Rabu, 02 November 2011

Dewan Pendidikan Nasional, Memperburuk Pencitraan Publik ?

Dewan Pendidikan Nasional, Memperburuk Pencitraan Publik ?
Oleh : Eri B Santosa
Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Sultra

Pada tahun anggaran 2011 salah satu Kegiatan Kemdiknas terkait dengan Dewan Pendidikan adalah Workshop Dewan Pendidikan. Acara Workshop Dewan Pendidikan ini dilaksanakan dalam empat region, yaitu: (1) Region Bali, dilaksanakan di Hotel Sanur Paradise Plaza, pada tanggal 22 – 25 Mei 2011, (2) Region Medan, dilaksanakan di Hotel JW. Mariot, pada tanggal 14 0 17 Juni 2011, (3) Region Makassar, dilaksanakan di Hotel Clarion & Convetion, pada tanggal 20 – 23 Juni 2011. Dalam acara Workshop Dewan Pendidikan tersebut, seluruh direktorat di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah telah dilibatkan untuk menyampaikan informasi tentang arah dan kebijakan pendidikan, serta program dan kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran 2011. Selain itu, Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal, Kementerian Pendidikan Nasional, juga dilibatkan secara aktif untuk melaksanakan sosialisasi PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan disempurnakan dengan PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan kepada ketua atau pengurus Dewan Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang jumlahnya mendekati angka 500 lembaga.
Dalam workshop tersebut juga diadakan sesi diskusi tentang berbagai masalah pendidikan, termasuk masalah Dewan Pendidikan, yang saat ini belum dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya secara optimal, karena salah satu penyebabnya adalah belum memperoleh dukungan dari pihak birokrasi di daerahnya masing-masing.
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dibentuk sebagai jawaban untuk lebih meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat seiring dengan terjadinya perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Tuntutan tersebut tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004. UU Nomor 20 Tahun 2000 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Butir-butir ketentuan yang penting di dalam Kepmendiknas tersebut akhirnya juga diakomodasi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Seiring dengan penertapan era otonomi, dalam dunia persekokolahan lahirlah paradigma MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang beranggapan bahwa peningkatan mutu dan relevansi pendidikan hanya dapat dicapai dengan demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan dimana masyarakat sebagai stake holder berperan penuh yang terwakili dalam bentuk lembaga yang bernama DP (Dewan Pendidikan) dan KS (Komite Sekolah).
Terkait dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2004 – 2009 menyebutkan tentang tonggak-tonggak kunci (key development milestones) keberhasilan pembangunan pendidikan dasar dan menengah, khususnya pada pilar peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik disebutkan bahwa: (1) 50% Dewan Pendidikan telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009, (2) Komite Sekolah telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009, dan (3) Dewan Pendidikan Nasional telah terbentuk pada tahun 2009. Pertanyaannya, apakah sampai saat Dewan Pendidikan Nasional telah terbentuk ?
Seperti telah diuraikan di atas Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai jawaban dari realitas perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 terdiri dari 4 pasal dan dua (2) lampiran. Lampiran 1 tentang Acuan Pembentukan DewanPendidikan dan Lampiran 2 tentang Acuan Pembentukan Komite Sekolah.
Dalam Pasal 1 Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 dinyatakan bahwa (1) Pada setiap kabupaten/kota dibentuk Dewan Pendidikan atas prakarsa masyarakat dan/atau pemerintah kabupaten/kota. (2) Pada setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan dibentuk Komite Sekolah atas prakarsa masyarakat, satuan pendidikan dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat menggunakan Acuan Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan II Keputusan ini.
Dalam Lampiran 1 Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Acuan Pembentukan DewanPendidikan pada bab Kedudukan & Sifat dinyatakan bahwa Dewan Pendidikan berkedudukan di kabupaten/kota; Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menjadi rujukan pembentukan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah, bukan untuk rujukan pembentukan Dewan Pendidikan Nasional.
Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003 perihal peran serta masyarakat dinyatakan melalui bab XV Peran serta masyarakat dalam pendidikan. Dalam pasal 54 dinyatakan bahwa (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 56 ayat (1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. (2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. (3) Komite sekolah/ madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidik-an. (4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Namun sampai implementasi Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2004 – 2009 Peraturan Pemerintah terkait dengan pembentukan Dewan Pendidikan nasional belum juga ada. Dari uraian di atas setidak-tidaknya argumen pembenar tidak tercapainya target dalam Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2004 – 2009 yang tersurat dalam tonggak-tonggak kunci (key development milestones) keberhasilan pembangunan pendidikan terkait dengan tidak terbentuknya Dewan Pendidikan Nasional dikarenakan ketiadaan rujukan pembentukan dapat dijadikan alasan pembenar.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa Workshop Dewan Pendidikan ini dilaksanakan dalam empat region salah satu pematerinya dari Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jenderal, Kementerian Pendidikan Nasional yang menyosialisasikan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan disempurnakan dengan PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut Dewan Pendidikan terdapat dalam pasal 192 sampai pasal 195. Secara eksplisit terkait dengan Dewan Pendidikan Nasional terdapat dalam pasal 193. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa Pasal 193 (1) Dewan Pendidikan Nasional berkedudukan di ibukota negara.
(2) Anggota Dewan Pendidikan Nasional ditetapkan oleh Menteri.(3) Anggota Dewan Pendidikan Nasional paling banyak berjumlah 15 (lima belas) orang.
(4) Menteri memilih dan menetapkan anggota Dewan Pendidikan Nasional atas dasar usulan dari panitia pemilihan anggota Dewan Pendidikan Nasional yang dibentuk oleh Menteri.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengusulkan kepada Menteri paling banyak 30 (tiga puluh) orang calon anggota Dewan Pendidikan Nasional setelah mendapatkan usulan dari: a. organisasi profesi pendidik; b. organisasi profesi lain; atau c. organisasi kemasyarakatan.
Dengan lahirnya PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan disempurnakan dengan PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan tidak ada alas an lagi untuk tidak terbentuknya Dewan Pendidikan Nasional. Karena pasal 193 sudah sangat rinci uraian tentang Dewan Pendidikan Nasional dan cara pemilihannya.
PP Nomor 17 Tahun 2010 yang disempurnakan dengan PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan merupakan penjabaran dari UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003. Mestinya peraturan pemerintah ini lahir paling lambat 8 Juli 2005, namun peraturan pemerintah ini ditetapkan oleh presiden pada tanggal 28 Januari 2010. Artinya apa ? Peraturan pemerintah ini terlambat hampir 5 tahun. Kalkulasi ini berdasarkan Pasal 75 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyatakan bahwa Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini.
Dalam Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2004 – 2009 terdapat Tiga Pilar Kebijakan Pendidikan yaitu Pemerataan dan perluasan akses pendidikan; Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan. Untuk pilar peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik salah satu targetnya adalah terbentuknya Dewan Pendidikan Nasional pada tahun 2009. Bagaimana kenyataannya ? Apapun alasannya, sampai saat ini Dewan Pendidikan Nasional belum terben-tuk. Dengan tidak terbentuknya Dewan Pendidikan Nasional alias kegagalan terbentuknya Dewan Pendidikan Nasional maka kalau boleh berpendapat bahwa harapan mengimplemen-tasikan pilar peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik guna pencitraan publik justru hasilnya sebaliknya. Tidaklah terlalu salah kalau ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa kegagalan pembentukan Dewan Pendidikan Nasional justru memperburuk pencitraaan publik terhadap kinerja jajaran Kementerian Pendidikan. Benarkah ?
Selamat menanggapi . . . .

Lembaga Pembina(saan) Widyaiswara

Lembaga Pembina(saan) Widyaiswara
Oleh : Eri B Santosa
Widyaiswara Madya LPMP Sultra

Tulisan pak Luthfi (Februari 4, 2008) yang profesinya sebagai Widyaiswara di Badan Diklat Jawa Tengah dalam tulisannya di dunia maya menulis sebagai berikut. Ada suatu topik yang hangat dibicarakan oleh para Widyaiswara di Kantor Badan Diklat Widyaiswara, yakni penghitungan angka kredit. Tulisan pak Luthfi tersebut terkait dengan keputusan hasil penghitungan angka kredit yang dikirimkan oleh LAN-RI, sebagai lembaga pembina para widyaiswara, kepada para widyaiswara senior (pangkat IV/c – IV/e). Hasilnya menunjukkan adanya pengetatan penilaian angka kredit yang dilakukan LAN hingga ada seorang widyaiswara yang telah memiliki angka kredit sebesar 830 (kurang 20 dari angka kredit yang dipersyaratkan bagi pangkat WI Utama dengan masa pensiun 65 tahun) tiba-tiba harus dikoreksi oleh LAN menjadi hanya 700 saja. Hal itu tentu saja menimbulkan syok bagi para WI yang memiliki angkat IV/c karena untuk mencapai angka kredit 850 akan begitu sulit. Bahkan salah seorang widyaiswara mutung dan memutuskan untuk mengambil formulir pensiun saja. Adalah sesuatu yang wajar dan sangat wajar ketika seorang widyaiswara mengalami “syok” kalau perolehan angka kredit yang merupakan kumpulan keringat bekerja seorang WI dibinasakan angka kreditnya sampai 120 kredit oleh lembaga Pembina widyaiswara.
Dari uraian di atas pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin capaian angka kredit yang tertuang dalam Penetapan Angka Kredit (PAK) dapat menyusut ?
Menurut info dari beberapa rekan sesama widyaiswara, pengurangan angka kredit juga terjadi belum lama ini. Kasusnya dimulai dari proses pengajuan angka kredit widyaiswara ke LAN dengan harapan ada kenaikan perolehan angka kredit dalam PAK nya. Namun apa yang terjadi ? Ternyata diantara rekan-rekan ada yang angka kreditnya justru berkurang. Menurut Permenegpan No 14 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya untuk 1 jam mengajar nilai angka kreditnya = 0,025. Artinya apa ? Kalau seorang WI mengajar 100 jam berarti angka kreditnya = 2,5. Sehingga kalau 120 angka kredit kalau dikonversikan ke jam mengajar 4800 jam. Sehingga wajar dan sangat wajar ketika seorang widyaiswara mengalami “syok”, minta formulir untuk pengajuan pensiun dan terbuka kemungkinan lantaran kecewanya maka melakukan bunuh diri.
Menurut PP No 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan, Lembaga Administrasi Negara adalah Instansi Pembina Diklat yang selanjutnya disebut Instansi Pem-bina yang secara fungsional bertanggung jawab atas pengaturan, koordinasi, dan penyelenggaraan Diklat.
Widyaiswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh Pejabat yang berwenang dengant tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada lembaga Diklat Pemerintah.
Diklat bertujuan: a. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; b. menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pembeda-yaan masyarakat; d. menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.

Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Widyaiswara dalam rangka pembinaan karier jabatan dan kepangkatannya;
Widyaiswara berkedudukan sebagai pejabat fungsional di bidang kediklatan pada
Lembaga Diklat Pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh PNS. Karena widyaiswara adalah pejabat fungsional maka kenaikan pangkatnya berdasarkan pada angka kredit. Pengertian Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Widyaiswara dalam rangka pembinaan karier jabatan dan kepangkatannya; Widyaiswara dalam melaksanakan tugasnya, bertanggung jawab kepada Pimpinan Lembaga Diklat Pemerintah yang bersangkutan. Tugas pokok Widyaiswara adalah mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada Lembaga Diklat Pemerintah masing-masing. Jenjang Jabatan Fungsional Widyaiswara adalah Widyaiswara Pertama (IIIa – IIIb); Widyaiswara Muda (IIIc – IIId); Widyaiswara Madya (IVa – IVc); Widyaiswara Utama (IVc – IVe); Secara berjenjang dari Golongan III a s/d golongan IV e komulatif angka kreditnya adalah : 100 (IIIa) – 150 – 200 – 300 – 400 (IVa) – 550 – 700 (IVc) – 850 - 1000 .
Kembali kemasalah di atas. Yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa LAN-RI, sebagai lembaga pembina para widyaiswara mengurangi angka kredit dari 830 menjadi 700 ? Mari kita telaah !
Tulisan pak Luthfi diatas di tulis Februari 2008, berarti masih merujuk pada Permenpan No : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya. Angka kredit 700 adalah setara dengan golongan IV c. Sehingga dugaan yang bersangkutan adalah seorang WI yang bergolongan IV c.

Dalam permenpan tersebut pada Pasal 15 dinyatakan bahwa (1) Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit Widyaiswara adalah sebagai berikut : a. Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk Widyaiswara Utama yang bekerja di lingkungan Instansi Pusat dan Daerah; b. Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk Widyaiswara Pertama sampai dengan Widyaiswara Madya di lingkungan tiap-tiap Instansi;
(2) Dalam menjalankan kewenangannya, pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh : a. Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Pusat bagi Kepala Lembaga Administrasi Negara, selanjutnya disebut Tim Penilai Pusat; b. Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Instansi bagi Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu, selanjutnya disebut Tim Penilai Instansi;
Dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa Usul penetapan angka kredit Widyaiswara diajukan oleh : a. Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota kepada Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk angka kredit Widyaiswara Utama; b. Pimpinan Lembaga Diklat atau pejabat yang membidangi kepegawaian serendah-rendahnya eselon II kepada Sekretaris Jenderal pada Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk angka kredit Widyaiswara Pertama sampai dengan Widyaiswara Madya di lingkungan tiap-tiap Instansi.
Dari pasal 15 dan 19 dapat secara tegas dinyatakan bahwa untuk kenaikan dari IV c (700 lebih) ke IV d (850) menjadi kewenangan LAN yang penilaiannya dilakukan oleh Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Pusat atau sebutannya Tim Penilai Pusat. Sedangkan untuk kenaikan dari III b (150 lebih) ke IV c (700) menjadi kewenangan Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang penilaiannya dilakukan Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Instansi bagi Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu, selanjutnya disebut Tim Penilai Instansi.
Pemikiran penulis kemungkinan kenaikan ke IVc merupakan hasil penilaian dari Tim Penilai Instansi dengan perolehan angka kredit sebanyak : 830. Pertanyaannya mengapa bisa turun menjadi angka kredit 700 ? Menurut hemat penulis turunnya ke angka kredit 700 kemungkinan berdasarkan pada pemikiran bahwa ybs berasal dari Badan Diklat Provinsi maka Tim Penilainya dari TPI yang mempunyai kewenangan kenaikan dari III b (150 lebih) ke IV c (700). Sehingga untuk dinilai di Tim Penilai pusat yang mempunyai kewenangan kenaikan dari IV c (700 lebih) ke IV d (850) maka yang masuk penilaian ke TPP dimulai dari angka kredit 700. Kalau toh asumsi pemikiran penulis itu benar, pertanyaannya, benarkah langkah dan keputusan tersebut berdasarkan aturan ?
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa tulisan pak Luthfi di tulis Februari 2008, berarti masih merujuk pada Permenpan No : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya dan juga dapat merujuk pada Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BAKN No 7 tahun 2005 No 17 tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya pasal 10 dinyatakan bahwa (1) Kenaikan pangkat bagi Widyaiswara dalam jenjang jabatan yang lebih tinggi dapat dipertimbangkan apabila kenaikan jabatannya telah ditetapkan oleh pejabat Pembina kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya. Kembali ke pertanyaannya di atas, benarkah langkah dan keputusan tersebut berdasarkan aturan ?
Bila merujuk pasal 10, seandainya kenaikan jabatannya telah ditetapkan oleh pejabat Pembina kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan PAK yang ditetapkan Tim penilai instansi.
Bila merujuk Pasal 11 bahwa Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih ti tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya, maka tidak ada alasan dan salah bahwa penilaian dari hasil Tim Penilai Instansi dipotong alias dikurangi karena pasal 11 secara tegas dinyatakan bahwa Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya.
Dengan berbesar hati, siapapun boleh untuk tidak sependapat, siapapun boleh tidak setuju, siapapun boleh mengatakan bahwa apa yang penulis pikirkan di atas salah. Sehingga tanggapan, kritikan, sanggahan atau apapun namanya akan penulis terima dengan hati terbuka & lapang dada.
Selamat . . . .

Lembaga Pembina(saan) Widyaiswara

Lembaga Pembina(saan) Widyaiswara
Oleh : Eri B Santosa
Widyaiswara Madya LPMP Sultra

Tulisan pak Luthfi (Februari 4, 2008) yang profesinya sebagai Widyaiswara di Badan Diklat Jawa Tengah dalam tulisannya di dunia maya menulis sebagai berikut. Ada suatu topik yang hangat dibicarakan oleh para Widyaiswara di Kantor Badan Diklat Widyaiswara, yakni penghitungan angka kredit. Tulisan pak Luthfi tersebut terkait dengan keputusan hasil penghitungan angka kredit yang dikirimkan oleh LAN-RI, sebagai lembaga pembina para widyaiswara, kepada para widyaiswara senior (pangkat IV/c – IV/e). Hasilnya menunjukkan adanya pengetatan penilaian angka kredit yang dilakukan LAN hingga ada seorang widyaiswara yang telah memiliki angka kredit sebesar 830 (kurang 20 dari angka kredit yang dipersyaratkan bagi pangkat WI Utama dengan masa pensiun 65 tahun) tiba-tiba harus dikoreksi oleh LAN menjadi hanya 700 saja. Hal itu tentu saja menimbulkan syok bagi para WI yang memiliki angkat IV/c karena untuk mencapai angka kredit 850 akan begitu sulit. Bahkan salah seorang widyaiswara mutung dan memutuskan untuk mengambil formulir pensiun saja. Adalah sesuatu yang wajar dan sangat wajar ketika seorang widyaiswara mengalami “syok” kalau perolehan angka kredit yang merupakan kumpulan keringat bekerja seorang WI dibinasakan angka kreditnya sampai 120 kredit oleh lembaga Pembina widyaiswara.
Dari uraian di atas pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin capaian angka kredit yang tertuang dalam Penetapan Angka Kredit (PAK) dapat menyusut ?
Menurut info dari beberapa rekan sesama widyaiswara, pengurangan angka kredit juga terjadi belum lama ini. Kasusnya dimulai dari proses pengajuan angka kredit widyaiswara ke LAN dengan harapan ada kenaikan perolehan angka kredit dalam PAK nya. Namun apa yang terjadi ? Ternyata diantara rekan-rekan ada yang angka kreditnya justru berkurang. Menurut Permenegpan No 14 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya untuk 1 jam mengajar nilai angka kreditnya = 0,025. Artinya apa ? Kalau seorang WI mengajar 100 jam berarti angka kreditnya = 2,5. Sehingga kalau 120 angka kredit kalau dikonversikan ke jam mengajar 4800 jam. Sehingga wajar dan sangat wajar ketika seorang widyaiswara mengalami “syok”, minta formulir untuk pengajuan pensiun dan terbuka kemungkinan lantaran kecewanya maka melakukan bunuh diri.
Menurut PP No 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan, Lembaga Administrasi Negara adalah Instansi Pembina Diklat yang selanjutnya disebut Instansi Pem-bina yang secara fungsional bertanggung jawab atas pengaturan, koordinasi, dan penyelenggaraan Diklat.
Widyaiswara adalah PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh Pejabat yang berwenang dengant tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada lembaga Diklat Pemerintah.
Diklat bertujuan: a. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; b. menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pembeda-yaan masyarakat; d. menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.

Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Widyaiswara dalam rangka pembinaan karier jabatan dan kepangkatannya;
Widyaiswara berkedudukan sebagai pejabat fungsional di bidang kediklatan pada
Lembaga Diklat Pemerintah yang hanya dapat diduduki oleh PNS. Karena widyaiswara adalah pejabat fungsional maka kenaikan pangkatnya berdasarkan pada angka kredit. Pengertian Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh Widyaiswara dalam rangka pembinaan karier jabatan dan kepangkatannya; Widyaiswara dalam melaksanakan tugasnya, bertanggung jawab kepada Pimpinan Lembaga Diklat Pemerintah yang bersangkutan. Tugas pokok Widyaiswara adalah mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS pada Lembaga Diklat Pemerintah masing-masing. Jenjang Jabatan Fungsional Widyaiswara adalah Widyaiswara Pertama (IIIa – IIIb); Widyaiswara Muda (IIIc – IIId); Widyaiswara Madya (IVa – IVc); Widyaiswara Utama (IVc – IVe); Secara berjenjang dari Golongan III a s/d golongan IV e komulatif angka kreditnya adalah : 100 (IIIa) – 150 – 200 – 300 – 400 (IVa) – 550 – 700 (IVc) – 850 - 1000 .
Kembali kemasalah di atas. Yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa LAN-RI, sebagai lembaga pembina para widyaiswara mengurangi angka kredit dari 830 menjadi 700 ? Mari kita telaah !
Tulisan pak Luthfi diatas di tulis Februari 2008, berarti masih merujuk pada Permenpan No : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya. Angka kredit 700 adalah setara dengan golongan IV c. Sehingga dugaan yang bersangkutan adalah seorang WI yang bergolongan IV c.

Dalam permenpan tersebut pada Pasal 15 dinyatakan bahwa (1) Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit Widyaiswara adalah sebagai berikut : a. Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk Widyaiswara Utama yang bekerja di lingkungan Instansi Pusat dan Daerah; b. Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk Widyaiswara Pertama sampai dengan Widyaiswara Madya di lingkungan tiap-tiap Instansi;
(2) Dalam menjalankan kewenangannya, pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh : a. Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Pusat bagi Kepala Lembaga Administrasi Negara, selanjutnya disebut Tim Penilai Pusat; b. Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Instansi bagi Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu, selanjutnya disebut Tim Penilai Instansi;
Dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa Usul penetapan angka kredit Widyaiswara diajukan oleh : a. Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota kepada Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk angka kredit Widyaiswara Utama; b. Pimpinan Lembaga Diklat atau pejabat yang membidangi kepegawaian serendah-rendahnya eselon II kepada Sekretaris Jenderal pada Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk angka kredit Widyaiswara Pertama sampai dengan Widyaiswara Madya di lingkungan tiap-tiap Instansi.
Dari pasal 15 dan 19 dapat secara tegas dinyatakan bahwa untuk kenaikan dari IV c (700 lebih) ke IV d (850) menjadi kewenangan LAN yang penilaiannya dilakukan oleh Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Pusat atau sebutannya Tim Penilai Pusat. Sedangkan untuk kenaikan dari III b (150 lebih) ke IV c (700) menjadi kewenangan Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu serta Sekretaris Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang penilaiannya dilakukan Tim Penilai Jabatan Widyaiswara Tingkat Instansi bagi Sekretaris Jenderal Departemen, Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kepala Badan Diklat atau Pejabat Eselon I lainnya yang setingkat dengan itu, selanjutnya disebut Tim Penilai Instansi.
Pemikiran penulis kemungkinan kenaikan ke IVc merupakan hasil penilaian dari Tim Penilai Instansi dengan perolehan angka kredit sebanyak : 830. Pertanyaannya mengapa bisa turun menjadi angka kredit 700 ? Menurut hemat penulis turunnya ke angka kredit 700 kemungkinan berdasarkan pada pemikiran bahwa ybs berasal dari Badan Diklat Provinsi maka Tim Penilainya dari TPI yang mempunyai kewenangan kenaikan dari III b (150 lebih) ke IV c (700). Sehingga untuk dinilai di Tim Penilai pusat yang mempunyai kewenangan kenaikan dari IV c (700 lebih) ke IV d (850) maka yang masuk penilaian ke TPP dimulai dari angka kredit 700. Kalau toh asumsi pemikiran penulis itu benar, pertanyaannya, benarkah langkah dan keputusan tersebut berdasarkan aturan ?
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa tulisan pak Luthfi di tulis Februari 2008, berarti masih merujuk pada Permenpan No : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya dan juga dapat merujuk pada Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BAKN No 7 tahun 2005 No 17 tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya pasal 10 dinyatakan bahwa (1) Kenaikan pangkat bagi Widyaiswara dalam jenjang jabatan yang lebih tinggi dapat dipertimbangkan apabila kenaikan jabatannya telah ditetapkan oleh pejabat Pembina kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya. Kembali ke pertanyaannya di atas, benarkah langkah dan keputusan tersebut berdasarkan aturan ?
Bila merujuk pasal 10, seandainya kenaikan jabatannya telah ditetapkan oleh pejabat Pembina kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan PAK yang ditetapkan Tim penilai instansi.
Bila merujuk Pasal 11 bahwa Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih ti tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya, maka tidak ada alasan dan salah bahwa penilaian dari hasil Tim Penilai Instansi dipotong alias dikurangi karena pasal 11 secara tegas dinyatakan bahwa Widyaiswara yang memiliki angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya.
Dengan berbesar hati, siapapun boleh untuk tidak sependapat, siapapun boleh tidak setuju, siapapun boleh mengatakan bahwa apa yang penulis pikirkan di atas salah. Sehingga tanggapan, kritikan, sanggahan atau apapun namanya akan penulis terima dengan hati terbuka & lapang dada.
Selamat . . . .