Kamis, 08 April 2010

Harapan Perubahan Paradigma Ditepi Bibir Kegagalan, Akankah ?
Oleh : Eri B Santosa
LPMP Cluster Development Coordinator Cluster 5 Bali
Managing Contractor Program Management (MCPM)
For The Australia-Indonesia Basic Education Program

Ada suatu pernyataan yang menarik dari Direktur Bindiklat ketika membe-rikan materi pada Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan pada hari Kamis 11 Juni 2009 di Hotel Aston Denpasar.
Dalam paparannya yang menggelitik adalah pelaksanaan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP ini dalam rangka perubahan paradigma berpikir sumber daya manusia di LPMP.
Apa yang dimaksud perubahan paradigma berpikir ?
Dalam khazanah ilmu social, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh para pemikir sosiologi. Di dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia kita bisa menemukan dalam kata “paradigm” artinya model pola, contoh.
Dalam buku The Structure of Scientific Revolution (1972), yang ditulis oleh Thomas Kuhn menyatakan bahwa paradigma adalah :
1. Paradigma berarti keseluruhan perangkat—‘konstelasi’— keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat.
2. Paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan sebagai model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara yang lain sebagai landasan bagi pemecahan atau teka-teki dalam ilmu pengetahuan normal.”
Menurut Thomas Khun, “paradigma baru” adalah siklus perubahan yang berlangsung dalam aras mode of thought, mode of inquiry and mode to actions (cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak).
Pergeseran paradigma dapat berlangsung secara sukarela, proaktif antisipatif melalui proses pembelajaran terus menerus dan dapat juga berlangsung secara terpaksa.
G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tantang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu.
Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat didalamnya.
Sedangkan menurut Guba, paradigma dalam ilmu pengetahuan mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia dalam keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Ada juga yang mendefinisikan bahwa pradigma adalah pola pikir dan pandangan seseorang yang terbentuk baik karena Bakat, Pengetahuan maupun karena Lingkungannya (Web HYF)
Karena Paradigma sangat tergantung dari pengalaman, bakat dan pengetahuan seseorang maka kemungkinan bahwa Paradigma seseorang salah atau kurang lengkap adalah sangat besar. Dan akibatnya tindakan seseorang yang didasari atas paradigma yang salah atau tidak lengkap tersebut, juga bisa salah atau kurang lengkap.
Dari batasan di atas, maka paradigma salah satunya sangat tergantung dengan ”pengetahuan”.

Kalau boleh mengatakan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan lahir dari metomorfosa BPG. Berdasarkan SK mendiknas No : 087/O/2003 tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Pendidikan dan SK mendiknas No : 044/O/2004 tentang Perincian Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Pendidikan. Lembaga dalam proses bebenah, lahirlah PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang didalamnya termuat tentang peran LPMP. Mengakomodir hal tersebut, lahirlah Permendiknas No 07 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dan SK mendiknas No : 049 tahun 2008 tentang Perincian Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan .
Untuk melihat kesiapan LPMP dalam melaksanakan tupoksi baru, Dit. Bindiklat melakukan kerjasama dengan AusAID Basic Education Project (AIBEP) pada tahun 2007 melaksanakan Review Kapasitas LPMP dan sosialisasi hasil (road show).
Hasil dari review kapasitas untuk LPMP beberapa diantaranya adalah :
• LPMP belum merencanakan secara luas tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang baru dan mereka masih menunggu penjelasan yang lebih detail dari Depdiknas mengenai model penjaminan mutu pendidikan;
• Tingkat pemahaman terhadap tupoksi baru di sebagian besar LPMP perlu ditingkatan serta persiapan staf perlu dilakukan di beberapa LPMP;
• Terdapat perbedaan yang berarti dan bervariasi antar LPMP dalam hal kesiapannya untuk menjalankan tupoksi baru;
• Pengembangan kapasitas staf sebaiknya difokuskan pada bidang:
o Konsep Quality Assurance
o Metodologi Quality Assurance
o Monitoring dan Evaluasi Pendidikan
o Manajemen dan pengembangan program
o Program pengembangan kerja sama
Tupoksi merupakan kependekan dari tugas pokok dan fungsi. Arti tugas pokok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 1215) adalah sasaran utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai, sedangkan fungsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 322) artinya adalah pekerjaan yang dilakukan. Dari arti di atas dapat diambil sebuah konsep bahwa tugas pokok dan fungsi (tupoksi) adalah sasaran utama atau pekerjaan yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai dan dilakukan. Dengan demikian, aparatur yang berwawasan tupoksi seyogyanya adalah pegawai negeri sipil yang melaksanakan pekerjaan yang dibebankan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Dalam kaitan ini, seorang aparatur harus benar-benar melaksanakan tugas pokok yang diamanahkan dengan konsep yang terarah serta kosentrasi yang tinggi.
Perubahan Tupoksi dari lembaga yang berorientasi kediklatan ke arah lembaga yang berorientasi pada penjaminan mutu menuntut pergeseran paradigma semua aparatur yang ada di LPMP.
Mengutip pendapat Werther dan Davis (1996) bahwa manajemen sumber daya manusia adalah usaha untuk meningkatkan produktifitas manusia di dalam suatu organisasi agar memberikan kontribusi secara etis dan sosial. Sedangkan Hadari Nawawi (1997) mengungkapkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah proses mendayagunakan manusia sebagai tenaga kerja secara manusia, agar potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan organisasi. Dari dua definisi di atas, jelas aparatur merupakan bagian dari pelaksana untuk melakukan tugas-tugas organisasi.
Setiap aparatur kemampuan skill dan manajerial mesti selalu dikembangkan. Pengembangan skil dan manajerial tersebut sering diistilahkan dengan pengembangan manajemen sumber daya manusia (MSDM). Jadi sangatlah tepat kalau langkah yang dibuat adalah Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan.
Pengembangan kapasitas LPMP meliputi :
- Pengembangan sumberdaya manusia – pengetahuan, keterampilan, pemahaman, akses informasi, pelatihan/training
- Pengembangan organisasi – struktur, proces, prosedur, hubungan
- Pengembangan kelembagaan – visi, misi, tujuan, kebijakan, regulasi, rencana.
Pengembangan kapasitas ini dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan bekerjasama dengan MCPM-AusAID menyelenggarakan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan di lima klaster dan diselenggarakan di kota dimana Ketua Klaster berada, yaitu Klaster 1 di Jakarta (LPMP DKI), Klaster 2 di Bandung (LPMP Jabar), Klaster 3 di Semarang (LPMP Jateng), Klaster 5 di Denpasar (LPMP Bali), dan Klaster 4 di Makasar (LPMP Sulsel). Peserta dari kegiatan ini adalah 10 orang, yaitu Kelas LM yang terdiri dari para kepala (5 orang) & Kelas QA yang terdiri dari 5 orang staf & WI.
Kegiatan dilaksanakan dalam 2 putaran, yaitu untuk putaran 1 antara bulan maret – april 2009. Dan putaran 2 dilaksanakan antara bulan Mei & Juni 2009. Setiap putaran diakhiri dengan Tugas Pengembangan yang dijabarkan dalam Rencana Aksi Putaran 1 & Rencana aksi Putaran 2. Rencana aksi putaran 1 untuk Tim LM mendapatkan 3 tugas pengembangan, Tim QA mendapatkan 5 tugas pengembangan yang diselesaikan selama 7 – 8 minggu.
Strategi penyelesaian tugas kesannya dilaksanakan secara variatif. Ada yang tugas tersebut dibagi-bagi pada tiap-tiap personel yang berangkat pada waktu pelaksanaan lokakarya. Ada yang tugasnya dilaksanakan dengan mengadakan pertemuan untuk membahasnya. Ada juga yang wayangan, artinya dikebut dalam beberapa hari menjelang pelaksanaan Putaran 2.
Ada suatu data yang menarik, bahwa ada beberapa lembaga yang tidak kontinu melaksanakan pertemuan karena keterbatasan waktu. Hal ini cukup dapat dimaklumi, karena beban pekerjaan LPMP yang cukup tinggi.
Kejadian ini cukup menggelitik, karena dengan keterbatasan waktu yang disebabkan beban kerja saja mengakibatkan daya serap kegiatan belum menggembirakan, apalagi kalau waktu masih tersita untuk membahas bersama untuk materi Pengembangan kapasitas. Bagaimana ini ? Bagaimana pak Mardin (CC Klaster 4) ? Dalam pernyataannya yang baru lalu, saya yakin pak Mardin tidak setuju dengan hal ini, menurut beliau, semuanya “tinggal manajemen waktu”. Betul pak Mardin ? Atau salah ?
Pesan dari Direktur Bindiklat yang menyatakan bahwa pelaksanaan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan ini dalam rangka perubahan paradigma berpikir sumber daya manusia di LPMP harus kita renungkan bersama. Untuk itu harus ada kesadaran bahwa Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan ini bukan hanya menjadi milik para peserta yang mengikutinya. Hal ini akan lebih baik kalau secara berproses dalam pengerjaan tugas. Memang berat . . . , siapapun akan cenderung mengatakan berat. Apalagi ditengah realita dibeberapa LPMP menunjukkan bahwa daya serap kegiatan dibandingkan dengan perjalanan waktu, prosentasenya belum menggembirakan. Namun, ternyata ada LPMP-LPMP yang mampu melakukan itu. Ini bukan untuk membandingkan, ini bukan untuk mengecilkan sebuah arti, dan ini bukan untuk menggurui. Sekali lagi bukan. Tetapi hal itu adalah suatu fenomena yang terjadi.
Kalau boleh memaknai lebih jauh, Tugas Pengembangan secara filosofis dapat dimaknai bukan hanya terselesaikannya tugas (walaupun ini uga penting), namun Tugas Pengembangan dapat juga dimaknai dalam penyelesaian tugas akan melibatkan orang yang lebih banyak lagi. Walaupun mungkin ada yang berpendapat bahwa bukankah nanti juga akan dilaksanakan IHT ? Bukankah kalau prosesnya melibatkan orang yang lebih banyak, ditambah lagi dengan diselenggarakan IHT, secara jumlah akan lebih banyak ? Sehingga secara kuantitatif akan lebih baik. Dan muaranya keterpahaman aparatut terhadap “pengetahuan” dari materi Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan akan lebih banyak & lebih baik. Dan kolektifitas ini akan mampu merubah paradigma berpikir seperti apa yang diharapkan dari Direktur Bindiklat. Akan merubah pola pikir aparatur LPMP terhadap Tupoksi yang baru.
Merujuk pernyataan David Osborne & Ted Geabler bahwa pemerintah perlu melakukan perubahan, salah satunya bahwa sistem-sistem dalam pemerintahan tidak cukup efektif membentuk kompetensi & kualitas SDM yang handal, sebaliknya sistem dalam pemerintahan telah membentuk para birokrat kurang responsif, lamban, berorientasi pada status quo, korup dan sebagainya sehingga sistem-sistem yang ada dalam pemerintahan harus berubah.
Prof Dr Maswardi Rauf salah satu kendala untuk mewujudkan Good Governence (Kepemerintahan yang baik) adalah jabatan-jabatan strategis masih dijabat oleh orang-orang status quo.
Saya yakin seyakin-yakinnya, apa yang dinyatakan oleh David Osborne & Ted Geabler serta Prof Dr Maswardi Rauf tidak berlaku bagi para kepala LPMP di Indonesia. Dan saya yakin seyakin-yakinnya para kepala LPMP akan menggerakkan pertemuan-pertemuan dalam bentuk pengerjaan tugas pengembangan secara kelompok maupun mengadakan deseminasi-deseminasi. Semuanya terletak pada organ tubuh yang namanya bibir.
Keyakinan saya yang seyakin-yakinnya diatas, waktu yang akan membuktikan. Kalau keyakinan saya itu terjadi, saya yakin apa yang dinyatakan Direktur Bindiklat atau yang menjadi harapan dari pelaksanaan kegiatan ini bahwa terjadi perubahan paradigma. Tetapi kalau kepedulian tidak ada, menganggap bahwa hal ini bukan kepentingan LPMP, menganggap bahwa saya lebih segalanya dari pada lu. Terserah lu . . . . dan yang disenandungkan adalah lagunya Maia Estianti, Emang Gue Pikirin. Mungkin saya salah, tetapi keyakinan saya adalah perubahan Paradigma berpikir karena perubahan Tupoksi akan sulit diwujudkan dan Harapan Perubahan Paradigma Ditepi Bibir Kegagalan. Akankah ?
Selamat menjawab & menanggapi . . . .
ALTERNATIF PEMIKIRAN
MENELAAH PEMIKIRAN PAK JOHN
Oleh : Eri B Santosa

Sebelum melanjutkan tulisan saya yang berjudul : “Menelaah Pemikiran Pak John” ijinkan saya untuk mengatakan bahwa apa yang saya tulis ini saya yakini benar, namun saya menyadari bahwa yang saya pikirkan benar belum tentu menurut orang lain benar. Untuk itu kepada siapa saja yang akan menanggapi (termasuk pak John), dipersilahkan untuk menyalahkan dan atau akan mengoreksi pemikiran ini, dengan ketulusan hati sebelumnya saya mengucapkan terima kasih. Bila hal itu terjadi maka, Bapak/Ibu termasuk orang yang berjasa dalam hidup saya, karena bapak /ibu mampu meyakinkan saya untuk membelokkan pemikiran saya yang selama ini saya yakini benar ternyata salah. Apa lagi saya juga menyadari, banyak diantara teman-teman yang secara akademis sudah sampai pada level Doktor dan bahkan ada yang sudah profesor. Bila mengingat level itu perasaan ini memang terasa kecil, namun ijinkan saya untuk memperbesar semangat, memperbesar keberanian, memperkecil kemaluan (eh . . . yang benar apa ya ? Yang saya maksudkan adalah rasa malu”) dan menjelajah pemikiran yang saya ekspresikan dalam tulisan yang sekaligus juga merupakan hobi yang selama ini saya tekuni.
Sengaja judul yang penulis ambil adalah : “Menelaah Pemikiran Pak John”.
Dalam Yahoo.answer, definisi pemikiran adalah apa yang diusahakan oleh seseorang untuk mengeluarkan suatu gagasan atau ide kepada khalayak ramai. Siapa pak John ? Pak John adalah seorang konsultan internasional yang menangani perumusan konsep dasar Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan (SPPMP) Tingkat Dasar dan Menengah atau Educational Quality Assurance and Improvement System (EQAIS). Terkait dengan konsep EQAIS, secara kelembagaan implementasi EQAIS lebih difokuskan pada Pengembangan kapasitas (Capacity Building) LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan).
Pengembangan kapasitas LPMP meliputi :
- Pengembangan sumber daya manusia – pengetahuan, keterampilan, pemahaman, akses informasi, pelatihan/training
- Pengembangan organisasi – struktur, proces, prosedur, hubungan
- Pengembangan kelembagaan – visi, misi, tujuan, kebijakan, regulasi, rencana.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menelaah mempunyai makna mempelajari. Kesimpulannya makna judul tulisan ini adalah mempelajari apa yang diusahakan oleh Pak John (Konsultan Internasional) untuk mengeluarkan suatu gagasan atau ide terkait dengan pengembangan kapasitas LPMP. Apa yang ditelaah ? Yang ditelaah adalah kegiatan putaran 3. Kegiatan ini diawali dengan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan yang dilaksanakan dalam 2 putaran. Diujung pertemuan pada Putaran 1 dan putaran ke 2 dijelaskan tentang Format Rencana Aksi 1 dan Format Rencana Aksi 2 yang muaranya pada penyelesaian tugas pengembangan 1 dan tugas pengembangan 2.
Untuk kegiatan putaran 3 ini tidak diawali dengan pertemuan seperti putaran 1 dan putaran 2. Kegiatan putaran 3 ini diawali dengan diterbitkannya 4 buku pedoman, yaitu : 1. Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM; 2. Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI ; 3. Pedoman Pembentukan Tim Pengembangan Kapasitas External; dan 4. Pedoman Forum Pembelajaran Klaster (FPK) LPMP/BDK.
Yang disusul dengan Pedoman Untuk Dukungan/Masukkan Pada LPMP/BDK Oleh CC, Tim Teknis Bindiklat, NTA & ITA MCPM Putaran 3.
Tulisan ini akan mencoba menelaah & menerka-nerka, ada apa dibalik pemikiran pak John terkait dengan pedoman 1 – 4 ? Muara akhir apa yang sebenarnya diinginkan pak John pada putaran 3 ini ?
Sebelum saya menelaah lebih jauh kearah seperti yang ditulis di atas, ijinkan saya menyampaikan 3 fenomena yang menarik pasca pelaksananaan putaran 2 yaitu :
1. Ada suatu pernyataan yang menarik dari salah seorang personel ketika saya
mengadakan kunjungan ke salah satu LPMP. Intinya Pernyataan tersebut adalah ....... kalau LPMP dibubarkan tidak akan berpengaruh pada dunia pendidikan .... Kira-kira inti pernyataan yang saya tangkap seperti itu. Pernyataan yang lain adalah, ...... kalau salah satu seksi, misalnya seksi data dibubarkan tidak akan mempunyai pengaruh apa-apa di dalam lembaga ini. Kata-kata itulah yang sangat terkenang dan terngiang di dalam lubuk pikiran saya.
2. Ketika menanggapi emailnya pak Nurhasan (CC 1) tentang rencana putaran
melalui Yahoo Grup SPPMP ada tanggapan yang menarik dari Prof Zaim (Ka
LPMP Sumbar), yaitu tentang no 1, 3 dan 4, yang isinya sbb :
1) Dana yang ada di LPMP sangat terbatas, yaitu hanya untuk 2 kegiatan
CB. Satu kegiatan untuk Internal CB dan satu kegiatan lainnya untuk
eksternal CB, yang masing-masingnya hanya bisa melibatkan 40
orang. Sementara semua warga LPMP ada 110 orang. bagaimana
jalan keluarnya?
2) Rapat koordinasi yang dimaksudkan pada jadwal kegiatan workshop ini antara siapa dengan siapa? Dananya dari mana? Siapa yang melaksanakan? Demikian juga dengan Evaluasi workshop I, II, dan III.
3) Apakah perlu ada revisi anggaran? Ini tentu akan memerlukan waktu yang lama.
3. Ada suatu info yang menarik dari salah satu LPMP yang sedang
mengadakan Capacity Building Internal. Info itu adalah penyelenggaraan Workshop tersebut tidak ada panduan, tidak ada handout, jadwal cuma 1 lembar. Yang hadir dari 35 hanya 16 orang. Jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural, dst.
Fenomena ke – 3 adalah tindak lanjut dari putaran 1 dan 2 dan merupakan implementasi dari putaran 3. Seakan tak percaya bila suatu lembaga yang bernama Lembaga Penja-minan Mutu Pendidikan yang merupakan perubahan dari Balai Penataran Guru menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar. Bagaimana mungkin, lembaga yang bernama Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan ketika menyelenggarakan kegiatan untuk dirinya sendiri kenyataannya ”tidak bermutu” ? Apa yang dapat dibanggakan bagi LPMP yang menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar ?
Bagaimana mungkin, kalau perilaku LPMP yang semacam itu mampu menciptakan ”Best Practise ?”
Merujuk tulisan diatas yang menyatakan bahwa ....... “kalau LPMP dibubarkan tidak akan berpengaruh pada dunia pendidikan” .... maka, untuk LPMP yang berperilaku menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk dibubarkan . Mungkin pemikiran ini terlalu ekstreem. Tapi mohon coba dibayangkan, suatu lembaga yang menyedot anggaran tiap tahun yang tidak kecil. Mempunyai nama yang agung yaitu Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Dari namanya, orang awam yang tidak mema-hami Permendiknas 07/2007 pasti akan terbangun image bahwa lembaga yang namanya ada mutunya pasti bermutu. Merujuk pada kultur Jawa (atau mungkin bahkan kultur Indonesia) ketika memberikan nama pada anaknya terbersit suatu harapan. Analog pemikiran saya, begitupun pemerintah. Ketika pemerintah memberikan nama Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan harapannya adalah lembaga tersebut mampu melakukan penjaminan mutu pendidikan. Sebelum melakukan penjaminan mutu pendidikan pada pihak lain, tentu saja sudah seharusnya dan sepantasnya melakukan penjaminan mutu untuk dirinya sendiri atau dengan kata lain melakukan penjaminan mutu pada kegiatan yang akan dimanfaatkan untuk dirinya sendiri. Makanya, pada waktu berakhirnya putaran 2, pak John memberikan gelas yang bertuliskan "Quality is Every Body’s Bussiness". Lalu terbersit suatu pertanyaan, kalau melaksana-kan untuk dirinya sendiri saja tidak bermutu, apa lagi untuk orang lain ? Berdasarkan uraian diatas, saya tetap mengatakan bahwa kalau ada LPMP yang berperilaku menyelenggarakan Workshop untuk dirinya sendiri tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar sudah sepantasnya dan sepatutnya untuk dibubarkan. Atau mungkin ada yang berpendapat lain ?
Ada kemungkinan bahwa kejadian di atas (fenomena 3) terkait dengan dana (fenomena 2). Ada kemungkinan ketiadaan dana dalam Dipa membuat Workshop (Capacity Building Internal) diselengarakan tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar, Yang hadir dari 35 hanya 16 orang. Jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural, dan terkesan penyelenggaraan-nya asal-asalan.
Sebelum mengulas lebih jauh ijinkan saya menyampaikan persepsi saya tentang LPMP. Saya kerja di LPMP mulai tahun 2005. Sebelumnya pernah berprofesi sebagai guru selama 20 tahun dengan Jabatan Fungsional Guru Utama Muda (Angka Kredit : 832,5), Pembina Utama Muda/IVc. Kepindahan ke LPMP karena suatu anugerah, setelah di Nonjob sebagai kepala sekolah yang diemban selama 8 tahun.
Kesan saya kerja di LPMP (walaupun hal ini tidak dapat disama ratakan untuk semua LPMP), sistem kerjanya dibangun terlalu berorientasi pada Dipa sehingga membentuk sikap dan perilaku Dipa minded . Dipa minded selalu berargumentasi bahwa ketika suatu kegiatan yang tidak ditunjang oleh DIPA, maka kegiatan tersebut tidak bisa jalan. Orientasi Dipa minded ini nampak pada program-tahunan di seksi teknis. Nyaris, program tahunan yang dibuat di seksi teknis merupakan penjabaran dari dalam Dipa. Sementara, kegiatan dalam Dipa hanya dapat mengakomo-dir sebagian pegawai. Kondisi ini, disadari atau tidak melahirkan kecemburuan antara staf yang di seksi teknis dan staf yang di subag umum.
Ada suatu fenomena, bahwa program tahunan yang dibuat di seksi teknis yang merupakan penjabaran dari dalam Dipa aktifitasnya tidak setiap hari, dan tidak semua staf diseksi tersebut dapat terlibat. Kondisi ini membuat ketika ada kegiatan yang ditopang oleh Dipa ada sebagian staf yang terlibat dan sebagian staf tidak mempunyai aktifitas. Untuk mengisi waktu tiap orang mempunyai ekspresi bermacam-macam, ada yang main game di komputer, kalau internet lancar ada yang chatting, ada yang ngrumpi, ada yang keluar ngobyek, pendek kata . . . . “bermacam-macam aktifitas”...... Artinya apa ? Kondisi menciptakan “pengangguran terselubung” pada jam-jam kerja.
Hal yang sama juga terjadi bagi staf di seksi teknis pada waktu-waktu yang tidak ada kegiatan yang ditopang oleh DIPA. Kasusnya cenderung sama, mereka akan mengisi waktu tiap orang mempunyai ekspresi bermacam-macam, ada yang main game di komputer, kalau internet lancar ada yang chatting, ada yang ngrumpi, ada yang keluar ngobyek, pendek kata . . . . “bermacam-macam aktifitas”...... Artinya apa ? Kondisi menciptakan “pengangguran terselubung” pada jam-jam kerja.
Sistem yang dibangun yang akhirnya bermuara pada DIPA minded menghasilkan kebiasaan yang terlalu berorientasi pada “uang” alias “materi”. Kalau boleh mengatakan, sistem yang dibangun bertahun-tahun ini melahirkan budaya kerja atau kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi”. Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang kultur kerja yang berorientasi pada “uang” alias “materi” akan miskin dengan improvisasi, akan miskin inovasi, akan melunturkan idealisme, mematikan semangat dan cenderung akan mustahil melahirkan “best practices”. Padahal menurut hemat saya peningkatan akan diraih melalui ada-nya inovasi atau improvisasi, sehingga terjadi perubahan mu-aranya pada suatu pertumbuhan.
Suatu pertanyaan, apa yang bisa diharapkan pada suatu lembaga yang semangatnya mati & idealismenya tidak ada ? Justru tidak menutup kemung-kinan lembaga yang seperti ini bila ada kegiatan yang ditopang oleh DIPA ada kecenderungan pelaksanaan dilakukan dengan asal-asalan, apa adanya, dan formalitas saja.
Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang kultur kerja yang berori-entasi pada “uang” alias “materi” akan mempengaruhi kohesitas lintas seksi. Tiap-tiap seksi akan berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya kegiatan dalam DIPA berdasarkan Tupoksi yang ada. Tiap-tiap seksi, dengan argumen-tasinya masing-masing dibangun untuk meyakinkan pihak lain yang kesannya berkecenderungan memperebutkan judul-judul kegiatan yang kadang masih buram (secara eksplisit kurang jelas kegiatan itu masuk tupoksi seksi yang mana). Ada suatu kemungkinan, untuk LPMP-LPMP tertentu, hal ini merupakan kejadian rutin diawal turunnya Dipa.
Menurut hemat saya, dalam suatu lembaga yang DIPA minded tidak menganggap bahwa gaji dan uang lauk pauk itu merupakan hak yang harus melaksanakan kewajiban melakukan pekerjaan-pekerjaan di kantor.
Mestinya mindset itu harus dirubah dengan suatu bangunan sistem kerja yang lebih menghargai gaji dan uang lauk pauk. Sistem kerja yang menyadar-kan bahwa gaji dan uang lauk pauk itu merupakan hak dan konsekwensinya harus melaksanakan kewajiban untuk mengerjakan sesuatu yang positif dan bermanfaat di kantor pada jam-jam kantor.
Seperti saya uraikan di atas, bahwa ada kemungkinan ketiadaan dana dalam Dipa pada LPMP tertentu membuat Workshop (Capacity Building Internal) diselengarakan tanpa panduan, tanpa handout, jadwal cuma 1 lembar, Yang hadir dari 35 hanya 16 orang, jadwal waktu tidak dipatuhi, tidak ada ground rules, tidak ada koordinasi antar seksi, WI dan struktural.
Kembali pada judul tulisan ini. Seperti telah saya uraikan diatas bahwa tulisan ini akan mencoba menelaah & menerka-nerka, ada apa dibalik pemikiran pak John terkait dengan pedoman 1 – 4 ? Muara akhir apa yang sebenarnya diinginkan pak John pada putaran 3 ini ? Apakah sesuai dengan Buku Pedoman II tentang Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI muaranya pada suatu Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI yang pelaksanaannya tanpa panduan, tanpa handout, dan jadwal hanya 1 lembar ?
Buku Pedoman 1, yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM. Buku Pedoman II yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI, Buku Pedoman III yang berjudul Pembentukan Tim Pengembangan Kapasitas Eksternal QA/QI dan Buku IV yang berjudul Forum Pembelajaran Klaster (Cluster Learning Circles = CLC).
Dari uraian Buku Pedoman 1, yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk LM, ada 2 hal yang menarik, yaitu :
1. Bab (A) alinea (1) & (2), yang kutipannya demikian :
Disamping upaya pemberdayaan yang sifatnya teknis, lebih penting lagi adalah merubah pola pikir (mind set) semua pihak yang terlibat dalam penerapan SPMP. Bagaimana menumbuhkan budaya peduli mutu melalui semangat peningkatan mutu yang berkelanjutan (quality continuous improvement) dan dengan semboyan: “ mutu adalah tanggung jawab setiap orang” ( quality is every one’s business). Dari banyak instansi yang terkait dengan implementasi SPMP di tingkat provinsi adalah Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP/BDK). Oleh karena itu, Pucuk Pimpinan LPMP/BDK dan pejabat structural didalamnya harus memahami “ruh”nya SPMP, mempunyai pengetahuan dan ketrampilan Leadership dan Managemen untuk menggerakan seluruh stafnya dan bersama pemangku kepentingan di luar LPMP/BDK yang terkait melakukan penjaminan mutu pendidikan tingkat dasar dan menengah.
Fakta lapangan menunjukan bahwa kondisi di LPMP/BDK saat ini masih belum sepenuhnya seperti yang digambarkan di atas. Oleh karena itu, kepada LPMP/BDK perlu dilakukan penguatan atau Pengembangan Kapasitas dalam aspek Leadership dan Manajemen khususnya bagi pejabat structural (Kepala LPMP/BDK, Kasubag, Kasi, dan Koordinator Widyaiswara) sehingga lembaga ini mempunyai comitmen dan mampu mengemban tugas utamanya yaitu bersama pemerintah daerah dan pemangku kepentingan yang relevan mengawal jalannya penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan di tingkat provinsinya masing-masing.
2. Bab (I) alinea (1) & (2) yang kutipannya demikian :
Aktivitas kegiatan lebih menekankan pada diskusi dan kerja kelompok, serta presentasi kasus-kasus nyata dari lapangan berkenaan dengan implementasi mutu pendidikan yang terkait dengan tupoksi LPMP/BDK dan pemangku kepentingan. Kegiatan ini perlu dikomunikasikan dengan Koordinator Klaster masing-masing LPMP/BDK dan Koordinator Program (Dra. Renny Yunus, MM).
Selain melakukan pertemuan kegiatan secara formal, tindak lanjut dapat dilakukan dalam bentuk on the job training dengan melakukan mentoring dan coaching oleh Tim internal LPMP/BDK. Kegiatan ini perlu dilanjutkan dan diprogramkan dalam kegiatan klaster (quality circle) di dalam dan/atau di antara unit kerja dalam LPMP/BDK.
Dari uraian Buku Pedoman II yang berjudul Pedoman Pengembangan Kapasitas Internal LPMP untuk QA-QI, yang menarik, yaitu :
Bab (I) alinea (2) & (3), yang kutipannya demikian :
Setelah melakukan workshop secara formal, dilakukan pula on the job training dengan melakukan mentoring dan coaching dari Tim LM dan Tim QA internal LPMP/BDK.
Selanjutnya membentuk quality circle di antara unit kerja dalam LPMP/BDK untuk melaksanakan program kerja, dan melakukan kajian atau evaluasi pelaksanaan program.
Dari uraian Buku Buku IV yang berjudul Forum Pembelajaran Klaster, yang menarik, yaitu :
Bab (A) alinea , yang kutipannya demikian :
Sementara dalam upaya meningkatkan kapasitas diri masing-masing LPMP/BDK maupun melakukan kemitraan dengan pemangku kepentingan tentu banyak mengalami kendala baik secara konseptual maupun operasinal, untuk itu perlu dibuat forum pertemuan antara beberapa LPMP/BDK dalam klaster guna saling berbagi infomasi pengalaman baik (best practices) maupun pelajaran yang berharga (lesson learned) sehingga secara bersama-sama LPMP dapat berkembang lebih cepat dalam melakukan pengembangan kapasitas baik secara internal untuk staf LPMP sendiri maupun secara eksternal terhadap kabupaten/kota, propinsi dan pihak lainya yang terkait dalam melakukan penjaminan mutu pendidikan di tingkat dasar dan menengah.
Dari ketiga buku pedoman yaitu buku I, II & IV, menurut hemat penulis Muara akhir yang diinginkan pak John adalah LPMP/BDK menerapkan organisasi pembelajar (Learning Organization).
Konsep learning organization pertama kali menjadi istilah yang populer setelah Peter Senge melontarkan gagasannya dalam bukunya “The Fifth Discipline”.
Beardwell dan Holden (2001) memberikan definisi yang lebih luas mengenai organisasi belajar, yaitu organisasi yang memfasilitasikan pembelajaran bagi seluruh anggotanya dan mentransformasikan secara sadar dalam konteks organisasi. Adapun maksud dan tujuan penggunaan proses belajar baik individual, kelompok maupun organisasional, adalah mentransformasikan organisasi untuk memenuhi kepuasan stakeholder.
Menurut Pedler, Boydell dan Burgoyne dalam (Dale, 2003) mendefinisikan bahwa organisasi pembelajaran adalah “Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfor-masikan diri”.
Menurut Lundberg (Dale, 2003) pembelajaran adalah “suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan penge-tahuan serta aplikasinya”.
Menurut Sandra Kerka (1995) yang paling konseptual dari learning organization adalah asumsi bahwa ‘belajar itu penting’, berkelanjutan, dan lebih efektif ketika dibagikan dan bahwa setiap pengalaman adalah suatu kesempatan untuk bela-jar.
Peter Senge menekankan pentingnya dialog dalam organisasi, khususnya dengan memperhatikan pada disiplin belajar tim (team learning). Peter Senge dalam karyanya yang terkenal memberi definisi Learning Organization sebagai “…organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together.” Ada beberapa kata kunci di sana yakni:
1. Senantiasa meningkatkan kemampuan dan kapasitas
2. Pemikiran baru dan luas diberi kesempatan tumbuh
3. Aspirasi bersama diberi kebebasan berkembang
4. Orang-orang yang terus menerus belajar
Peran organisasi adalah memberikan fasilitasi atau dukungan kepada seluruh anggotanya terkait proses pembelajaran sehingga orang-orang di dalam organisasi tersebut maupun organisasi itu sendiri dapat terus bertransformasi ke arah yang lebih baik secara kontinyu, terus menerus.
Dalam bukunya, Peter Senge mendeskripsikan bahwa dalam sebuah learning organization, maka pemimpin mendorong organisasinya untuk selalu meningkatkan kapasitas yang mereka miliki secara kontinu, demi memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam learning organization, maka terciptalah pemikiran baru yang menjadikan organisasi tersebut belajar secara terus menerus.
Watkins dan Marsick mengungkapkan karakteristik pada learning organization dimana proses learning terjadi pada individual, tim, organisasi hingga komunitas yang melakukan interaksi dengan organisasi. Learning adalah sebuah proses strategis yang kontinu, dan berintegrasi dengan pekerjaan. Hasil dari learning adalah perubahan dalam hal knowledge, belief, dan behavior. Learning juga meningkatkan kapasitas organisasi dalam melakukan inovasi dan pertumbuhan. Organisasi ini memiliki system yang mengedepankan learning.
Learning merupakan satu proses fundamental yang relevan bagi banyak aspek dari perilaku organisasi. Learning merupakan satu perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Pembelajaran menurut Argyris (1982) adalah suatu lingkaran aktivitas di mana seseorang menemukan suatu masalah (discovery), mencoba menemukan solusi atasnya (invention), menghasilkan atau melaksanakan solusi itu (production), dan mengevaluasi hasil yang diperoleh yang mengantarnya pada masalah-masalah baru (evaluation). Aktivitas-aktivitas ini disebut sebagai lingkaran pembejaran.
Konsep organisasi belajar diperlukan untuk mengimplementasikan organisasi belajar untuk mengembangkan kapabilitas individual dan organisasional, serta mengubah paradigma dari “person – job fit” menjadi “person – organization job”.
Dalam hal ini, termasuk peran dan tanggungjawab pemimpin untuk mendukung keberhasilan organisasi belajar, sehingga organisasi belajar diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi manajemen dan organisasi secara menyeluruh.
Berdasarkan hasil penelitian Tjakraatmaja (2002) dihasilkan temuan bahwa untuk membangun learning organization dibutuhkan tiga pilar yang saling mendukung, yaitu
1. Pembelajaran Individual (individual learning),
2. Jalur Transformasi Pengetahuan.
3. Pembelajaran Organisasional (organizational learning).
Proses pembelajaran diawali dengan individual learning untuk memahami potensi diri, yang merupakan proses akumulasi pengetahuan individu untuk menghasilkan keahlian/kemahiran pribadi (personel mastery). Individual learning didapatkan melalui pendidikan, pelatihan, dan kesempatan berkembang yang membuat individu tumbuh. Pilar transformasi pengetahuan berfungsi sebagai alat untuk munculnya proses transformasi pengetahuan (kompetensi) melalui proses berbagi pengetahuan di antara anggota-anggota organisasi. Pilar organizational learning adalah suatu pilar untuk menghasilkan intellectual capital yang mampu memberikan value added bagi organisasi.
Organizational learning dapat dikatakan sebagai suatu wadah untuk membangun kelompok manusia yang memiliki kompetensi yang beragam dan mampu melaksanakan kerjasama, sehingga mampu untuk berbagi visi, knowledge, untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi intellectual capital. Pembelajaran organisasi dicapai melalui riset dan pengembangan, evaluasi dan perbaikan siklus, ide dan input dari karyawan dan pelanggan, berbagai praktik terbaik dan benchmark
Kalau boleh mengatakan, harapan pak John adalah ditumbuhkannya semangat belajar dan terlebih lagi budaya belajar, yang sangat penting dimiliki oleh individu-individu dalam sebuah organisasi sehingga menjadi organisasi pembelajar (Learning Organization). Hal ini hanya bisa terjadi ketika individu dalam organiasi menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab atas proses belajarnya. Mereka menjadi orang-orang yang belajar bukan karena semata-mata adanya topangan anggaran dalam DIPA tetapi kelanjutan yang dipelihara yang awalnya dipandu dari Buku I, Buku II dan Buku IV yang dibiasakan, akhirnya terbiasa dan muaranya akan menjadi kebiasaan.
Alvin Toffler dalam salah satu tulisannya menyebutkan, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Tulisan diatas dapat diartikan bahwa kebodohan di abad 21 seperti saat ini bukan lagi diakibatkan oleh buta huruf semata, tetapi oleh orang-orang yang tidak mau belajar, tidak mau membuang pengetahuan yang salah yang selama ini diyakininya dan juga tidak mau mempelajari kembali apa yang telah dipelajari sebelumnya.
Untuk itu, supaya LPMP/BDK tidak terjebak kedalam jurang “kebodohan” menurut Alvin Toffler, harapan pak John yang tertuang di dalam Buku I, II & IV tidak berhenti ketika pak John kembali Ke Australia, tetapi “Learning Organization” tetap ditumbuh kembangkan yang pada saatnya akan berbunga semerbak wangi yang tentu saja akan mewangikan nama LPMP/BDK, dan muaranya akan berbuah yang bernama : quality continuous improvement . . .
Semoga . . .

Pesan Terselebung Dalam Gelas Pak John

Oleh : Eri B Santosa
CC Klaster 5 Bali

Pada waktu menjelang penutupan Lokakarya Pengembangan Kapasitas LPMP dalam Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan dilaksanakan dalam 2 putaran. Untuk putaran 2 di klaster 5 dilaksanakan mulai hari Senin 8 Juni – 12 Juni 2009 di Hotel Aston Denpasar ada dua momen yang cukup unik, yaitu dibagikannya gelas yang merupakan hadiah dari pak John dan penjelasan Rencana Aksi dari Koordinator Klaster.
Apanya yang unik ? Bukankah sudah menjadi sesuatu yang lumrah manakala ada sesuatu produk tertentu menghadiahkan gelas ? Produk Rinso sering menghadiahkan gelas pada konsumennya. Sabun Daia sering juga menghadiahkan gelas pada konsumennya. Lalu apanya yang unik ?
Gelas pemberian pak John bukan gelas sembarang gelas. Suatu gelas yang istimewa. Bukan berarti keistimewaannya kalau digunakan untuk menyedu kopi tanpa gula akan manis dengan sendirinya. Bukan . . . bukan itu. Bukan berarti keistimewaannya bahwa gelas itu mampu merebus air mentah dengan sendirinya. Bukan . . . bukan itu. Bukan berarti keistimewaannya kalau dituangkan racun akan menjadi madu. Bukan . . . bukan itu. Keistimewaannya gelas tersebut adalah : 1. Tulisannya : "Quality is Every Body’s Bussiness". 2. Gelas putih sering dijadikan perumpamaan ketika Pak John menjelaskan “Standar – Komponen – Indikator”. Dengan perumpamaan gelas Pak John menjelaskan tentang QA & QI. Sesuai dengan materi lokakarya yang lalu, QA adalah serangkaian proses yang saling terkait dan sistem untuk mengumpulkan, menganalisis dan membuat laporan tentang data tentang kinerja dan mutu dari tenaga, program dan lembaga pendidikan. Proses QA mengidentifikasi hal-hal yang telah dicapai (areas of achievement) dan prioritas-prioritas peningkatan mutu (quality improvement); memberikan data untuk pengambilan keputusan berbasis data; dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan.
Apanya yang unik materi yang dipresentasikan CC terkait penjelasan Rencana Aksi ? Yang cukup unik, CC bukan hanya menjelaskan tentang jadwal pengumpulan Rencana Aksi, pengumpulan laporan mingguan & pengumpulan Tugas Pengembangan, tetapi mengkorelasikan Rencana aksi dengan QA & QI.
Pada proses penyelesaian Rencana Aksi 1, Data menunjukkan bahwa yang mengumpulkan tepat waktu sebanyak 6 kelompok (37,5 %) dari 16 kelompok LM & QA. Pertanyaan yang menggelitik adalah, apanya yang salah ? Mengapa hanya mencapi 37,5 % ?
Guna memperkuat data yang ada, diberikanlah instrumen yang menanyakan, apakah mereka kesulitan dalam penyusunan Rencana Aksi ? Yang menjawab kesulitan sebanyak : 55,55%. Pertanyaan yang menggelitik adalah, apanya yang salah ? Mengapa tingkat kesulitan dalam penyusunan Rencana Aksi mencapai 55,55 % ?
Apakah ini merupakan QA ? Mari kita lihat batasan QA diatas. Proses QA mengidentifikasi hal-hal yang telah dicapai (areas of achievement) dan prioritas-prioritas peningkatan mutu (quality improvement); memberikan data untuk pengambilan keputusan berbasis data; dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan. Apakah angka 37,5 % dan 55,55 % adalah suatu data ?
Suatu pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana supaya dalam pelaksanaan Rencana Aksi 2 dapat meningkat ? Untuk menjawab pertanyaan itu berarti harus ada keberanian melihat kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan di masa mempersiapkan putaran 1. Kalau orientasi kita pada kualitas, maka kesalahan bukan sesuatu yang memalukan, kesalahan bukan aib dan kesalahan bukan sesuatu yang harus ditutup-tutupi. Justru kalau berorientasi pada kualitas, maka kesalahan harus dicari, kesalahan harus ditemukan dan kesalahan harus dianalisa.
Sebelum saya melanjutkan tulisan saya ini, secara jujur pencapaian 37,5 % dan 55,55 % adalah kesalahan dan tanggung jawab seorang CC. Justru karena tanggung jawab itulah jawaban dicari.
Dari perenungan yang ada, ditemukan beberapa kemungkinan faktor penyebab sehingga pengumpulan rencana aksi tepat waktu hanya mencapai 37,5 % & kesulitan pembuatan Rencana Aksi mencapai 55,55% adalah sbb :
1.Presentasi CC yang tidak gamblang
Rencana aksi disampaikan oleh Konsultan & CC. Kesulitan dalam mengerjakan tugas dimungkinkan karena penjelasan CC tidak jelas. Hal ini disebabkan karena CC tidak mempersiapkan diri dalam mempersiapkan materi yang akan dipresentasikan. Bukannya CC mau mencari pembenaran, namun CC mendapatkan Format Rencana Aksi pada hari Senin, sementara presentasi dilaksanakan hari Selasa malam.
Disisi lain, sekali lagi bukan mencari pembenaran, faktanya kegiatan tersebut segala “tetek bengeknya” dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab CC, karena tidak ada panitia yang lain. Namun, apapun alasannya, kesimpulannya adalah CC tidak gamblang dalam menjelaskan rencana aksi.
2.Tugas Pengembangan tidak dipresentasikan
Dalam menyusun rencana aksi dalam rangka tugas pengembangan, salah satu kunci pokok keterpahaman pertanyaan-pertanyaan dalam Tugas Pengembangan.
Pemahaman ini sangat penting karena :
a.Memberikan gambaran apa yang akan dikerjakan,
b.Mampu membuat langkah- langkah penyelesaiannya
c.Mampu menafsir bobot tugas tiap nomor
d.Mampu mendistribusikan pada anggota
e.Mampu mengestimasi penyelesaian waktu.
Dalam putaran 1, tugas pengembangan ini kurang atau mungkin tepatnya tidak dibahas. CC hanya mengutarakan jadwal kapan rencana aksi dikumpulkan dan kapan laporan mingguan dikumpulkan seperti apa yang secara eksplisit tertulis dalam materi rencana aksi.
3.Materi tugas yang tidak gamblang
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa secara eksplisit yang tertulis dalam materi Rencana Aksi adalah tagihan pengumpulan rencana aksi dan tagihan laporan mingguan. Namun dalam perjalanan waktu CC yang membingungkan ini menagih agar kelompok LM & QA mengumpulkan tugas. Yang mungkin perli dipertanyakan adalah, mengapa CC meminta supaya Tugas Pengembangan kelompok LM & QA dikumpulkan ? Jawabannya adalah, bukankah yang akan dipresentasikan pada awal putaran 2 nantinya adalah Tugas Pengembangan ?

4.Pertanyaan dalam tugas pengembangan tidak gamblang
Ada kemungkinan ini hanya keterbatasan persepsi penulis yang menyatakan bahwa pertanyaan dalam tugas pengembangan tidak gamblang sehingga dimungkinkan multitafsir atau membingungkan. Sekali lagi, bahwa hal ini kemungkinan hanya pesepsi penulis, jadi terlalu subyektif untuk diulas lebih lanjut.
Benjamin Franklin mengatakan, ”Seseorang dengan kemampuan biasa-biasa saja bisa mencapai hal-hal yang besar di masyarakatnya jika dilengkapi dengan perencanaan yang baik.”
Hal ini sejalan dengan slogan atau kata-kata bijak yang sering kita temuai, yaitu : ”Jika Anda gagal menyusun rencana, maka yang sebenarnya Anda lakukan adalah Anda menyusun rencana untuk GAGAL,”
Rencana yang baik adalah kunci kesuksesan pelaksanaan. Rencana merupakan jembatan penghubung masa kini dan masa depan atau posisi saat ini dengan posisi yang akan datang yang diharapkan. Perencanaan yang baik merupakan seni membuat hal yang sulit menjadi sederhana sehingga memudahkan untuk mewujud-kan segala sesuatunya menjadi mungkin dilaksanakan, mungkin diwujudkan dan mungkin untuk dicapai
Sebuah artikel di www.careerplanning.about.com, yang berjudul Writing a Career Action Plan menggambarkan rencana aksi sebagai sebuah ”peta” yang membantu kita untuk berangkat dari titik A -kondisi saat ini, ke titik B-target yang ingin kita capai di masa depan. Peta (rencana) ini juga membantu kita melewati titik B untuk mencapai titik C, D, E dan seterusnya sampai kita dapat mewujudkan cita-cita kita di titik Z.
Kembali kemasalah QA Proses QA mengidentifikasi hal-hal yang telah dicapai (areas of achievement) dan prioritas-prioritas peningkatan mutu (quality improvement); memberikan data untuk pengambilan keputusan berbasis data; dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan.
Data pada putaran 1 menunjukkan yang mengumpulkan tepat waktu sebesar : 37,5 % & yang mengalami kesulitan pembuatan Rencana Aksi 1 mencapai 55,55%.
Perubahan-perubahan tindakan apa yang terjadi menjelang dan selama pelaksanaan lokakarya putaran 2 guna menaikkan prosentase pengumpulan tepat waktu dibandingkan putaran 1 ?
Perubahan perubahan tindakan itu mencakup :
1.Pengiriman Tugas Pengembangan 1 Minggu Sebelum Pelaksanaan Lokakarya Putaran 2
Tugas pengembangan yang ada dalam Unit-Unit Modul yang akan diberikan pada putaran 2 telah dikirimkan 1 minggu sebelum pelaksanaan lokakarya melalui email. Hal ini dimaksudkan dengan harapan :
a.Agar sebelum pelaksanaan sudah ada gambaran tentang tugas yang akan diberikan.
b. Apabila kurang jelas akan dipertanyakan dalam pembahasan materi.
2. CC Menyiapkan bahan presentasi Rencana Aksi
Dalam mempersiapkan dan melaksanakan lokakarya putaran CC sudah dibantu dua orang panitia sehingga mempunyai waktu dan kesempatan untuk mempersiapkan materi lebih baik.
Materi yang ditampilkan menyangkut :
a. Korelasi Rencana Aksi dengan QA & QI
b. Proses QA & QI dalam pengelolaan anggota yahoo grup klaster 5.
c. Data pencapaian prosentase pengumpulan rencana aksi yang mencapai 37,5%.
d. Data kesulitan dalam penyusunan rencana aksi yang mencapai 55,5%.
e. Cara mengirim e-mail dan tembusan ke klaster 5
f. Upaya-Upaya yang telah dilakukan guna menaikkan prosentase pengumpulan rencana aksi
3. CC memanggil perwakilan LM & QA untuk Diskusi Rencana Aksi
Disela-sela waktu istirahat CC mengundang perwakilan dari lembaga, terkait dengan penyusunan rencana aksi. Pola yang digunakan adalah face to face dengan menggunakan media laptop. Pola yang dikembangkan bukan untuk mengajari, tetapi untuk diskusi dan menyamakan persepsi.
Data lembaga & peserta yang diundang adalah sebagai berikut : 1. LPMP Papua, Pak Bleskadit & Pak Adrian 2. LPMP Malut, Pak Rahmad & Bu Wilsa; 3. LPMP Bali Pak Abi; 4. LPMP Jatim Pak Muhyidin; 5. LPMP NTB, Bu Anggraeni; 6. BDK Surabaya, Bu Ana; 7. LPMP NTT, Pak Mul; 8. BDK Denpasar . . . saya lupa
4. Fasilitator Memaparkan tentang Tugas Pengembangan
Dalam putaran 2 terkait dengan tugas pengembangan ada perubahan dibandingkan dengan putaran 1. Pada putaran ke 2 ini fasilitator menampilkan tayangan tentang Tugas-Tugas Pengembangan dan memberikan waktu kepada peserta untuk menanyakannya. Namun, ketika sesion ini dilaksanakan dan penulis berada di ruang LM, ternyata tidak ada satupun yang mempertanyakannya. Kita berpikir positip saja, bahwa semua peserta di LM sudah memahami tentang 5 tugas pengembangan.
Pertanyaannya, apakah perubahan-perubahan tindakan itu membawakan hasil ? Dari data yang ada, pada putaran 2, yang tepat mengirimkan rencana aksi tepat waktu mencapai : 68,75%. Sementara di putaran 1 hanya mencapai 37,5%.
Yang belum mengumpulkan tinggal LM LPMP Papua, LM & QA BDK Surabaya serta LM & QA LPMP Jatim. Terakhir dihubungi (SMS) Selasa jam 10 Wita, LM LPMP Papua sementara dikerjakan namun petugas yang mengirimkan email masih sakit. LM & QA BDK Surabaya sementara dikerjakan dan berupaya hari ini mengirimkan email. LPMP Jatim, masih tetap mendendangkan lagu tahun 80-an, yaitu : “Aku masih seperti yang dulu . . . “. Maksudnya apa ? belum ada jawaban.
Seperti telah diuraikan diatas, bahwa pak John menghadiahkan gelas yang istimewa yang ada tulisannya : "Quality is Every Body’s Bussiness". Menurut hemat saya, ada pesan terselubung pemberian pak John itu.
Maknanya apa?
Bahwa kualitas adalah milik setiap orang. Kita di semua LPMP tidak asing dengan istilah Continouns Improvement. Karena istilah ini sangat lekat dengan SMM ISO. Continouns Improvement mengandung makna peningkatan berkelanjutan. Untuk meningkat, kita harus berani secara terbuka mengidentifikasi kekurangan-kekurangan ataupun kesalahan-kesalahan. Kesalahan menurut hemat saya bukanlah suatu aib yang mesti kita tutup-tutupi. Justru ketika kesalahan kita tutupi, Continouns Improvement tidak terjadi, tidak punya sensitivitas untuk Quality Assurannce.
Gelas yang bertuliskan "Quality is Every Body’s Bussiness" mengandung pesan yang terselubung agar sikap hidup yang berorientasi pada kualitas dapat terinternalisasi pada diri kita, baik untuk lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan di lingkungan kantor. Ketika orientasi kepada mutu, maka seharusnya tidak boleh berpola pikir apa adanya, tidak boleh berpikir seadanya & tidak boleh melakukan asal-asalan.
Gelas yang bertuliskan "Quality is Every Body’s Bussiness" diberikan kebanyakan pada peserta yang lembaganya bernama mentereng yaitu Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Sebuah nama besar yang sudah sepantasnya untuk tetap dibesarkan oleh insan-insan yang berada di dalamnya untuk bersikap, berpola pikir dan berperilaku yang berkualitas. Sehingga lagu wajibnya bukan lagi lagu : “Aku masih seperti yang dulu . . . “.

ALTERNATIF PEMIKIRAN PENJAMINAN MUTU EKSTERNAL PADA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA

ALTERNATIF PEMIKIRAN
PENJAMINAN MUTU EKSTERNAL PADA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Eri Budi Santosa
(Tulisan ini hasil Pengembangan Pemikiran Pasca Pelatihan Penjaminan Mutu Pendidikan di P4TK Kesenian Yogya tahun 2008)

A. PENDAHULUAN
Secara konstitusional, pendidikan yang bermutu sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Pasal 5 ayat (1) secara eksplisit ditegaskan bahwa: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu". Dalam upaya memperoleh pendidikan yang bermutu, undang-undang tersebut juga mengamanatkan pada Pasal 11, ayat (1), yaitu: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselengaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi". Sedangkan pada Pasal 41 ayat (3) ditegaskan lagi bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Upaya untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut di atas, mengi-syaratkan pentingnya peningkatan aparatur Pemerintah, termasuk widyaiswara sebagai pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) terhadap guru agar sernakin profesional dalam pengelolaan pembelajaran menuju standar nasional pendidikan.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 07 Tahun 2007 memiliki tugas melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah, termasuk taman kanak-kanak/raudatul athfal (TK/RA). Hal demikian menuntut tersedianya sejumlah tenaga fungsional widyaiswara yang mampu melaksanakan tugas fasilitasi menuju penjaminan mutu pendidikan secara profesional.
Sehubungan dengan hal itu, Direktorat jenderal peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) melalui DIPA Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Tahun 2008 melakukan Diklat Penjaminan Mutu Pendidikan bagi Pejabat Struktural & Widyaiswara P4TK & LPMP di P4TK Seni & Budaya Yogyakarta.
Dari Diklat tersebut pelatihan pada kenyataannya materi yang disajikan masih dalam konsep penjaminan mutu yang masih bersifat universal. Terkait dengan hal ini diharapkan personel-personel LPMP di seantero negeri ini dipersilahkan untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran alternatif untuk membuat format penjaminan mutu pendidikan yang harus dilaksanakan LPMP.
B. DASAR HUKUM TERKAIT PENJAMINAN MUTU
1. UU SISDIKNAS
Terkait dengan “mutu”, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit telah termuat dalam Pasal 50 ayat (2); Pasal 5 ayat (1). Pasal 11, ayat (1), Pasal 41 ayat (3)
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 50 ayat 2 menyatakan bahwa Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
Sedangkan pada Pasal 5 ayat (1) secara eksplisit ditegaskan bahwa: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu".
Pasal 11, ayat (1), yaitu: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselengaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi". Sedangkan pada Pasal 41 ayat (3) ditegaskan lagi bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

2. PP 19 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Salah satu penjabaran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Terkait dengan “mutu” dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tersebut termuat dalam pasal 91 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 yang dijelaskan sebagai berikut.
(1) Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan.
(2) Penjaminan mutu pendidikan bertujuan untuk memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan
(3) Penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Sedangkan dalam Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ditegaskan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan;
3. PERMENDIKNAS 07/2007
Dalam rangka mengimplementasikan ketentuan-ketentuan di atas pemerintah telah membentuk LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) berdasarkan Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.7 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan maka LPMP mempunyai tugas: melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, LPMP memiliki fungsi: (a) pemetaan mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (b) pengembangan dan pengelolaan system informasi mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (c) supervisi satuan pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat dalam pencapaian standar mutu pendidikan nasional, (d) fasilitasi sumberdaya pen-didikan terhadap satuan pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat dalam penjaminan mutu pendidikan, dan (e) Pelaksanaan urusan administrasi LPMP.

C. KONSEP DASAR YANG DITAWARKAN
Dari Diklat Penjaminan Mutu Pendidikan bagi Pejabat Struktural & Widyaiswara P4TK & LPMP di P4TK Seni & Budaya Yogyakarta ada beberapa nara sumber yang memberikan konsep dasar penjaminan mutu, yaitu dari Dr. J. Pramana Gentur Sutapa (Kantor Jaminan Mutu UGM) & Abdul Rahman, Ph.D (konsultan AusAID).
Dr. J. Pramana Gentur Sutapa (Kantor Jaminan Mutu UGM) menjelaskan tentang Mekanisme Pelaksanaan Penjaminan mutu pendidikan yang diterapkan pada lingkungan UGM yang dikembangkan oleh Kantor Jaminan Mutu UGM.
Pola yang dikembangkan oleh Kantor Jaminan Mutu UGM dengan menggunakan 7 (tujuh) langkah utama dalam siklus penjaminan mutu pendidikan, yaitu :
1. Menetapkan standar
2. Melaksanakan kegiatan
3. Monitoring
4. Evaluasi diri
5. Audit Internal
6.Tindakan Korektif
7. Peningkatan Mutu
Dalam rangka penerapan 7 langkah tersebut telah dikembangkan Organisasi Mutu satuan pendidikan, yaitu :
1. Melekat pada struktur organisasi satuan pendidkan
2. Menentukan MR (Man. Resprensentatif)
3. Membentuk Tim Quality Assurance
4. Membentuk Tim Gugus Jaminan Mutu
D. PENDAPAT PAKAR TENTANG PENJAMINAN MUTU
Dalam wawancara dalam majalah Kemitraan Edisi April 2008, Abdul Rahman, Ph.D (konsultan AusAID) mengemukakan pemikirannya tentang penjaminan mutu & lembaga penjaminan mutu pendidikan sebagai berikut :
1. Pengertian penjaminan mutu yang paling sederhana adalah pembudayaan mutu di lingkungan pendidikan. Pembudayaan mutu adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara melembaga, berulang-ulang, di lingkungan lembaga pendidikan yang mencakup semua unit pelaksana pendidikan, dan sekolah berada di barisan terdepan. Jadi seluruh aktor atau pelaku pendidikan melakukan pembudayaan mutu dan berorientasi pada pelayanan pendidikan terbaik. Jika dilakukan secara melembaga oleh banyak orang, maka penjaminan mutu akan menjadi nilai universal dalam dunia pendidikan.
2. LPMP itu merupakan lembaga yang mendorong setiap satuan pendidikan agar mampu melakukan penjaminan mutu. Satuan pendidikan didorong antara lain menetapkan standar mutu dan melakukan internal audit/internal assesment.
3. LPMP juga mendorong lembaga-lembaga lain yang peduli pada pendidikan agar menjalankan fungsi external audit, termasuk pengawas sekolah.
4. LPMP harus melakukan revitalisasi dalam hal leadership, sumberdaya manusia, sarana, pembiayaan, dan institusi. Dalam hal leadership, pola pikir atau mind set pimpinan LPMP harus berubah. Sampai sekarang kan mind set-nya kebanyakan masih training minded. Perubahan untuk menjadi lembaga yang berperan melakukan pemetaan mutu, pengelolaan informasi manajemen mutu, memberikan fasilitasi pada satuan pendidikan, dan melakukan evaluasi mutu pendidikan di setiap propinsi, masih ibarat jauh api dari panggangnya. Maklum, sudah sekian lama LPMP yang sebelumnya bernama BPG (Balai Pelatihan Guru) itu semata-mata menjadi tempat pelatihan. Jadi perlu ditekankan betul bahwa pimpinan-pimpinan LPMP yang diangkat harus memahami betul ruh, core business, Serta fungsi dan peran LPMP yang baru. Saat ini LPMP masih dalam masa transisi hingga kemungkinan memakan waktu tiga sampai lima tahun mendatang, LPMP masih melakukan fungsi training (pelatihan). Tetapi harus disadari bahwa fungsi training (pelatihan) hanya bagian dari fungsi fasilitasi. Fungsi-fungsi yang lain, terutama pemetaan mutu, harus segera dilakukan.
5. Yang perlu diperhatikan, penemuan dari hasil evaluasi atau pemetaan, kalau tanpa ditindaklanjuti dengan perbaikan mutu itu namanya bukan penjaminan mutu. Karena itu harus diikuti perbaikan mutu berkelanjutan atau continuoues quality improvement. Perbaikan mutu berkelanjutan atau continuoues quality improvement Ini merupakan komponen terakhir penjaminan mutu yang paling penting. Jadi bukan hanya sekedar mendata atau memetakan. Harus ada tindak lanjut terhadap pemetaan data atau hasil evaluasi. Harus ada upaya perbaikan mutu secara berkelanjutan konsisten, dan progresif. Dan sekola¬h berperan sebagai front liner, lembaga di barisan terdepan dalam pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan
Dalam wawancara dalam majalah Kemitraan Edisi April 2008, Renny Yunus, MM (Kepala Subdit Sarana, Direktorat Bindiklat) mengatakan bahwa program penjaminan mutu pendidikan dimaksudkan untuk memperkuat pelaksanaan delapan standar pendidikan nasional (SNP) yang dituangkan dalam PP No 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.
Dalam wawancara di majalah Kemitraan Edisi April 2008 Ir. Hendarman, M.Sc, Ph.D, (Kepala Subdit Program Direktorat Bindiklat), mengemukakan pemikirannya tentang penjaminan mutu & lembaga penjaminan mutu pendidikan sebagai berikut
1. Sesuai dengan Permendiknas Nomor 7/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja LPMP, tugas dan tanggung jawab lembaga tersebut sungguh berat. Kegiatan pendidikan dan pelatihan masih dilakukan oleh LPMP, tetapi bukan menjadi fokus utama.
2. Peran baru LPMP yang dominan adalah melakukan pemetaan mutu pendidikan, memberikan informasi dan rekomendasi atas hasil pemetaannya ke pemerintah daerah, melakukan supervisi, dan memberikan fasilitasi.
3. LPMP dituntut mampu memetakan peringkat sekolah berdasarkan hasil ujian nasional, membuat profil sekolah, dan merekomendasikan langkah-langkah apa yang mesti dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
4. Dalam kaitannya dengan fungsi supervisi, LPMP harus merangkul pengawas sekolah dalam melakukan penjaminan mutu pendidikan. Dengan demikian, LPMP harus melakukan kemitraan secara strategis dengan pemerintah daerah, sekolah, pengawas sekolah, dan unsur-¬unsur pendidikan yang lain,"
E. ALTERNATIF PENJAMINAN MUTU EKSTERNAL
Dari uraian di atas, menurut Ir. Hendarman, M.Sc, Ph.D, Peran baru LPMP yang dominan adalah melakukan pemetaan mutu pendidikan, memberikan informasi dan rekomendasi atas hasil pemetaannya ke pemerintah daerah, melakukan supervisi, dan memberikan fasilitasi. Menurut Abdul Rah- man, Ph.D (konsultan AusAID) dalam Program Penjaminan & Peningkatan Mutu Pendidikan salah satu sumber datanya adalah akreditasi. Menurut Renny Yunus, MM bahwa program penjaminan mutu pendidikan dimaksudkan untuk memperkuat pelaksanaan delapan standar pendidikan nasional (SNP) yang dituangkan dalam PP No 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.


1. AKREDITASI
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (2) tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan bahwa penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan perlu dilakukan dalam tiga program terintegrasi yaitu evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Penjaminan mutu pendidikan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat agar dapat memperoleh layanan dan hasil pendidikan sesuai dengan yang dijanjikan oleh penyelenggara pendidikan. Proses evaluasi terhadap seluruh aspek pendidikan harus diarahkan pada upaya untuk menjamin terselenggaranya layanan pendidikan bermutu (quality assurance) dan memberdayakan mereka yang dievaluasi sehingga menghasilkan lulusan pendidikan sesuai standar yang ditetapkan. Standarisasi pendidikan memiliki makna sebagai upaya penyamaan arah pendidikan secara nasional yang mempunyai keleluasaan dan keluwesan dalam implementasinya. Standar pendidikan harus dijadikan acuan oleh pengelola pendidikan, yang di sisi lain menjadi pendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas untuk mencapai standar minimal yang ditetapkan. Akreditasi sekolah/madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan satuan atau program pendidikan, yang diwujudkan dengan adanya sertifikasi yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang mandiri dan profesional. Penegasan tentang pentingnya akreditasi ini dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB XVI Bagian Kedua Pasal 60, tentang Akreditasi yang berbunyi:
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Proses akreditasi ini dilakukan secara berkala dan terbuka dengan tujuan untuk membantu dan memberdayakan program dan satuan pendidikan agar mampu mengembangkan sumberdayanya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Penggunaan instrumen akreditasi yang komprehensif akan dikembangkan berdasarkan standar yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 yang memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan. Seperti dinyatakan pada pasal 1 ayat (1) bahwa Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu Standar Nasional Pendidikan harus dijadikan standar mutu guna memetakan secara utuh profil kualitas sekolah/madrasah.
Mengingat pentingnya akreditasi sebagai salah satu upaya untuk menjamin dan mengendalikan kualitas pendidikan, maka pemerintah melalui Peraturan Mendiknas Nomor 29 Tahun 2005 membentuk Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), sebagai pengganti institusi pelaksana akreditasi sekolah yang lama yaitu Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS). Penggantian institusi baru dari BASNAS ke BAN-S/M, bukan hanya sekedar penggantian nama tetapi juga mengandung suatu perubahan mendasar baik mekanisme kerja maupun sistem pelaksanaannya. Struktur organisasi BASNAS mencakup BAS Provinsi dan BAS Kabupaten/Kota, sedangkan BAN-S/M sampai pada tingkat provinsi yaitu BAP-S/M. Sasaran akreditasi oleh BASNAS mencakup sekolah di bawah pengelolaan Pemerintah Daerah, sedangkan akreditasi oleh BAN-S/M mencakup pula madrasah yang dikelola oleh Depag. Dari sisi dasar hukum, pelaksanaan akreditasi sekolah oleh BASNAS didasarkan atas Keputusan Mendiknas Nomor 087/U/2002 tentang akreditasi sekolah, sedangkan pelaksanaan akreditasi oleh BAN-S/M didasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 86 dinyatakan bahwa:
(1) Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.
(2) Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat pula dilakukan oleh lembaga yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi.
(3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2) sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif
dengan menggunakan instrumen dan kriteria mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan.
Sebagai implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 diterbitkan Peraturan Mendiknas Nomor 29 Tahun 2005. Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Mendiknas tersebut dinyatakan bahwa, BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Pada pasal 2 ayat (2) dikatakan BAN-S/M merupakan badan nonstruktural yang bersifat nirlaba dan mandiri yang bertanggung jawab kepada Mendiknas. Sebagai institusi yang bersifat independen di bawah dan bertanggung jawab kepada Mendiknas, BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mangacu pada Standar Nasional Pendidikan. Selanjutnya pada pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa tugas BAN-S/M adalah merumuskan kebijakan operasional, melakukan sosialisasi kebijakan, dan melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah. Dalam melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah tersebut BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/ Madrasah (BAP-S/M), seperti tercantum pada pasal 7 ayat (5).
Hasil akreditasi dinyatakan dalam peringkat akreditasi sekolah/madrasah. Peringkat akreditasi sekolah/madrasah terdiri atas 3 (tiga) klasifikasi berdasarkan skor keseluruhan komponen yang diperoleh, yaitu:
A = Amat Baik,
nilai akhir lebih besar dari 85 (85 < N ≤ 100)
B = Baik,
nilai akhir lebih besar dari 70 sampai dengan 85 (70 < N ≤ 85)
C = Cukup,
nilai akhir sama dengan 56 sampai dengan 70 (56 ≤ N ≤ 70)
Tidak terakreditasi apabila nilai akhir lebih kecil dari 56 (N < 56).

2. AKREDITASI & KONSEP PENJAMINAN MUTU RENNY
Telah diuraikan di atas, bahwa menurut Renny Yunus, MM (Kepala Subdit Sarana, Direktorat Bindiklat) bahwa pro-gram penjaminan mutu pendidikan dimaksudkan untuk mem-perkuat pelaksanaan delapan standar pendidikan nasional (SNP) yang dituangkan dalam PP No 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.
Dari uraian diatas juga bahwa dalam pelaksanaan visitasi menggunaan instrumen akreditasi yang dikembangkan ber-dasarkan standar yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.

3. PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS AKREDITASI
Seperti telah diuraikan di atas bahwa Menurut Ir. Hen-darman, M.Sc, Ph.D, (Kepala Subdit Program Direktorat Bin-diklat), peran baru LPMP yang dominan adalah melakukan pemetaan mutu pendidikan, memberikan informasi dan rekomendasi atas hasil pemetaannya ke pemerintah dae-rah, melakukan supervisi, dan memberikan fasilitasi.
a. Pemetaan Mutu Pendidikan
Peringkat akreditasi sekolah/madrasah terdiri atas 3 (tiga) klasifikasi berdasarkan skor keseluruhan komponen yang diperoleh, yaitu:
A = Amat Baik (85 < N ≤ 100), B = Baik, (70 < N ≤
85) & C = Cukup (56 ≤ N ≤ 70).
Nilai akhir lebih kecil dari 56 (N < 56) masuk dalam ka-tegori Tidak terakreditasi.
Hasil akreditasi merupakan dapat dijadikan peta mutu pendidikan.
Dalam kerangka peran LPMP untuk melaksanakan fasilitasi, hasil akreditasi tersebut dapat dijadikan ba-han untuk memetakan mutu sekolah dengan langkah- langkah sebagai berikut :
1) LPMP dapat mendata pada sekolah-seko-lah yang “Tidak Terakreditasi” pada suatu wilayah atau yang nilai akreditasinya ren-dah.
2) Mengidentifikasi butir-butir pada tiap-tiap komponen yang mempunyai nilai “0” atau belum maksimal.
3) Membuat laporan Pemetaan Identifikasi Butir.
b. Supervisi
Berdasarkan laporan pemetaan identifikasi butir untuk se-kolah tertentu dilanjutkan dengan pelaksanaan supervisi dengan langkah- langkah sebagai berikut :
1) Memverifikasi butir-butir pada tiap-tiap komponen yang mempunyai nilai “0” atau belum maksimal di sekolah.
2) Wawancara dengan kepala sekolah & war-ga sekolah guna mencari tahu variabel penyebab sehingga mendapatkan nilai “0” atau belum maksimal di sekolah.
3) Mendalami variabel penyebab guna penyu-sunan laporan dan rekomendasi perbaikan pada masing-masing butir yang nilainya “0” atau belum maksimal di sekolah.

c. Informasi & Rekomendasi
Berdasarkan laporan supervisi dilanjutkan dengan pelak-sanaan supervisi dengan langkah- langkah sebagai beri-kut :
1) Membuat laporan yang berisi rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah sesuai dengan kewenangannya.
2) Membuat laporan yang berisi rekomendasi yang dilakukan oleh pihak dinas pendidikan kabupaten/kota sesuai dengan kewena-ngannya
3) Laporan diberikan ke sekolah dan dinas pendidikan.
4) Pihak LPMP membicarakan strategi pening-katan mutu untuk sekolah-sekolah dimak-sud dengan pihak Dinas Pendidikan Kabu- paten/kota.

d. Fasilitasi Dalam Program Peningkatan Kinerja Sekolah Berbasis Akreditasi
Berdasarkan laporan pembicaraan antara LPMP dengan Dinas Pendidikan Kabu- paten/kota tentang strategi peningkatan mutu untuk sekolah-sekolah di-maksud maka dilanjutkan untuk penyusunan program Pening-katan Kinerja Sekolah Berbasis Akreditasi yang dipandu oleh fasilitator LPMP dengan warga sekolah dengan langkah- langkah sebagai berikut :
1) Mendiskusikan hasil rekomendasi
2) Membangun komitmen
3) Menyusun Program Peningkatan Kinerja Sekolah
Berbasis Akreditasi.
4) Monitoring & evaluasi 1 keterlaksanaan program
5) Membuat laporan kemajuan pekerjaan sesuai program yang ada pada Dinas Pendidikan.
6) Monitoring & evaluasi 2 keterlaksanaan program
7) Membuat laporan kemajuan pekerjaan sesuai program yang ada pada Dinas Pendidikan.
8) Merekomendasi agar sekolah melaksanakan evaluasi diri berdasarkan instrumen akreditasi
9) Merekomendasi agar sekolah mengajukan akreditasi kembali.
F. PENUTUP
Demikian pengembangan pemikiran ini, mudah-mudahan dapat diambil manfaatnya