan cermat. Pada waktu Kakanwil Dikbud Sultra dipimpin pak Amin Rauf pernah mengalami tingkat kelulusan yang drop.

Tahun 2002/2003 hasil ujian menunjukkan terjadinya tingkat ketidak lulusan yang luar biasa, bahkan ada sekolah yang meluluskan 2 orang saja. Namun pada waktu itu kebijakan ujian ulang dilaksanakan. Menurut hemat penulis, sejak saat itu strategi-strategi kecurangan mulai marak dilakukan. Patut diduga bahwa penyimpangan perilaku ini terjadi pada guru yang mempunyai tugas tambahan sebagai kepala sekolah yang “ketakutan” akan “kehilangan jabatannya”. Hal ini seiring dengan respon sebagian Kepala Dinas Kab/Kota terkait dengan hasil ujian nasional. Sebagian Kepala Dinas Kab/Kota berkomentar “miring” secara terbuka maupun tidak terbuka terhadap sekolah atau kepala sekolah yang prosentase kelulusannya rendah walau dilakukan secara jujur. Tidaklah terlalu salah kalau dengan fenomena ini ada pihak-pihak yang menyimpulkan bahwa sebagian Kepala Dinas Kab/Kota “merestui” terjadinya kecurangan dalam proses ujian nasional.

Kalau dugaan ini benar, patut diduga bahwa sinyalemen ini juga dikarenakan Sang Kepala Dinas Kab/Kota juga “ketakutan” akan “kehilangan jabatannya”. Apalagi mutasi atau penggantian pejabat dilingkup pemerintah daerah dalam hal ini termasuk Dinas Pendidikan Kab/Kota bahkan tingkat provinsi kenyataannya dapat terjadi setiap saat. Dan banyak pihak berpendapat bahwa dunia pendidikan sudah terkontaminasi dengan politik.
Merujuk tulisan di atas, bahwa karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri manusia yang salah satunya dibentuk melalui pengaruh lingkungan, maka karakter guru dalam mengemban profesinya sangat dipengaruhi oleh karakter kepala sekolah, karakter kepala sekolah sangat tergantung dengan karakter kepala dinas kabupaten/kota. Ketika budaya kita cenderung pada paternalistik, maka untuk katakter guru akan sangat terpengaruh dengan karakter kepala dinas kabupaten/kota. Dengan kata lain, apabila kepala dinas kabupaten/kota memberikan penekanan bahwa proses pelaksanaan ujian nasional dilaksanakan dengan “kejujuran”, maka kalau boleh mengatakan “niscaya” label bahwa “Sultra adalah daerah hitam” akan perlahan-lahan sirna.

Kalau boleh mengatakan, yang masih menjadi “misteri” saat ini adalah : “Mengapa pihak-pihak penanggung jawab pendidikan di wilayah se Provinsi Sultra ini terkesan membiarkan hal ini ?”

Terkait dengan semua ini. Ada “pesan” yang menarik dari salah seorang peserta lokakarya. Pesan tersebut disampaikan melalui salah seorang panelis yang juga Staf Ahli Gubernur Sultra (Dr. Sartiah Yusran) yang isinya adalah “Tolong sampaikan pada Gubernur Sultra, agar dunia pendidikan jangan terkontaminasi dengan kepentingan politik ketika kita semua mengharapkan dunia pendidikan akan maju dan ini berlaku untuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota”. Dalam tanggapannya salah seorang panelis (Ketua Dewan Pendidikan Prov. Sultra) mengatakan atau “berpesan” : “Hentikan dunia pendidikan dari penjajahan politik”.

“Misteri & Pesan” harus dijawab. Jawaban dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah menanggapi tulisan ini, yang mungkin ada pihak-pihak yang kurang sependapat dengan uraian di atas. Ada kemungkinan banyak kalangan dunia pendidikan menanti jawaban “Misteri & Pesan” di atas. Karena apapun alasannya, apapun peranannya, apa lagi dari kalangan guru di Sultra ini, dalam kondisi normal, tidak ada pihak manapun juga yang berkecimpung dalam dunia pendidikan yang nyaman bila terkait dengan proses ujian nasional mendapatkan label “Daerah Hitam”. Karena disadari atau tidak, predikat “Daerah Hitam” akan dirasakan “Pahit” oleh “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” alias guru. Walaupun kemungkinan untuk pihak lain yang diuntungkan akan mengatakan “Manis”. Sungguh ironis, “diatas” kepahitan derita profesi masih ada pihak-pihak yang dapat duduk “manis” di kursi singgasananya dan tersenyum “manis” di bibir kekuasaannya sambil menikmati segelas kopi “hitam” nan “manis”.

Mari kita tunggu tanggapan manisnya . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar