Senin, 28 Juni 2010

Kejujuran & Pengkhianatan Pendidikan

Oleh : Eri B Santosa
Ketika mengikuti Diklat di Pusdiklat Kemendiknas Sawangan, penulis tertarik pada sebuah poster yang terletak didinding pada gedung Budaya yang bertuliskan Honesty is the first chapter in the book of wisdom atau kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson).

Terkait dengan hal di atas, belum lama ini Mendiknas Muh Nuh juga mengingatkan tentang ”kejujuran”. Pada tanggal 12 Februari 2010 yang lalu pada waktu rapat koordinasi penyelenggaraan UASBN dan UN di Jakarta yang dihadiri oleh seluruh ketua penyelenggara UASBN dan UN tingkat provinsi, pejabat eselon II dan III di lingkungan Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional, Ketua, Sekretaris dan anggota BSNP. Sebagai agenda utama adalah penandatanganan nota kesepahaman tentang dana penyelenggaraan UASBN dan UN. Dalam kesempatan itu Mendiknas mengungkapkan : “Mohon dipegang betul prinsip kejujuran ini dan jangan dikorbankan dalam kondisi apapun. Kalau ruh kejujuran hilang, angka-angka atau nilai itu tidak bermakna”.

Pesan Mendiknas tersebut tidak terlepas pada suatu kenyataan bahwa selama ini ketika pelaksanaan ujian nasional nyaris tidak pernah terlepas dari suatu isu ketidak jujuran dalam pelaksanaan ujian nasional. Pihak Kemdiknas sendiri menyadari tentang hal ini, bahwa ketidakjujuran dalam ujian nasional selama ini bukan hanya isu. Namun pihak Kemdiknas sudah mempunyai peta ketidakjujuran dalam pelaksanaan ujian nasional menjadi 3 (tiga) kategori daerah, yaitu daerah putih, daerah abu-abu dan daerah hitam. ”Daerah putih” adalah yang dapat disebut sebagai daerah yang jujur atau bersih dari kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. ”Daerah abu-abu” adalah daerah yang ’kurang jelas’ jujur atau tidaknya. ”Daerah hitam” adalah daerah yang tidak jujur atau curang dalam pelaksanaan UN. Hal ini disampaikan oleh Prof. Sabirin dari Universitas Negeri Yogyakarta ketika menjadi pembicara dalam Pelatihan Manajemen Berbasis Teknologi Informasi Komunikasi, 23 November 2009. Terkait dengan daerah putih, abu-abu dan hitam ini juga pernah diampaikan Pembantu Rektor Bidang Akademis Unsyiah, Prof. Dr. Samsul Rizal dalam acara sosialisasi UN (Waspada on line) yang dihadiri para kepala dinas kabupaten/kota se Aceh.

Keseriusan pihak Kemdiknas terkait dengan ketidakjujuran ini maka tema yang ditetapkan dalam UASBN dan UN tahun pelajaran 2009/2010 adalah Prestasi dan Jujur. Dengan tema tersebut, dalam meraih prestasi, seluruh pemangku kepentingan (pelaku, pelaksana, pengambil kebijakan, dan masyarakat) diharapkan untuk berikhtiar dan menyiapkan diri sebaik mungkin. Sehingga pelaksaan UN lebih credible (dapat dipercaya dan dipertanggungjawabk an), prestasinya memuaskan dengan kejujuran sebagai ruhnya. Dalam desempatan itu Mendiknas Muhammad Nuh mengatakan bahwa jika disuruh memilih mana yang penting jujur atau prestasi, maka jujur jauh lebih baik dari prestasi, tapi yang diinginkan adalah prestasi dan jujur.

Jujur jika diartikan secara baku adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harfiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.

Ketidakjujuran dalam pelaksanaan ujian nasional merupakan fakta pencerminkan belum tercapainya cita-cita pendidikan yang diharapkan. Simpulan ini tidaklah terlalu salah manakala kita merujuk pada Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster (dalam Koesoema, 2005), karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kalau sekolah yang merupakan lembaga pendidikan yang sudah semestinya menjadi wadah dalam pembentukan karakter justru dalam prakteknya mengajarkan ketidakjujuran ? Apa dampaknya bagi siswa ?
Larry King, host acara CNN’s Larry King Live telah mewawancarai berbagai orang penting di dunia dari Mikhail Gorbachev hingga Marlon Brando. Kunci kesuksesannya adalah : kejujuran, disamping kemampuan untuk membangun hubungan antar manusia seperti sikap yang benar, tertarik kepada orang lain dan bersikap terbuka.

Larrry King juga mewawancarai Donald Trumph pengusaha sukses dunia, dan Anthony Robin motivator dan pakar komunikasi masa kini serta Dale Carnegie motivator dan pakar komunikasi. Ternyata prinsipnya semua sama: jujur pada diri sendiri maupun orang lain, menghargai dan memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan, mengasihi, mendengarkan serta berempati terhadap orang lain, tidak mudah menyalahkan orang lain.
Dari uraian di atas, kejujuran adalah sebuah nilai yang agung dan terbukti menjadi kunci segala kesuksesan. Dalam buku The Corporate Mystic, Gay Hendricks dan Kate Ludeman memasukkan Kejujuran sebagai poin pertama dari 12 ciri pemimpin abad 21. Setiap pemimpin korporasi yang diwawancarai mengatakan hal yang sama, yaitu Rahasia sukses dalam bisnis adalah berkata jujur.

Kejujuran merupakan pondasi keutuhan pribadi. Seseorang yang jujur mengakui kelemahan diri akan lebih mudah menerima masukan, mau belajar lebih giat, mampu bekerja lebih baik dan berusaha lebih keras. Selain itu sesorang yang jujur mengakui kelebihan diri akan mudah tersulut semangatnya untuk berkarya, berekplorasi, memikirkan ide-ide baru untuk menghadapi perubahan. Perubahan macam apapun tak akan mampu membuat terjatuh selama kejujuran selalu dijaga.

Ajakan Mendiknas tentang “kejujuran” pada pelaku-pelaku pendidikan harus dilaksanakan manakala pelaku-pelaku pendidikan tersebut tak hendak disebut sebagai bagian dari pihak yang menjerumuskan anak bangsa menjauhkan diri dari kesuksesan dan menggagalkan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Dengan kata lain, insan-insan pendidikan yang melakukan ketidakjujuran dalam ujian nasional tidak pantas mendapatkan sebutan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” , mungkin lebih tepat akan mendapatkan sebutan “Pengkhianat Tak Tahu Balas Jasa” . . .
Tidak Setujukah ? Selamat menjawab . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar